ISSN : 1978-6603 INTELIGENSIA ISLAM SEBAGAI SEBUAH KELAS .

3y ago
28 Views
4 Downloads
457.46 KB
15 Pages
Last View : 1m ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Annika Witter
Transcription

ISSN : 1978-6603INTELIGENSIA ISLAM SEBAGAI SEBUAH KELAS SOSIAL BARUAhmad Calam#1, Denny Susanti*2, Tohar Bayu Angin*3#Program Studi Komputer, STMIK Triguna DharmaJl. A.H. Nasution No. 73 F - Medan1ahmadcalam@ymail.com*Kementrian Agama Sumatera UtaraJl. Gatot Subroto No. 91 MedanAbstrakGambaran mengenai Intelegensia Islam Indonesia mengalami pasang surut, baik secara politismaupun intelektual. Transformasi Intelegensia Islam Indonesia yang semula termarjinalkan dari duniaintelektual, politik dan birokrasi Indonesia menuju posisi sentral merupakan gambaran dari perjalananpanjang Intelegensia Islam Indonesia. Kemunculan Intelegensia Indonesia pada akhir abad ke-19 hinggadua decade pertama abad ke-20, termanipestasikan dalam beberapa nama yang senantiasa berevolusi,mulai dari lahirnya tokoh kemajoean kemudian medekonstruksi menjadi bangsawan oesoel, kaoemmuda hingga terciptanya kaoem atau pemuda terpelajar atau jong. Di mana kemunculan Intelegensia inidilatarbelakangi oleh terjadinya revolusi etis Hindia Belanda akibat krisis ekonomi Liberal di HindiaBelanda. Selain itu juga ditandai dengan masuknya paham reformisme modernisme Islam yang berusahamengimbangi arus sekulerisme Barat. Pada abad ke-20 belbagai pergulatannya dalam mencaripengakuan dan otoritas politik. Pada penghujung abad ke-20 hingga fajar abad ke-21 terjadi banyakperubahan rezim sistem baik ekonomi maupun politik dan kekuasaan yang silih berganti, masa ini jugadiwarnai dengan krisis ekonomi dan terjadi era ekonomi yang kedua setelah reformasi etis HindiaBelanda. Maka, dapat dikatakan dengan keterlibatan secara aktif dan pertarungan memperebutkankekuasaan kaum Intelegensia Islam Indonesia. Oleh karenanya pembentukan elit-politik dn birokrasiIndonesia senantias tidak bisa lepas dari perkembangan dan perubahan peta Intelegensia IslamIndonesia. Bahkan, pernah menjadi inti dari elit-politik Indonesia, mulai sejak diterapkannya Politik EtisBelanda hingga rezim pasca reformasi.Kata Kunci: Intelegensia, Islam, Kelas SosialAbstractOverview of the Indonesian Islamic Intelligence have ups and downs, both politically and intellectually.Indonesian Islamic Intelligence Transformation previously marginalized from the world of intellectual,political and bureaucratic Indonesia toward the central position is a picture of a long journey IntelligenceIslam Indonesia. Emerging Intelligence Indonesia in the late 19th century until the first two decades of the20th century, termanipestasikan in some names that always evolved, ranging from the birth figuresmedekonstruksi kemajoean later became nobles oesoel, young kaoem to create kaoem or educatedyouth or jong. Where the emergence of Intelligence is motivated by the ethical revolution of the DutchEast Indies as a result of the economic crisis Liberal in the Dutch East Indies. It also marked the entry ofIslamic modernism reformism understand that trying to balance the flow of Western secularism. In the20th century belbagai struggle in seeking recognition and political authority. At the end of the 20thcentury until the dawn of the 21st century there were many changes in the regime of both economic andpolitical systems and power turns, this period was also marked by the economic crisis and economicoccurred after the second era of ethical reform of the Dutch East Indies. Thus, it can be said with theactive involvement and fight for control of the Intelligence Islam Indonesia. Therefore, the formation ofpolitical elite Indonesian bureaucracy senantias dn can not be separated from the developments andchanges in Indonesian Islamic Intelligence maps. In fact, once the core of Indonesia's political elites,ranging from the Dutch Ethical Policy implementation to post-reform regime.Keywords: Intelligence, Islam, Social Class65

