Perkembangan Hukum Laut Internasional Dan Perundang .

2y ago
88 Views
7 Downloads
742.87 KB
53 Pages
Last View : 1m ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Lilly Andre
Transcription

MODUL 1Perkembangan Hukum LautInternasional dan PerundangUndangan IndonesiaDr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si.Akhmad Solihin, S.Pi, MH.PE N DA H UL U ANModul 1 ini berisi penjelasan tentang perkembangan hukum lautinternasional dan perundang-undangan Indonesia. Pembahasan Modul 1meliputi permasalahan-permasalahan yang dihadapi Indonesia dalammerumuskan wilayah lautnya sebagai satu kesatuan dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI). Sejarah ratifikasi hukum laut internasional kedalam perundang-undangan Indonesia juga dijelaskan pada Modul 1 ini.Secara umum, setelah Anda mempelajari modul ini diharapkan dapatmenjelaskan perkembangan hukum laut internasional dan perundangundangan Indonesia. Pemahaman tentang perkembangan hukum laut tersebutberguna bagi Anda dalam memahami wilayah laut Indonesia sebagai satukesatuan dalam NKRI.Secara khusus, setelah Anda mempelajari Modul 1 diharapkan dapatmenjelaskan:1. Sejarah konferensi hukum laut internasional2. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hukum laut danperkembangannya di sektor perikanan.3. Konsepsi negara kepulauan.4. Perkembangan perundang-undangan kelautan Indonesia.

1.2Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan Kegiatan Belajar 1Sejarah Konferensi Hukum LautInternasionalA. SUMBER-SUMBER HUKUM LAUTLaut tidak hanya berfungsi untuk pelayaran (permukaan perairan), akantetapi juga memiliki nilai potensi sumber daya yang besar, baik yang terdapatdi kolom perairan (ikan) maupun di dasar perairan (minyak dan gas bumi). Dimasa lalu, dengan penguasaan teknologi yang terbatas, permukaan laut hanyadimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran. Sekarang, dengan berkembangnyateknologi, laut sudah dimanfaatkan hingga dasar perairannya. Oleh karenanya,hukum laut berkembang pesat sesuai dengan perkembangan zaman. Hal inisebagaimana diungkapkan Mauna (2000), bahwa hukum laut yang dulunyabersifat unidimensional sekarang telah berubah menjadi pluridimensionalyang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu.Prodjodikoro (1991) menambahkan bahwa hukum laut oleh pakar-pakardi masa lalu hanya diartikan yang terkait dengan aturan pelayaran kapal di laut,khususnya pengangkutan orang atau barang dengan kapal laut. Artinya, hukumlaut hanya ditinjau dari segi hukum perdata (privaat recht). Padahal, hukumlaut juga mengatur wilayah hukum publik (publiek recht).Sementara itu, berbicara mengenai sumber hukum laut, ketentuanketentuan mengenai hukum laut sebelum tahun 1958 didasarkan atas hukumkebiasaan (Mauna, 2000). Hukum kebiasaan internasional merupakan salahsatu sumber hukum yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam MahkamahInternasional Permanen. Istilah kebiasaan (custom) dan adat istiadat (usage)sering digunakan secara bergantian. Namun demikian, kedua istilah tersebutmempunyai perbedaan teknis yang sangat tegas, adat istiadat merupakantahapan yang mendahului adanya kebiasaan. Dengan kata lain, kebiasaanadalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum (Starke,2001).Hukum kebiasaan berasal dari praktik negara-negara melalui sikap dantindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambilsuatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh negara-negara laindan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak

