Booklet Seri Keempat - CIFOR

1y ago
30 Views
2 Downloads
4.72 MB
24 Pages
Last View : 10d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Jerry Bolanos
Transcription

Booklet Seri KeempatKEMITRAAN KPH YOGYAKARTA SEBAGAI MODEL “PERHUTANAN SOSIAL UNGGUL”

Booklet Seri KeempatInovasi Tanpa Henti:Kemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model“Perhutanan Sosial Unggul”

Booklet Seri KeempatInovasi Tiada Henti:Kemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model“Perhutanan Sosial Unggul”Kontributor penulis:Andita Aulia PratamaDwi LaraswatiTri Sulistyati WidyaningsihTata Letak Isi:Sarjoko S.Dipublikasikan oleh:Fakultas KehutananUniversitas Gadjah MadaJl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman, Caturtunggal,Kec. Depok, Kabupaten Sleman,Daerah Istimewa Yogyakarta 55281fkt.ugm.ac.idFoto Cover:Sebijak InstituteTidak untuk diperjual belikanBooklet ini merupakan seri keempat (dari enam seri) hasil penelitian“Peningkatan Efektivitas Model Pranata dan Tata Kelola dalamMencapai Pengelolaan Hutan Lestari: Studi Kasus di KesatuanPengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta” kerjasama antara Center forInternational Forestry Research (CIFOR) dengan Fakultas KehutananUGM dan Balai KPH Yogyakarta di bawa proyek penelitian Kanoppi 2:Membangun dan mempromosikan wana tani berbasis pasar danintegrasi pengelolaan lanskap untuk petani hutan di Indonesia2021

Kata PengantarCIFOR (Center for International Forestry Research) melaluikegiatan penelitian aksi partisipatif Kanoppi, sangat banggadengan diterbitkannya seri booklet yang didukung dana ACIAR(Australian Center for International Agricultural Research).B ooklet ini disusun sebagai bagian dari studi “Peningkatanefektivitas model tata kelola dalam upaya mendukung pengelolaanhutan berkelanjutan: Studi kasus Kesatuan Pengelolaan Hutan(KPH) Yogyakarta.” Studi ini merupakan salah satu kegiatanpenelitian dalam rangka memformulasikan rekomendasi untukpenyusunan kelembagaan yang tangguh di tingkat tapak. CIFORberterima kasih kepada para mitra yang sudah terlibat dalampenelitian ini, terutama Fakultas Kehutanan, Universitas GadjahMada, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan D.I. Yogyakartadan KPH Yogyakarta.Koordinator Penelitian Kebijakan KanoppiAni Adiwinata Nawir, Ph.DPengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesiabelum menggembirakan, dicerminkan oleh deforestasi dandegradasi hutan yang terus berlangsung. Kebijakanpembentukan KPH ditujukan untuk merespons kebutuhan akanpengelola hutan di tingkat tapak yang profesional dan mandiriyang dapat menyelenggarakan pengelolaan hutan yang efisiendan lestari. Balai KPH Yogyakarta memiliki sejarah panjang dan saatini dipandang sebagai salah satu rujukan utama bagi KPH-KPH laindi Indonesia. Walaupun demikian, kami secara kontinumengembangkan berbagai inovasi, termasuk dengan bersinergidengan berbagai mitra. Melalui kerjasama dengan Center forInternational Forestry Research (CIFOR) dan Fakultas KehutananUGM ini, kami berharap pengelolaan hutan oleh B alai KPHYogyakarta semakin profesional. Dengan seri booklet ini, kamiberharap diseminasi model-model kelola, pengalaman dantantangan di B alai KPH Yogyakarta, dapat menjadi pembelajaranbagi KPH lain di Indonesia.Kepala Balai KPH YogyakartaAji Sukmono B. Nurjaman, S.Hut, M.Pi

Sejalan dengan visi universitas sebagai pelopor perguruan tingginasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif dan mengabdikepada kepentingan bangsa, Fakultas Kehutanan UGM secarakontinu berupaya menjadi elemen penting untuk mewujudkanpembangunan kehutanan nasional berkelanjutan danberkeadilan. Untuk mencapai hal tersebut, Fakultas KehutananUGM terus menjalin kerjasama dan sinergi dengan berbagai mitrabaik nasional maupun internasional. Center for InternationalForestry Research (CIFOR) merupakan salah satu mitrapenting kami. Melalui kerjasama penelitian “PeningkatanEfektivitas Model Pranata dan Tata Kelola Pengelolaan HutanLestari: Studi Kasus di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)Yogyakarta”, kami bersinergi memfasilitasi agar kebijakannasional terkait KPH dapat menjadi solusi bagi berbagaitantangan pengelolaan hutan. Kami berharap kerjasama inidapat memberikan sumbangsih yang nyata bagi terwujudnyapengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan.Dekan Fakultas Kehutanan UGMDr. Budiadi, S.Hut, M.Agr.SciiKemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