A. LATAR FILOSOFISdi Timur Tengah (Kairo) dan Mekahsebagaimana ditelusuri oleh Bruinessen,kajian ulama yang belajar ke Arab dan TimurTengah berkisar pada pembelajaran masalahtata bahasa Arab (nahw dan saraf), fiqih danushul al-Fiqh dan juga akidah atau ushuluddinserta pelajaran akhlak (Bruinessen: 1994: 145169). Namun, di Indonesia sebagaimana yangdialami oleh Tjokroaminoto dan Salim kondisisosialnya lebih kompleks dibanding di TimurTengah. Sehingga dengan penguasaanTjokroaminoto dan Salim akan Bahasa Inggrisdan Belanda, mereka lebih peka untukmendalami ilmu filsafat, politik, sosiologi, danlain-lain yang tidak akan dipelajari di TimurTengah. Di sini dapat melihat ya yang mendalam akan konsepsosialisme, nasionalisme dan demokrasi yangberasal dari Barat membentuk cakrawalapemikirannya yang kompleks. Walaupun iaberasal dari golongan priayi yang tidak banyakmengetahui tentang keislaman ia terusberproses dengan menginternalisasi dirinyasebagai seorang Muslim, dengan melakukanproses belajar yang tidak kenal henti danpantang berubah.Dalam pembahasan ini mengambilisitilah “Inteligensia Islam” berawal darisejarahyangmenjelaskanbahwa,Tjokoraminoto, Agus Salim dan Suryopranotodisebut sebagai generasi pertama InteligensiaIslam Indonesia (Latif, 2000: 32). Alasannyaadalah dalam rentang waktu itu ada 3 (tiga)arus yang mempengaruhi lembaga pendidikanyang menjadi kanal bagi Islam Indonesia yaitu;Makkah, Pendidikan Barat, dan Kairo (Latif,2000: 655-667). Kalau ditindaklanjuti lebihdalam, Tjokroaminoto sendiri adalah produkdari pendidikan Barat, yaitu OSVIA modelpendidikan sekuler Belanda. Walaupunbegitu, ia sebagai produk pendidikan Barattetap berusaha mempertahankan identitaskeislamannya. Van Neil menggambarkanTjokroaminoto menjadi bagian kedua darikepemimpinan Sarikat Islam (SI), yaitugolongan intelektual berpendidikan Baratyang kurang puas berada di dalam lingkunganstuktur kolonial (VanNeil: 2009: 45). Ini yangmenjadikannya sebagai integensia Islam (Latif:2000: 44). Hal ini mendorong munculnyagugus integensia yang bersifat hibrida(persilangan) yang kelak akan melahirkanterbentuknya “intelek ulama” (Inteligensiamodern yang melek dalam pengetahuankeagamaan). (Latif, 2000: 107) Hal ini yangmembedakan basis epitemik pemikiranTjokroaminoto dengan tokoh sezamannya.Berbeda dengan kelompok pendidikan onalisIslamlulusanPesantren, seperti KH Wahab Chasbullah, jugaberbeda dengan aliran Kairo yang terwujuddalam kelompok reformis Islam sepertiAhmad Dahlan, KHA. PROFIL KEAGAMAAN, SOSIAL, POLITIKDAN EKONOMIMohammad Hatta, dalam pidatonyayang bersejarah di hadapan sivitas akademikaUniversitas Indonesia pada tanggal 11 Juni1957 yang berjudul ”Tanggung Djawab MorilKaum Inteligensia” menafsirkan ‘inteligensia’sebagai sinonim dengan ‘intelektual’. SeloSoemardjan pernah menulis ‘The ChangingRole of intellectuals in Indonesian NationalDevelopment’ (1981) untuk menjelaskanperan ‘inteligensia’. Dia berargumen: ‘.konsep intelektual yang dianggap ataumenganggap diri sendiri sebagai intelektualharus diartikan identik dengan kata‘inteligensia’(Soemardjan, 1981: 139-140).Pada saat yang bersamaan, Arief Budiman(1981), menulis ‘Students as Intelligensia: TheIndonesian Experience, dengan menggunakanMas Mansyur dan lain-lain. Apalagi dengankelompok aliran pendidikan Barat yang sudahtercerabut identitas keislamanya sepertiSutomo, Tan Malaka, Tjipto Mangunkusumo,dan Ki Hajar Dewantara. Memang kalauditinjau dari kelimuan para ulama yang belajar65