MMPI5302/MODUL 11.3lain, maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Dengan katalain, terbentuknya suatu hukum kebiasaan didasari oleh praktik yang sama,dilakukan secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikutioleh banyak negara (Mauna, 2000). Hal ini sesuai dengan pernyataan parapakar hukum internasional, bahwa ada unsur yang harus dipenuhi agarkebiasaan internasional dipandang sebagai hukum kebiasaan internasional,yaitu (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003; dan Parthiana, 1990):1. Perilaku itu harus merupakan praktik atau perilaku yang secara umumtelah dilakukkan atau dipraktikkan oleh negara-negara.2. Perilaku yang telah dipraktikkan secara umum tersebut, oleh negaranegara atau masyarakat internasional, telah diterima atau ditaati sebagaiperilaku yang memiliki nilai sebagai hukum.Sementara itu, secara utuh Pasal 38 ayat (1) Piagam MahkamahInternasional Permanen menyebutkan bahwa sumber hukum internasionalterdiri atas:1. Perjanjian internasional, adalah perjanjian yang diadakan antaranggotamasyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibathukum tertentu. Berdasarkan batasan tersebut, maka untuk dapatdisebutkan sebagai perjanjian internasional, perjanjian tersebut harusdilakukan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggotamasyarakat internasional. Adapun subjek hukum internasional, yaitu:Negara, Tahta Suci (vatikan), Palang Merah Internasional, OrganisasiInternasional, Organisasi Pembebasan atau bangsa yang sedangmemperjuangkan haknya, kaum beligerensi, individu, dan subjek-subjekhukum internasional lainnya.2. Kebiasaan-kebiasaan internasional. Pasal 38 ayat (1) sub b yangmenyebutkan bahwa international custom, as evidence of a generalpractice accepted as law. Artinya, hukum kebiasan internasional adalahkebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterimasebagai hukum. Hal ini sebagaimana ditambahkan Rudy (2001), bahwaunsur-unsur hukum kebiasaan internasional, yaitu: (a) harus terdapat suatukebiasaan yang bersifat umum, dan diterapkan berulang-ulang dari masake masa; dan (b) kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.3. Prinsip hukum umum, adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilizednation). Kusumaatmadja dan Agoes (2003) menambahkan bahwa yang

1.44.5.Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan dimaksud dengan asas hukum ialah asas hukum yang mendasari sistemhukum modern. Adapun yang dimaksud sistem hukum modern ialahsistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukumnegara barat yang sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukumRomawi.Sumber hukum tambahan, adalah keputusan pengadilan dan pendapat parasarjana terkemuka di dunia. Namun, keputusan pengadilan dan pendapatpara sarjana tersebut tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkansuatu kaidah hukum (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dan lembagainternasional. Sumber hukum ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhanlembaga dan organisasi internasional dalam 50 tahun belakangan ini yangtelah mengakibatkan timbulnya berbagai keputusan baik dari badanlegislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari lembaga atau organisasiinternasional (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003).Hukum kebiasaan internasional sebagaimana diungkapkan di atas, sangatkental dalam kelahiran hukum laut. Salah satunya adalah persaingan duakonsepsi, yaitu (Djalal, 1979):1. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersamamasyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki olehmasing-masing negara.2. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada yang memiliki dankarena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.Sodik (2011) mengungkapkan bahwa pertentangan kedua konsepsitersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut olehImperium Roma, yang menguasai tepi lautan Tengah secara mutlak sehinggalautan tersebut terbebas dari gangguan bajak laut. Pemikiran hukum bangsaRomawi terhadap tepi Lautan Tengah didasarkan pada doktrin res communisomnium (hak bersama seluruh umat manusia) yang menjadi cikal bakal prinsipkebebasan di laut lepas. Sementara itu, di sisi lain terdapat hak pendudukpantai di zaman itu untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telahdiakui (Djalal, 1979). Artinya, penguasaan atas negara di wilayah laut yangberdekatan dengan pantai didasarkan atas konsepsi res nullius.