Daftar IsiKata PengantariDaftar IsiiiiDaftar GambarivPendahuluan1Perhutanan Sosial: Sebuah Idealitas Program PerhutananSosial dapat Dirunut dari Kongres Kehutanan3Pengembangan Kemitraan oleh Balai KPH Yogyakarta5Mekanisme Akses8Rekognisi Kemitraan Mangunan sebagai BentukPerhutanan Sosial9Kerangka hukum yang mendasari Perhutanan Sosial10Daftar Pustaka13iii

Daftar GambarGambar 1. Realisasi skema PS (luasan dalam hektar)3Gambar 2. Rapat warga di Mangunan4Gambar 3. Kondisi warga sekitar hutan KPH5Gambar 4. Petang hari di Mangunan9ivKemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

PendahuluanPerhutanan Sosial (PS) dipromosikan sebagai salahsatu inovasi strategi pembangunan masyarakatdesa hutan yang inklusif, untuk memberikansolusi atas permasalahan kemiskinan yang kronis.Kebijakan ini muncul sebagai jawaban atas kegagalanmodel pembangunan kehutanan skala industri yangawalnya diharapkan mampu mendorong tumbuhnyaperekonomian pedesaan (Westoby, 1987). Perhutanan Sosialmendorong peran aktif masyarakat dalam pengelolaanhutan berkelanjutan yang sekaligus untuk memicutumbuhnya inovasi lokal dalam pengembangan alternatifpenghidupan (Sikor et al., 2013; Kellert et al., 2000).Banyak negara di dunia telah menjadikan kehutanansosial sebagai salah satu prioritas utama kebijakanpembangunan kehutanan. Lebih dari 10% hutan dunia saatini telah dikelola berdasarkan semangat kehutanan sosial.Perhutanan Sosial terus diarusutamakan dalam tiga dekadeterakhir. Saat ini banyak negara di dunia telah menjadikanPerhutanan Sosial sebagai salah satu prioritas utamakebijakan pembangunan kehutanan. Diperkirakan lebih dari10% hutan dunia saat ini telah dikelola berdasarkan modeldan prinsip-prinsip kehutanan sosial (Bull dan White, 2002).Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian cukupserius terhadap permasalahan kemiskinan masyarakat desa1

hutan melalui implementasi program kehutanan sosial, mengingattingginya jumlah masyarakat pedesaan yang bergantung terhadaphutan (Box 1).Box 1. Ketergantungan Terhadap HutanProgram Perhutanan Sosial sangat relevan di Indonesia, mengingatbesarnya jumlah masyarakat sekitar hutan yang masih bergantungterhadap hutan. Konsep “ketergantungan” terhadap hutan masihmenjadi bahan perdebatan. Newton et al. (2016) mencatat ada studiyang merujuk hal itu sebagai , ketergantungan terhadap hutansebagai sumber penghidupan keseharian, walaupun ada yangmemperluas definisi dengan memasukkan semua yang mendapatkemanfaatan dari sumber daya hutan. Ada juga yangmenterjemahkan “ketergantungan” berdasarkan kedekatan tempattinggal dengan sumber daya hutan (Lynch, 2006; Newton et al.,2016), walaupun tidak semua kelompok masyarakat yang dekatdengan hutan menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan(Byron dan Arnold, 1997). Diperkirakan ada sekitar 70 juta jiwa yangbergantung terhadap hutan (Sunderlin et al., 2005, Lynch, 2006),tersebar di hampir 30 ribu desa sekitar hutan (Rahmina et al., 2011).Di Pulau Jawa, jumlah masyarakat yang bergantung terhadap hutandiperkirakan juga masih tinggi, walaupun desa-desa mulai bergesermenjadi perkampungan urban. Hal ini disebabkan karena proporsimasyarakat yang menggantungkan hidupnya ke sektor berbasislahan (pertanian) masih cukup tinggi. Cukup banyak dokumentasimengenai rerata kepemilikan lahan pertanian yang relatif kecilsehingga masih banyak masyarakat pedesaan yang memanfaatkanlahan hutan sebagai sumber penghidupan tambahan. Oleh karenaitu, program Perhutanan Sosial masih sangat strategis untukpembangunan perekonomian masyarakat pedesaan.Eksperimentasi model kehutanan sosial di Indonesia telah dimulaisejak empat dekade lalu yang kini telah masuk dalam tahapanimplementasi. Saat ini, konsep Perhutanan Sosial terejawantahkandalam bentuk skema Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yangtelah memiliki legitimasi dan kerangka hukumnya oleh pemerintah.Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional2014-2019, pemerintah menjanjikan untuk mengalokasikan 13,8 jutahektar hutan negara untuk masyarakat lokal dan masyarakat adatmelalui skema Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial ala pemerintahtersebut bertujuan untuk mengimplementasikan kebijakanekonomi pemerataan dengan cara memberikan akses lahankawasan hutan negara kepada masyarakat. Perhutanan Sosialtersebut diatur berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup2Kemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