Ahmad Calam, Denny Susanti, Tohar Bayu Angin, Inteligensia Islam sebagai.kerangka literatur Eropa Barat mengenai‘intelektual’, dimana di dalamnya istilah‘intelektual’ dan ‘inteligensia’ dipakai dengansaling dipertukarkan. Pada satu kesempatan,dia menyatakan bahwa para mahasiswaIndonesia termasuk ke dalam ‘kelompokintelektual’. Pada kesempatan yang lain,Daniel melukiskan para mahasiswa an bukunya mengenai paraintelektual Indonesia sepanjang Orde Barudengan judul Cendekiawan dan Kekuasaandalam Negara Orde Baru. Namun, dalam bukuitu, dia tidak memberikan pembedaan yangjelas antara konsep ‘intelektual’ dan‘inteligensia’. Selain mengasosiasikan istilah‘inteligensia’ dengan ‘intelektual’, diamenggunakan kasus ‘inteligensia’ Rusiasebagai contoh dari keberadaan ‘intelektual’.Ambiguitas semacam itu bukan hanya tampaknyata dalam studi mengenai Indonesia,namun juga berlangsung umum dalamwacana ilmiah Barat. Menurut AleksanderGella (1976), para ahli sosiologi Barat selamajangka waktu yang lama ‘bahkan tidak melihatadanya perbedaan antara para intelektual diBarat dengan formasi sosial yang unik darisuatu stratum, yang disebut intelligentsia,mulai berkembang di Rusia dan Polandiasepanjang pertengahan abad ke sembilanbelas’. Gella bahkan menunjukkan bahwaistilah ‘inteligensia’ tidak diberikan entritersendiri baik dalam Encyclopaedia of theSocial Sciences maupun dalam InternationalEncyclopedia of the Social Sciences. Lebih dariitu, Gella mengamati bahwa dalam karyaRobert Michels (1932) dan Edward Shils(1968), kedua istilah tersebut tidak dianggapsebagai dua konsep yang berbeda.Di Indonesia, pada masa akhirkekuasaan Suharto, setelah sejak tahun 1960an berlangsung proses demoralisasi yangmelanda politisi Islam, berbagai figurinteligensia Islam secara mengejutkanmemainkan peran sentral dalam wacanasosial-politik Indonesia. Hampir bersamaan,banyak anggota lain dari inteligensia IslamJurnal SAINTIKOM Vol 14, No. 1, Januari 2015yang berhasil menduduki eselon atas dalambirokrasi pemerintahan. Isu yang menyangkutsepak-terjang inteligensia Islam ini semakinmendapatkan liputan media yang luas,menyusul pendirian Ikatan Cendekiawan IslamIndonesia (ICMI) pada bulan Desember 1990.Setelah itu, ketika gerakan reformasi munculpada 1997/1998, beberapa figur inteligensiaIslam memainkan peran yang krusial dalamproses pengunduran diri Suharto. Signifikansipolitik dari inteligensia Islam ini semakinnyata pada masa pemerintahan (transisi)Habibie, yaitu ketika para anggota kabinet danpejabat senior birokrasi kebanyakan berasaldari para anggota ICMI. Saat yang bersamaan,kepemimpinanpartaiGolkar(yangmerupakan penerus dari mesin politik OrdeBaru) mulai didominasi oleh para mantanaktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).Capaian politik inteligensia Islam inimemuncak dengan terpilihnya AbdurrahmanWahid sebagai Presiden pasca-Habibie, yangdisusul dengan penunjukkan figur Islamsebagai pejabat senior negara. Meskipuninteligensia Islam pada akhir abad ke-20 telahmampu mencapai kredibilitas intelektual yanglebih kuat, selain menempati posisi politik danbirokratik yang lebih baik, partai politik Islamsecarakeseluruhantidakkunjungmemperoleh dukungan suara mayoritas. PadaPemilihan Umum tahun 1998, jumlah suarayang diperoleh semua partai Islam, termasukpartai yang menjadikan Pancasila sebagaiazasnya, hanya sebesar 36,38%, yang berartihanya meraup 37,46% dari total kursi di DPR(yakni 173 kursi dari total 462 kursi yang ada).Lebih dari itu, saat posisi politik dan birokratikdari inteligensia Islam meningkat, sebagianbesar dari para pemimpin senior Islammenjadi kurang terobsesi dengan klaim Islam.Sebagaimanatelahterjadipascakemerdekaan, dimana kelompok Islam tidaklagi terlalu berobsesi dengan agendapencantuman kembali ‘Piagam Jakarta’ dalamkonstitusi negara. Gambaran mengenaiinteligensia Islam pada akhir abad ke-20 inikontras dengan gambaran pada awal abad67