MMPI5302/MODUL 11.5Untuk memahami pertentangan tersebut, beberapa negara telahmelaksanakannya sebagai berikut.1.Zaman Sebelum RomawiPhunicia Kuno telah mendirikan suatu kerajaan yang menganggap lautyang mereka kuasai sebagai milik negara mereka. Anggapan tersebut dianutpula oleh Bangsa Persia, Yunani, dan Rhodia. Bahkan di zaman Rhodia,hukum laut telah berkembang dan diatur dalam kekuasaan negara. Hukum inikemudian menjadi dasar dari Hukum Romawi mengenai laut.2.Zaman RomawiSetelah Perang Punis III, Romawi berkembang menjadi penguasa tunggaldi Laut Tengah yang kemudian dianggap sebagai ”danau” mereka. DalamHukum Romawi, laut diartikan sebagai public property dan milik KerajaanRoma. Di zaman Romawi pula diakuinya hak penduduk pantai untukmenangkap ikan di perairan dekat pantainya.3.Setelah Zaman RomawiMulai berkembang Konsepsi Laut Wilayah, karena masing-masing negaramerupakan pecahan dari Kerajaan Romawi. Mereka menuntut laut yangberdekatan dengan pantai mereka masing-masing. Namun, ada juga negaranegara yang menuntut lebih jauh dari itu, bahkan ada yang menyalahgunakandengan memungut biaya pelayaran, sehingga kemudian dibuat pembatasankekuasaan sampai batas tertentu. Setelah runtuhnya Imperium Roma,bermunculan tuntutan sejumlah negara yang berdekatan dengan pantai. Salahsatu contoh klaim adalah Venetia atas sebagian besar Laut Adriatik yangdiakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Venetia memungut beaterhadap setiap kapal yang berlayar di Laut Adriatik (Sodik, 2011).4.Zaman Portugal dan SpanyolSetelah ditemukannya jalan laut ke timur dan dirampasnya Konstantinopeloleh Turki pada tahun 1433, orang Portugis berlayar ke Indonesia melaluiSamudera Hindia dan kemudian menuntut Samudera Hindia dan Laut Atlantiksebagai milik negara mereka. Spanyol telah sampai ke Maluku melaluiSamudera Pasifik dan menuntut Samudera Pasifik sebagai miliknya.Sodik (2011) menceritakan bahwa pada tahun 1493 terjadi suatu peristiwapenting, yaitu pengakuan Paus Alexander VI atas tuntutan Spanyol dan

1.6Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan Portugis yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu denganbatasan garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah baratAzores. Sebelah barat dari meridian tersebut yang mencakup SamuderaAtlantik Barat, Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik menjadi milik Spanyol,sedangkan sebelah timurnya yang mencakup Samudera Atlantik sebelahselatan Maroko dan Samudera India menjadi milik Portugal. Pembagiantersebut kemudian diperkuat dengan Perjanjian Tordesilas antara Spanyol danPortugis tahun 1494.5.Munculnya BelandaPembagian dunia milik Spanyol dan Portugis menimbulkan tantangan daripihak Belanda terutama dalam bidang pelayaran dan perikanan. Di bidangpelayaran, Belanda berlayar ke Samudera Hindia dan mengadakanperdagangan dengan Indonesia. Pada tahun 1602 Belanda mendirikanVereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk berdagang ke/dariIndonesia. Penerobosan Belanda ke Samudera Hindia bertentangan dengankepentingan Portugal. Di bidang perikanan, Belanda menentang tuntutanInggris karena orang Belanda telah berabad-abad menangkap ikan di perairantersebut, bahkan telah melaksanakan berbagai perjanjian dengan kedua negara.Dalam usaha menentang Portugal dan Inggris, Belanda mempunyai dasarhukum untuk mempertahankan tuntutannya yaitu bahwa “Laut adalah bebasuntuk semua bangsa”. Belanda kemudian menyewa seorang ahli hukumbernama Hugo de Groot (Grotius) untuk menulis sebuah buku yang berjudul“De Jure Praedae” (Hukum tentang Rampasan Perang) yang terbit pada tahun1604 yang pada Bab 12 secara khusus membahas mare liberium (laut bebas).Buku tersebut membenarkan pendirian Belanda bahwa laut tidak dapatdimiliki oleh siapa pun sehingga harus terbuka bagi semua bangsa. Alasannya,karena luasnya laut dan tidak ada seorang pun yang dapat hidup di laut secarapermanen dalam jangka waktu yang lama, serta laut mengandung sumber dayaalam yang tidak ada batasnya sehingga tidak akan habis untuk dimanfaatkanoleh semua bangsa (Brown, 1994).6.Munculnya InggrisSebelum 1604, Inggris menganut faham kebebasan lautan, tetapi tahun1604 James I memproklamasikan King Chamber Area yang terdiri atas 26daerah sepanjang dan di sekeliling Inggris sebagai Laut Inggris (MareAnglicanum). Di wilayah tersebut, James I melarang nelayan Belanda