Gambar 1. Realisasi skema PS (luasan dalam hektar) diolah darihttp://pkps.menlhk.go.id/index/index#piapsdan Kehutanan PermenLHK No.83/2016 dan PermenLHK No.39/2017 (untuk kawasan hutanPerhutani di Jawa).Skema Perhutanan Sosialyang diatur dalam peraturantersebut dapat dilihat padarealisasi skema Perhutanan Sosialyang ditunjukkan pada Gambar 1.Skema Perhutanan Sosialtersebut saat ini realisasinyabaru mencapai sekitar 3,2 jutahektar, masih jauh dari targetyang dicanangkan olehpemerintah. Pemerintah pusattelah mengagendakan berbagaikerangka kebijakan untukmendukung percepatanpemenuhan target inicontohnya mengikutsertakanberbagai pihak untuk menjadipendamping masyarakat dalamprogram Perhutanan Sosial.Kesatuan Pengelolaan Hutan(KPH) sebagai salah satu pihakdiarahkan menjadi tokoh sentraluntuk bisa mengakomodasiskema Perhutanan Sosial ditingkat tapak dan mempercepatimplementasinya.Perhutanan Sosial:Sebuah IdealitasProgram PerhutananSosial dapat Dirunut dariKongres KehutananDunia tahun 1978, yangdidefinisikan sebagai “semuakondisi dimana masyarakat lokaldilibatkan dalam kegiatankehutanan” (FAO, 1978). Definisi inibelum secara eksplisit memberiarahan tentang tingkat pelibatanmasyarakat, dan belum menjawabpertanyaan yang berkaitandengan bagaimana modelrepresentasi masyarakat, siapayang memegang otoritas/kewenangan dalam pengambilankeputusan, dan isu ekuitas, yaknisiapa yang mendapatkan manfaat(Duinker et al., 1994).Banyak eksperimenpengembangan program dibanyak negara yang cenderunggagal dalam menjawab isu sistempranata, hubungan kuasa dankewenangan (Sahide et al., 2016),dimana stakeholder eksternalyang lebih banyak menentukan3

Gambar 2. Rapat warga di MangunanFoto: Koleksi penulisarah kebijakan danimplementasi PerhutananSosial (Schusser et al., 2015;Schusser et al., 2016). Masyarakatlokal yang diharapkan menjadisubjek utama justru tidakdiberikan ruang kreasi untukmewarnai menentukan arahpengembangan program.Berbagai cerita kegagalanprogram Perhutanan Sosialmendorong para praktisi dankalangan akademisi untukmerumuskan arahan sistempranata, tata kelola dan tatakuasa program tersebut.Krogman dan Beckley (2002)menyatakan bahwa dalamPerhutanan Sosial, masyarakatharus diberikan mandat dankewenangan legal. McDermottdan Schrekenberg (2009)menambahkan bahwa merekaharus diberikan kewenanganyang besar “untuk mengambilkeputusan atas pengelolaanhutan, yang mencakuppenentuan aturan akses dan4distribusi produk dan manfaat”darisumber daya hutan yang merekakelola. Oleh karena itu, PerhutananSosial harus didesain sedemikianrupa agar tujuan pengentasankemiskinan masyarakat setempatdapat tercapai.Angelsen dan Wunder (2003)menyatakan bahwa pengentasankemiskinan harus mencakup: 1)pengurangan tingkat kemiskinan(poverty reduction), dimanamasyarakat secara ekonomimeningkat secara absolut danrelatif, dan 2) pencegahan terjadinyakemiskinan (poverty prevention).Pengentasan kemiskinan tidakhanya berupaya untuk memenuhikebutuhan dasar semata, tapi jugamencakup bagaimana masyarakatsetempat menjadi sejahtera,dengan mendapatkan aset dankekayaan dari pengelolaan hutan(Sunderlin et al., 2005). Pengentasankemiskinan bahkan harusmencakup aspek harkat dan derajatmasyarakat desa hutan, setaraKemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