Ahmad Calam, Denny Susanti, Tohar Bayu Angin, Inteligensia Islam sebagai.ke20. Dimana, hanya sedikit dari lapisanberpendidikan terbaik dari inteligensiaIndonesia yang bersedia bergabung denganperhimpunan Islam, seperti Sarekat Islam (SI),karena sebagian besar lebih suka bergabungdengan organisasi yang memiliki kaitandengan kaum priyayi seperti Budi Utomo.Namun, dengan keberhasilan membela danmemenangkan hati masyarakat terjajah diakar rumput, SI muncul sebagai perhimpunanHindia Belanda pertama yang memilikikonstituen yang tersebar luas melintasi bataskepulauan Nusantara dan berhasil memilikijumlahkeanggotaanyangterbesardibandingkan dengan perhimpunan yang adapada masa itu. Sementara, pada akhir abadke-20, banyak sekali lapisan terdidik terbaikdari masyarakat Indonesia yang bergabungdengan perhimpunan mahasiswa daninteligensia Islam (seperti HMI, ICMI, danKAMMI), serta juga partai Islam. Namun dayatarik Islam dalampolitik di kalanganmasyarakat akar rumput cenderung merosot.Meski pengaruh inteligensia Islam meningkatdan sikap politik inklusif di kalangan kaumIslam menguat, partai Islam dan identitaskomunal masih juga bertahan. Bertahannyapolitik identitas Islam ini bisa dilihat dariupaya yang dilakukan oleh lapisan tertentudari inteligensia Islam, terutama di kalangangenerasi muda, untuk berjuang demiditerapkannya Hukum Islam (syariah). Saatyang bersamaan, label Islam masih tetapdipakai secara luas sebagai nama bagiorganisasi kaum terpelajar dan politik. Seiringdengan kemunculan partai Islam yang liberalmaupun yang tidak liberal (illiberal),pertarungan ideologi dan identitas politik baikantar maupun intra tradisi intelektual yangada terus berlangsung dengan agenda yangberbeda serta intensitas dan ekspresi yangberagam. Di sini, politik Islam mengalamifragmentasi internal dalam skala yang hkemunculansecaraberlimpah partai politik Islam. Sepanjang erareformasi, bahkan inteligensia Islam yangJurnal SAINTIKOM Vol 14, No. 1, Januari 2015pernah bersatu dalam ICMI menjadi terceraiberai ke dalam beragam orientasi partai.Semua gambaran tersebut mencerminkanadanya kesinambungan (continuity) danperubahan(changes)dalamgerakperkembangan inteligensia Islam. Adanyagambaran diakronik dan sinkronik dariinteligensia Islam ini patut memperolehperhatian yang serius dari kaum akademisiInteligensia Indonesia. Untuk satu atau lebihalasan, tingginya keterlibatan politik dankeasyikan inteligensia Indonesia dalampertarungan memperebutkan kekuasaanmasih tetap menjadi sebuah gambaran pokokdari dunia perpolitikan Indonesia. Maka,upaya untuk memahami kesinambungan danperubahan yang berlangsung dalam gerakperkembanganinteligensiaIndonesiamerupakan sesuatu yang penting untukdilakukanagarbisamemahamikesinambungan dan perubahan dalampembentukan elit Indonesia dan politiknya.Lebih dari itu, transformasi inteligensia Islamdari posisi marjinal menuju posisi sentraldalam dunia politik dan birokrasi Indonesiatampak membingungkan jika berusahamemahaminya dalam konteks studi yangtelah ada mengenai elit Indonesia moderndan politiknya. Geertz dalam karyanya yangberpengaruh, The Religion of Java (1960,1976), menggambarkan bahwa elemenaristokratik dan birokratik (priyayi) darimasyarakat Jawa merupakan kalangan yangmerepresentasikan pandang dunia pra-Islam.Dia bahkan cenderung melukiskan priyayi dansantri (elemen Islam yang taat) sebagaikategori yang bersifat saling berlawanan.Di Indonesia formasi sosial tidakpernah menjadi basis utama bagi penyatuansosial, kebanyakan intelektual berkelompokatas dasar solidaritas kultural ketimbang atasdasar kelas. Dalam situasi yang diskriminatifdan segregatif itu, upaya untuk menciptakansuatu elit berpendidikan modern dengananutan nilai dan prinsip sekuler bisamelahirkan kecenderungan antitetis manakalapara anggota komunitas inteligensia tersebut68