Gambar 3. Kondisi warga sekitar hutanKPH Foto: Koleksi penulisdengan kelompok masyarakatlainnya (Maryudi et al., 2012).Perluasan hak dan aksesmerupakan dua komponen intidan merupakan dua komponeninti dan dalam PerhutananSosial. Di berbagai modelPerhutanan Sosial di Indonesia,masyarakat setempat telahdiberikan berbagai jenis hak(dalam bentuk perizinan)sehingga mereka dapatmengambil manfaat darisumber daya hutan. Sayangnyamasyarakat sering tidak mampumengambil manfaat dari hutanmeskipun sudah diberikan hak(lihat Maryudi, 2014). Hal inidisebabkan adanya seperangkatprosedur administrasi danbirokrasi yang harus dilalui.Ribot dan Peluso (2003)mengembangkan konsep akses,yang berbeda dari konsep hak.Akses didefinisikan sebagai“kemampuan untuk mengambilmanfaat”, yang tentunyaberbeda menu dengan “hakuntuk mendapatkan manfaat”.Perhutanan Sosial harusmeningkatkan aksesmasyarakat setempat, baikakses terhadap sumber daya,informasi, teknologi, pendanaan,pasar (Ribot dan Peluso, 2003).PengembanganKemitraan oleh BalaiKPH YogyakartaBentuk KemitraanSebagaimana telah dimuatdi Booklet Seri 3, KPHYogyakarta mengembangkankonsep kemitraan denganKoperasi Noto Wono dalammengelola hutan lindung pinusdi Resort Pengelolaan Hutan(RPH) Mangunan untukekowisata. Diinisiasi tahun 2012,pengembangan kemitraanekowisata ini didorong olehterus menurunnya pendapatanKPH Yogyakarta dari getahpinus dan masyarakatpenyadap. Atas usulan BalaiKPH Yogyakarta, dan merujuk5

pada Undang-Undang No.23/2014 tentang PemerintahanDaerah, Pemerintah DaerahIstimewa Yogyakartamengeluarkan PeraturanNo.7/2015 tentang PengelolaanHutan Produksi dan HutanLindung dan PeraturanGubernur No. 84/2016 tentangKerja Sama Pemanfaatan HutanLindung. Peraturan tersebutmengatur teknis kemitraandengan masyarakat. Seiringdengan perjalanan waktu,kemitraan dengan masyarakatdalam pengembangan danpengelolaan ekowisata ini justrumendekati idealitas konsepPerhutanan Sosial yang hakiki.Kelembagaan masyarakatsetempat (koperasi) memegangperan sentral pengelolaanhutan, pinus dari prosesperencanaan, eksekusilapangan, serta kegiatanmonitoring, dan evaluasi (Box 2).Strategi besar (grand design)Wana Wisata Mataram, yangmemadukan konseplingkungan, budaya, seni, dansejarah Jawa Mataram diinisiasioleh lembaga lokal. Peransentral masyarakat juga terlihatdari proses penentuan 10 lokasiwisata (Bukit Lintang Sewu,Bukit Panguk, Bukit Mojo, PinusAsri, Pintu Langit Dahromo,Pinus Pengger, Puncak Becici,Seribu Batu, Taman Literasi danPinus Sari). Balai KPHYogyakarta lebih banyakberperan dalam pendampingan.6Box 2. Pengelolaan WisataAlam Berbasis MasyarakatHutan yang dikelola oleh BalaiKPH Yogyakarta seluas 15 ribuhektar memiliki bentang alamyang lengkap dan mempesonayang terdapat di kawasan hutanbelum secara optimaldimanfaatkan oleh Balai KPHYogyakarta atau masyarakatsekitar hutan. Kawasan hutan diRPH Mangunan di Kab. Bantulpada awalnya adalah kawasanhutan produksi getah pinus yangdiharapkan menjadi penopanghidup masyarakat setempat.Berawal dari tren wisata alamyang secara umum meningkat diYogyakarta, kawasan hutan di RPHMangunan pun menjadi salah satulokasi yang unik untuk didatangipara turis lokal. Awalnya masyarakatlokal memperhatikan ada perilakuyang menyimpang dari tatanansosial lokal yang dilakukan olehpara pengunjung, karena tiadanyapengawasan yang memadai. Hal inisecara intensif disampaikan kepadaKPH Yogyakarta.Masyarakat justrumengusulkan untuk mengelolaHutan Pinus Mangunan sebagaikawasan wisata alam, selain sebagaiwahana kontrol sosial, juga untukmendapatkan nilai tambah(pendapatan) dari hutan. KPHYogyakarta menyetujui usulan darimasyarakat; awalnyapengembangan wisata alam hanyadifokuskan pada wisata swafoto(selfie) di kawasan hutan pinusKemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

Mangunan baik dengan berlatarhutan maupun punggung bukitseribu.Wisata alam tersebutawalnya dikelola tanpaorganisasi formal yangterstruktur dan memadai.Peningkatan kunjunganwisatawan, domestik daninternasional, menyadarkanbeberapa tokoh masyarakatatas pentingnya lembaga formaluntuk mengelola kawasanhutan Mangunan untukmenghindari hal-hal yang tidakdiinginkan, seperti potensikonflik. Hal ini secara kontinudisuarakan dan dikonsultasikandengan KPH Yogyakarta, yangdi saat bersamaan memerlukanpegangan hukum untukkerangka kerjasamapengelolaan hutan.Atas dorongan masyarakat,KPH Yogyakarta kemudianmenyampaikan usulanpengelolaan kepariwisataan olehmasyarakat kepada GubernurDaerah Istimewa Yogyakarta,yang akhirnya mengeluarkanPeraturan No. 7/2015 tentangPengelolaan HPHL danPeraturan Gubernur No. 84/2016sebagai panduan yangmengatur teknis kemitraan.Koperasi Noto Wono kemudiandibentuk sebagai lembagaformal yang membawahioperator dan sub-operator dariberagam objek wisata diMangunan. Koperasi dipandangsebagai bentuk yang palingcocok karena merupakanmanifestasi bentukkelembagaan ekonomikerakyatan.Koperasi Noto Wonokemudian menjadi think tankdari berbagai inisiatif dan kreasidari masyarakat dalampengembangan ekowisatadi Mangunan. Dalam prosespembangunan ekowisata ini,banyak inisiatif yang terbangundari ide masyarakat.Usulan calon operator/suboperator untuk pengembanganlokasi baru dibahas secaramendalam secara partisipatifdalam rapat-rapat koperasi. Idepengembangan wisata alamberbasis budaya lokal pun jugaberasal dari bawah. Masyarakatsetempat adalah pihak yangpaling mengenal karakteristikdan identitas budaya daerahnya.Masyarakat lokal terbuktimenjadi tokoh sentral dalamperencanaan, implementasi,monitoring dan evaluasi wilayahekowisata.Selain itu, kemitraan yangdikembangkan ini juga memberiporsi bagi hasil yang lebih besarke masyarakat, yaitu 75%, dan25% masing-masing untukKoperasi dan Balai KPHYogyakarta. Walaupun belumada studi mengenai proporsiyang optimal untuk masingmasing pihak yang bermitra,proporsi 75% relatif sangat besar,melebihi skema kemitraan lainyang dikembangkan di tempatlain di Indonesia. Ini merupakankomitmen konkrit pemerintahuntuk meningkatkan harkat danmartabat masyarakat lokaldengan pendapatan yang lebihbesar dari hutan.7

Mekanisme AksesFormalisasi pengelolaan(secured rights) melalui skemakemitraan merupakan pondasiawal bagi keberhasilanpengelolaan wisata alamMangunan. Namun yang lebihkrusial dan penting untuk menjadibahan pembelajaran adalahbagaimana masyarakat lokal dapatbenar-benar mendapatkankemanfaatan dari formalisasikemitraan tersebut. Koperasi NotoWono mampu mengkreasi danmengoptimalkan berbagaimekanisme akses, baik darilingkungan internal maupuneksternal.Keberhasilan pengembanganWisata Alam Mangunan diawalioleh bagaimana masyarakatmampu menangkap peluangkunjungan wisatawan lokal kelokasi hutan pinus. Selain itu,mereka juga mampumengkombinasikan unsurkebudayaan lokal dalampengembangan spot-spot wisata.Yogyakarta sebagai salah satupusat kebudayaan di Indonesia(budaya Mataram) mampu digalisecara optimal oleh Koperasi NotoWono. Inisiatif pembangunanlokasi obyek wisata pun memilikidasar nilai kebudayaan dankeunikan tersendiri. Konsep ecocultural mampu dikembangkansecara apik, dan menjadi salah satufaktor pembeda yang cukupkrusial. Masyarakat melihat trenpengembangan ekowisata padalokasi lain yang hanya bertumpu8pada pembuatan spot-spotswafoto sehingga berpandanganbahwa kalau merekamengadopsi strategi serupa,akanterjadi kejenuhan yangberpotensi menurunkan minatkunjungan wisatawan. Koperasijuga tidak berhenti berkreasiuntuk memunculkan hal-halbaru dan unik yang dapatmendorong kunjunganwisatawan, tidak hanya yangtertarik dengan atraksi alam.Koperasi Noto Wono telahmenyelenggarakan beberapakonser besar yang menghadirkanartis-artis terkenal dalam negeridan internasional, untukmemanjakan wisatawan. Barubaru ini, digelar festival musikindie yang bertajuk"InDiESTINATION Music Fest2019" dengan menggabungkangaya musik dengan destinasiwisata alam. Beberapa artis yangpernah tampil di Mangunanantara lain Dharma, Didi Kempot,Guyon Waton, Ponki Barata,Jikustik, Jasmine Elektrik, OmWawes, Amorisa, Hasoe Angels,Mitti Zasia, Bravesboy, Letto,Bunga Ardina, Bulan Jingga danIstana Band.Sinergi yang apik denganberbagai pihak juga menjadipondasi kokoh keberhasilanpengelolaan wisata alamMangunan. Beberapa tokohmasyarakat mampu melihatsosok progresif Kepala KPH yangcukup akomodatif terhadapinisiatif-inisiatif lokal. Merekamampu mengkomunikasikan ideKemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