Ahmad Calam, Denny Susanti, Tohar Bayu Angin, Inteligensia Islam sebagai.menemukan jalan kembali ke jangkaridentitasnya. Ketika para anggota darikomunitas inteligensia Indonesia mulaimerumuskan suatu respons ideologis atasnegara kolonial yang represif, pluralitas latarsosio-kultural mereka melahirkan perbedaandalam ideologi. Sebagai konsekuensinya, paraanggota komunitas inteligensia Indonesiaterbelah ke dalam beberapa tradisi politik danintelektual. Maka, lahir kelompok inteligensiaIslam, inteligensia komunis, inteligensianasionalis, inteligensia sosialis, inteligensiaKristen, dan seterusnya. Dalam konflik diantara tradisi intelektual ini, masing-masingkelompok berupaya untuk memperbanyakpengikutnya dengan jalan menggabungkandiri dengan kelompok status yang telahmapan (yaitu kelompok solidaritas kultural).Meski demikian, mereka tetap menunjukkankesamaan dalam keistimewaan sosial (socialprivilege), bahasa, kebiasaan, latar pendidikandan orientasi pekerjaan. Dengan kata lain,inteligensia Indonesia merefleksikan suatuekspresi kolektif dalam arti ‘suatu kesamaanidentitas dalam perbedaan’ (identity titas’ (differenceinidentity). Inteligensia Indonesia merupakanbagian dari dinamika kesejarahan Indonesia,dan oleh karena itu, formasi sosialnya jugatunduk kepada proses kesejarahan dantransformasi. Istilah pertama dalam bahasaIndonesia (Melayu) yang mengindikasikanlahirnya inteligensia Hindia Belanda adalah‘bangsawan pikiran’ yang mulai muncul dalamruang publik pada dekade pertama abad ke20. Pada tahun 1960-an, istilah ‘cendekiawan’(atau ‘tjendekiawan’ dalam ejaan lama) mulaimemiliki konotasi politiknya ligensia’. Ini terlihat dari berdirinyasebuah perhimpunan intelektual sayap kiri,Organisasi Tjendekiawan Indonesia (OTI) padaawal tahun 1965. Tidak lama kemudian,majalah perjuangan milik Kesatuan AksiSarjana Indonesia (KASI) cabang Bandung,yaitu Tjendekiawan Berdjuang terbit padaJurnal SAINTIKOM Vol 14, No. 1, Januari 2015tahun 1966. Pada tahun 1970-an, istilahtersebut dipergunakan secara reguler dalamwacana publik Indonesia sebagai dampak darikebijakan Orde Baru untuk menggantikanperistilahan dari Barat dengan peristilahanIndonesia.Dalam konteks ini, kolektivitas dariorang-orang terdidik Islam dalam berbagaiperhimpunan, organisasi kultural dan politiklebih dipahami sebagai kolektivitas dari‘inteligensia’ ketimbang sebagai kolektivitasdari ‘para intelektual’. Meski demikian,penting dicatat bahwa tidak ada kolektivitastanpa para intelektual.C. KONTRIBUSI DALAM BIDANG SOSIAL,POLITIK, PENDIDIKAN DAN KEAGAMAANTeori ini membagi Islam menjadi duabagian,pertama, Islam yang bersifatkeagamaan, kedua, Islam yang bersifat politik.Sementara pemerintah kolonial harusmenghormati dimensi dunia kehidupan Islamyang pertama, ia tidak boleh mentoleransiyang kedua. Untuk persoalan kedua ini,Snouck menekankan: ‘karena itu, setiap adatanda-tanda kemunculannya, harus secarategas dihadapi dengan kekuatan dan semuacampur tangan yang datang dari luar negeridalam perkara Islam harus dipatahkan sejakdari tunasnya (Benda, 1958: 24).Hasil dari sintesis ini ialah suatuhibrida ‘reformisme-modernisme Islam’.Gerakan intelektual yang baru itu terinspirasioleh ajaran dari seorang pemikir Islampengelana yang terkemuka, Jamal al-Din alAfghani (1839-97), yang menjadi perhatianutama dari pemikir ini ialah bagaimanamengatasi kelumpuhan dan perpecahan Islamyang terus terjadi dan menghidupkan kembalikejayaan Islam. Dalam pandangan al- Afghani,untuk membebaskan masyarakat Islam daricengkeraman kolonial niscaya harus dilakukanpembaharuan terhadap kepercayaan danpraktik Islam karena agama baginyamerupakan basis moral bagi kemajuan teknikdan saintifik serta solidaritas politik dankekuasaan. al-Afghani yakin bahwa Islam pada69