Gambar 4. Petang hari di MangunanFoto: Koleksi penulisdengan baik kepada otoritaspengelola KPH Yogyakarta danbersama-sama berdiskusi atasdasar kesetaraan untuk mencaristrategi dalam mengatasiberbagai hambatan.(ESDM) juga memfasilitasiwisata alam Mangunan denganpembangunan dan perbaikaninfrastruktur untukmeningkatkan kenyamananwisatawan menuju lokasi.Hal ini sangat terlihat diawal-awal pengembangan wisataalam, yang mungkindikhawatirkan akan mendorongkerusakan ekosistem hutan.Tokoh masyarakat dan KepalaKPH bersama-sama mampumeyakinkan para pihak atasinisiatif kemitraan yang akandibangun dengan sinergibersama birokrasi pemerintahlain (non-kehutanan). WisataAlam Mangunan disinergikandengan peta pengembanganwisata yang telah direncanakanoleh Dinas Pariwisata DaerahIstimewa Yogyakarta. DinasPekerjaan Umum dan Energidan Sumber Daya MineralRekognisi KemitraanMangunan sebagaiBentuk PerhutananSosialSecara konseptualPerhutanan Sosial atau socialforestry telah puluhan tahundiarusutamakan olehpemerintah untukmenyejahterakan masyarakatsekitar hutan. Negara secaralegal telah mengagendakankesejahteraan masyarakatsebagai kunci dan menjaditujuan utama berdirinyanegara. Konsep PerhutananSosial kemudian mulai secaralegal dan terlegitimasi menjadi9

agenda utama pemerintahIndonesia setidaknya sejaktahun 2015 ketika presidenmeluncurkan kebijakanekonomi pemerataan danmengimplementasikannyamelalui skema Reforma Agrariadan Perhutanan Sosial. SkemaPerhutanan Sosial yangdiagendakan terlegitimasimelalui PermenLHK No. 83/2016tentang Perhutanan Sosial.Kerangka hukum yangmendasari PerhutananSosial:1.2.3.4.5.6.7.UUD 1945 pasal 33 ayat 3.UU No. 41/1999 tentangKehutanan.UU No. 6/2014 tentang Desa.UU No. 23/2014 tentangPemerintahan Daerah.Putusan MahkamahKonstitusi No.35/2012tentang Hutan Adat.PermenLHK No. 83/2016tentang Perhutanan SosialPermenLHK No.39/2017tentang Perhutanan Sosialdi kawasan Perhutani.Sementara itu, DaerahIstimewa Yogyakarta padadasarnya merupakan pionir darikonsep Perhutanan Sosial.Pemberian berbagai macamizin pemanfaatan di area hutanDinas Lingkungan Hidup danKehutanan Daerah IstimewaYogyakarta telah dilaksanakan10seperti izin HutanKemasyarakatan, Hutan Desa danHutan Tanaman Rakyat bahkansejak tahun 2007 hingga 2013.Perkembangan terakhir,KPH Yogyakarta melaksanakanskema kemitraan denganmasyarakat hutan di sekitarwilayah hutan RPH Mangunanyang diwakili oleh Koperasi NotoWono. Skema kemitraandengan masyarakat juga telahdilaksanakan di Kawasan hutanlain dengan B adan Usaha MilikDesa (BUMDes):1. BUMDes Murakabi denganobjek wisata Klayar;2. BUMDes Bangun Kencanadengan objek wisataNgingrong;3. BUMDes Jati Lestari denganobjek wisata rest areaSekargamaSkema kemitraan yang telahterjalin pada umumnya dalamruang lingkup pemanfaatanjasa lingkungan (wisata). Skemakemitraan untuk memanfaatkanjasa lingkungan ini pada awalnyajuga merupakan inisiatif yangcukup fresh sehingga pada saatitu bentuk legitimasi yangmuncul adalah lewat daerahmelalui Peraturan Daerah(Perda) dan Peraturan Gubernur(Pergub) lalu selanjutnya barudilegitimasi lebih lanjut melaluiperaturan tingkat menterinya.Melalui peraturan-peraturantersebut kemudian kegiatanpemanfaatan jasa lingkungan diKawasan KPH Yogyakartamemiliki kerangka hukum yangKemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

Skema kemitraan yang telah terjalin padaumumnya dalam ruang lingkup pemanfaatanjasa lingkungan (wisata). Skema kemitraanuntuk memanfaatkan jasa lingkungan inipada awalnya juga merupakan inisiatif yangcukup fresh sehingga pada saat itu bentuklegitimasi yang muncul adalah lewat daerahmelalui Peraturan Daerah (Perda) danPeraturan Gubernur (Pergub) lalu selanjutnyabaru dilegitimasi melalui peraturan tingkatmenterinyajelas. Kegiatan kemitraan di sisilain direkognisi dalam skemaPerhutanan Sosial namunkerangka peraturannya baruterbentuk melalui PermenLHKNo. 83/2016. Sementara itu, kerjasama kemitraan yang terbentukoleh KPH dengan koperasiNoto Wono di Mangunantelah terbentuk beberapatahun sebelumnya. Beberapaketentuan yang menarikmengenai kemitraan dalamPerhutanan Sosial: 1. kawasanberkonflik; 2. memiliki potensimenjadi kawasan penghidupanbagi masyarakat setempat; 3.areal tanaman penghidupan diwilayah Izin Usaha PemanfaatanHasil Hutan Kayu dalam HutanTanaman Industri (IUPHHK-HTI);4. zona pemanfaatan di tamannasional atau taman wisataalam/taman hutan raya; 5. arealyang terdegradasi di Kawasankonservasi. Sementara itu,kemitraan dari KPH Yogyakartadengan Koperasi Noto Wonodilaksanakan di areal kawasanhutan lindung Dinas LingkunganHidup dan Kehutanan (LHK)dengan memanfaatkan jasalingkungan dari hutan. Hal inibelum terekam dalam kerangkalegal PermenLHK No. 83/2016mengenai Perhutanan Sosialoleh Kementrian LHK.Kegiatan kemitraan ala KPHYogyakarta ini merupakaninovasi yang dapat menjadimodel Perhutanan Sosial yangmodern. Kegiatan yang diaturoleh skema Perhutanan Sosialsecara resmi baiknya adaptifdan inovatif sehingga jugamampu merekognisi berbagaikegiatan yang nyatanya dapatmeningkatkan akses dankesejahteraan masyarakatsekitar hutan. Kemitraan olehKPH Yogyakarta denganKoperasi Noto Wono telahmemberikan contoh gambaranbagaimana masyarakat dapatmemanfaatkan hutan tidaksekedar dari akses lahan atauproduk kayunya. Masyarakat disekitar RPH Mangunan telah11

mendapatkan legitimasi untuk memanfaatkan sumber dayahutan dan juga telah memiliki arahan bagaimana batasanbatasannya dalam pemanfaatan tersebut. Konsep kemitraan alaKPH Yogyakarta ini memberikan ruang inovasi yang cukup luasbagi masyarakat untuk berkreasi dalam mengelola hutanuntuk kesejahteraan mereka. Di sisi lain kepastian hukum daripemerintah daerah juga memberikan arahan untuk dapatterintegrasi dalam menunjang pembangunan daerah.Kemitraan yang dilaksanakan oleh KPH Yogyakarta inimemberikan contoh penerapan Perhutanan Sosial yang tidakhanya beresonansi dengan kepentingan agenda nasional tetapijuga sesuai dengan agenda pemerintah daerah.12Kemitraan KPH Yogyakarta sebagai Model “Perhutanan Sosial Unggul”

Daftar PustakaAngelsen, A. dan Wunder, S. (2003). Exploring the Forest-PovertyLink: Key Concepts, Issues and Research Implications .CIFOR Occasional Paper No.40. Center for InternationalForestry Research, Bogor.Bull, G. dan White, A. (2002). Global Forests in Transition: Challengesand Opportunities.Byron, N. dan Arnold, M. (1997). What Futures for the People of theTropical Forests?. CIFOR Working Paper No. 19. Center forInternational Forestry Research, Bogor.Duinker, PN., Matakala, PW., Chege, F., dan B outhilier, L. (1994).Community forests in Canada: An overview. The ForestryChronicle, 70 (6):711-720.Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)(1978). Forestry for Local Community Development. FAOForestry Paper , No.7, Rome.Kellert, SR., Mehta, JN., Ebbin, SA., dan Lichtenfeld, LL. (2000).Community Natural Resource Management: Promise,Rhetoric, and Reality. Society & Natural Resources , 13 (8): 705715.Krogman, N. dan B eckley, T. (2002). Corporate “bail-outs” and local“buyouts”: Pathways to community forestry?. Society andNatural Resources , 15(2):109-127.Lynch, OJ. (2006). Securing Community-B ased Tenurial Rights inthe Tropical Forests of Asia: An Overview of Current AndProspective Strategies. A report from World ResourcesInstitute’s Center for International DevelopmentEnvironment, Washington, DC.Maryudi, A. (2014). An innovative policy for rural development?Rethinking barriers to rural communities earning their livingfrom forests in Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan, 8 (1):50-64.Maryudi A, Devkota, RR., Schusser, C., Yufanyi, C., Rotchanaphatharawit,R., Salla, M., Aurenhammer, H., dan Krott, M. (2012). B ackto B asic-Considerations in evaluating the outcomes ofcommunity forestry. Forest Policy and Economics, 14: (1), 1-5.McDermott, MH. dan Schrekenberg, K. (2009). Equity in communityforestry: insights from North and South. InternationalForestry Review, 11(2):157-170Newton, P., Miller, D. B yenkya, MAA, dan Agrawal, A. (2016). Whoare forest dependent people? A taxonomy to aid livelihood13