Ahmad Calam, Denny Susanti, Tohar Bayu Angin, Inteligensia Islam sebagai.hakekatnya memang cocok untuk menjadibasis bagi masyarakat saintifik modernsebagaimana halnya pernah menjadi basisbagi kejayaan Islam di abad pertengahan. Diantara muridnya yang terkenal ialah,Muhammad Abduh (1849-1905). Dengankitab utamanya Al-Urwa al-Wuthqâ (IkatanYang Kokoh), yang akan menjadi landasanbagi propaganda gerakan Pan-Islamisme.Sejak saat itu, gerakan Pan-Islamisme menjadisebuah perwujudan dari apa yang duludiimpikan al-Afghani sebagai solidaritas Islam.Di mata al-Afghani, Pan-Islamisme danNasionalisme bisa saling melengkapi dalamaspek ‘pembebasan’.Achmad Khatib, yang merupakanulama besar koloni Jâwa yang terakhir disekitar peralihan abad ke-19/20, bersikapskeptis terhadap meluasnya pengaruhreformisme-modernismeIslamyangterinspirasi oleh pemikiran Abduh itu.Meskipun dia sendiri telah terpengaruh olehreformisme Islam, namun posisinya nya be

aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Capaian politik inteligensia Islam ini memuncak dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden pasca-Habibie, yang disusul dengan penunjukkan figur Islam sebagai pejabat senior negara. Meskipun inteligensia Islam pada akhir abad ke-20 telah

Related Documents:

6602.B · Godaddy Payroll 300.00 6602.C · Godaddy Shopping Cart 140.00 6602.D · Dropbox 100.00 Total 6602 · Software 1,190.00 6603 · Leases 6603-1 · Xerox 11,000.00 6603-2 · Pitney Bowes 1,600.00 Total 6603 · Leases 12,600.00 6605 · Furniture & Fixtures 1,000.00 Total 6600 · EQ

Islam merupakan upaya mengatasi beberapa problem kejiwaan yang 10 Hamdani Bakran Adz-Dzaky. Konseling dan Psikoterapi Islam (Yogyakarta: Al-Manar, 2008), 228. 11 Fuad Anshori, Aplikasi Psikologi Islam (Yogyakarta: 2000), 242. 33 didasarkan pada pandangan agama Islam. Psikoterapi Islam mempercayai

acuan hidup mereka. Peranan media dalam Islam mestilah menonjolkan prinsip yang selari dengan ajaran yang telah ditetapkan oleh Islam. Dalam konteks komunikasi Islam yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas tentang media, Islam telah menetapkan bahawa media Islam mestilah selari dengan peranan agama Islam.

KATA PENGANTAR Dewasa ini kajian tentang Islam Nusantara sangat banyak diminati tidak hanya oleh orang Islam di Nusantara saja tetapi juga oleh orang-rang Islam Luar Negeri. Studi Islam Nusantara, berkaitan dengan ajaran atau nilai Islam secara dogmatis dan aplikatif yang berm

dibuktikan melalui buku-bukunya antara lain, Ilmu Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Filsafat Pendidikan Islam,Metodologi Studi Islam, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Perspektif Islam t

Islam means submission to God. The word "Islam" is an Arabic word derived from the root word "salaam", which means peace. Therefore, the word Islam implies submitting to God, living in peace with oneself as well as others and with the environment. The people that practice Islam are called Muslims.

EC 6605 4 Teacher as Child Advocate & Adult Educator (Prerequisites: EC 6600, EC 6602, EC 6603, EC 6604) EC 6960* 2 Early Childhood Practicum (Prerequisites: EC 6600, EC 6602 and/or EC 6603) Level II: (These courses are required to complete the M.Ed. All courses in Level I must b

American Gear Manufacturers Association 500 Montgomery Street, Suite 350 Alexandria, VA 22314--1560 Phone: (703) 684--0211 FAX: (703) 684--0242 E--Mail: tech@agma.org website: www.agma.org Leading the Gear Industry Since 1916. May 2004 iii Publications Catalog How to Purchase Documents Unless otherwise indicated, all current AGMA Standards, Information Sheets and papers presented at Fall .