and land use decision making in forested regions. Land UsePolicy, 57: 388-395Rahmina, H., Sofia, Y., Marbyanto, E., dan Mustofa, E. (2011). Tata Caradan Prosedur Pengembangan Program Pengelolaan HutanBerbasis Masyarakat dalam Kerangka Undang-UndangNo. 41 Tahun 1999. Ministry of Forestry and DeutscheGesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ).Ribot J.C. dan Peluso NL. (2003). A theory of access. Rural Sociology, 68(2):153-181Sahide, M.A.K., Supratman, S., Maryudi, A., Kim, Y-s, dan Giessen, L.(2016). Decentralisation policy as recentralisation strategy:forest management units and community forestry in Indonesia.International Forestry Review,18 (1):78-95.Schusser, C., Krott, M., Yufanyi Movuh, M.C., Logmani, J., Devkota, R.R.,Maryudi, A., Salla, M., dan Bach, N.D. (2015). Powerfulstakeholders as drivers of community forestry - Results of aninternational study. Forest Policy and Economics, 58: 92-101.Schusser, C., Krott, M., Movuh, MCY., Logmani, J., Devkota, RR.,Maryudi, A., dan Salla, M. (2016) Comparing community forestryactors in Cameroon, Indonesia, Namibia, Nepal and Germany.Forest Policy and Economics, 68:81-87.Sikor, T., Gritten, D., Atkinson, J., Huy, B., Dahal, G.R., Duangsathaporn, K.,Hurahura, F., Phanvilay, K., Maryudi, A., Pulhin, J., Ramirez, M.A.,Win, S., Toh, S., Vaz, J., Sokchea, T., Marona, S. dan Yaqiao, Z. (2013).Community forestry in Asia and the Pacific : Pathway to inclusivedevelopment. RECOFTC, Bangkok.Sunderlin, W.D., Angelsen, A., Belcher, B., Burgers, P., Nasi, R., Santoso,L., dan Wunder, S. (2005). Livelihoods, Forests, and Conservationin Developing Countries: An Overview. World Development, 33(9):1383-402.Westoby, J. (1987). The Purpose of Forests: Follies of Development. O

booklet ini merupakan seri keempat (dari enam seri) hasil penelitian "peningkatan efektivitas model pranata dan tata kelola dalam mencapai pengelolaan hutan lestari: studi kasus di kesatuan pengelolaan hutan (kph) yogyakarta" kerjasama antara center for international forestry research (cifor) dengan fakultas kehutanan ugm dan balai kph

Related Documents:

The palm oil global value chain: Implications for economic growth and social and environmental sustainability. Working Paper 220. Bogor, Indonesia: CIFOR. CIFOR Jl. CIFOR, Situ Gede Bogor Barat 16115 Indonesia T 62 (251) 8622-622 F 62 (251) 8622-100 E cifor@cgiar.org cifor.org The authors declare that they have no competing of interests.

Booklet ini disusun sebagai bagian dari studi "Peningkatan efekfitas model tata kelola dalam upaya mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan: Studi kasus Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta." Studi ini merupakan salah satu kegiatan penelian dalam rangka memformulasikan rekomendasi untuk penyusunan kelembagaan yang tangguh di ngkat tapak.

The Center for International Forestry Research (CIFOR) is a non-profit global organization dedicated to advancing human-well-being, environmental conservation, and equity. CIFOR conducts research to help inform policies and . Responsive Governance and Women’s Leadership and a

La palma de la controversia: La palma aceitera y los desafíos del desarrollo. Bogor, Indonesia: CIFOR. Traducido de Rival A. y Levang P. 2013. La palme des controverses: Palmier à huile et enjeux de . los efectos perjudiciales para la salud y el medioambiente del cultivo de palma aceitera. Basándose en que esto representa un vilipendio de .

2016 national curriculum tests Key stage 2 [BLANK PAGE] This page is intentionally blank. Contents Booklet 2B 3 Booklet 5B 15 Booklet 8C 31 Booklet 9C 47 Booklet 12P 63 Booklet 14P 75. Sene n Bet 2B First name Middle name Last name Date of birth Day Month Year School name 2016 national urriculum ets Key e 2 53208. ST002B June16. 3. Page . 02 of .

this booklet contains important information installer: use the information in this booklet to install the appliance and affix this booklet adjacent to the appliance after installation. user: keep this booklet of information for future reference.

P-6 1 SET-FE Test Booklet No. ijh{kk iqfLrdk la[;k Test Booklet Series ijh{kk iqfLrdk lhjht This Booklet contains 48 pages. bl iqfLrdk eas 48 i 'B gSaA FE Do not open this Test Booklet until you are asked to do so. bl ijh{kk iqfLrdk dks rc rd uk [kksysa tc rd dgk u tk,A Read carefully the instructions on the back cover of this booklet.

the tank itself, API standards prescribe provisions for leak prevention, leak detection, and leak containment. It is useful to distinguish between leak prevention, leak detection and leak containment to better understand the changes that have occurred in tank standards over the years. In simple terms, leak prevention is any process that is designed to deter a leak from occurring in the first .