MMPI5302/MODUL 11.7menangkap ikan dan tahun 1609 James I memungut pajak bagi kapal nelayanasing yang menangkap ikan di wilayah tersebut. Belanda sangat menentangtuntutan Inggris tersebut.B. SEJARAH KONFERENSI HUKUM LAUT INTERNASIONALDari pertentangan antara Portugal, Spanyol, Inggris, dan Belanda timbul“battle of the books” yang berkisar antara teori Mare Liberum Belanda danMare Clausum Inggris. Mare Liberum adalah suatu teori yang mengemukakanbahwa laut adalah sesuatu yang tidak mempunyai batas, sehingga tidak dapatdimiliki. Mare Clausum adalah teori yang menyatakan bahwa laut dapatdimiliki oleh suatu negara.Sejarah kemudian membuktikan kedua teori tersebut tidak dapatmempertahankan ajaran masing-masing. Kemudian Grotius dalam bukunyaDe Jure Belli Ac Pasis (1625) mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatunegara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari darat.Pada tahun 1703 Cornelius van Bynkershoek, seorang penulis Belanda,dalam bukunya De Dominio Maris Disertatio menyatakan bahwa negarapantai berhak atas lajur laut sejauh yang dapat dikuasainya dari darat. Pendapatini sama dengan pendapat Grotius. Dengan dikeluarkannya buku tersebut makaberakhirlah pertentangan antara Inggris dan Belanda. Hal ini dikarenakan,tidak adanya kesatuan pandangan dan praktik negara-negara yang menyeluruhtentang lebar laut wilayah. Sejak akhir abad 19 muncul pemikiran-pemikiranbaru tentang hakikat hukum laut dan lebar ke laut wilayah.Oleh karena itu, sejak akhir abad ke-19, bermunculan berbagai organisasidan lembaga internasional yang membahas masalah-masalah tersebut.Beberapa organisasi dan lembaga tersebut, yaitu (Djalal, 1979):1.Institut de Droit InternationalLaut teritorial menjadi pembahasan penting di lembaga ini sejak akhirabad ke-19. Adapun sidang-sidang yang telah dilakukan adalah Laussane(1888), Hamburg (1891), Geneva (1892), dan Paris (1894). Sidang terakhir diParis (1894) menghasilkan resolusi, yaitu:a. Lebar laut teritorial untuk suatu keperluan tidak perlu sama dengan lebaruntuk keperluan lainnya, misalnya antara keperluan perikanan dankeperluan netralitas.

1.8b.c.d.e.f.Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan Ajaran lebar laut teritorial 3 mil (yang mulanya didasarkan kepadaperhitungan pertahanan) sudah tidak mencukupi lagi untuk keperluanperikanan (kebutuhan ekonomi dan rakyat pantai).Kedaulatan negara pantai atas laut wilayah diakui.Teluk-teluk sejarah, yaitu teluk-teluk yang secara historis telah lamamenjadi milik suatu negara, diakui statusnya dan pada teluk yang lebarmulutnya kurang dari 12 mil dapat ditarik garis dasar (baseline) dimulutnya. Laut teritorial dapat diukur dari garis dasar tersebut, dan karenaitu tidak mutlak lagi diukur dari garis pantai (garis air rendah)sebagaimana pada masa-masa sebelumnya.Dalam keadaan perang, “neutral zone” masih dapat ditetapkan di luar lautteritorial yang 6 mil itu sampai jarak tembakan meriam yangsesungguhnya di darat.Hak “hot porsuit”, yaitu hak memburu pelanggar-pelanggar hukum di lautteritorial yang melarikan diri ke laut bebas, dan hak lintas damai di lautwilayah diakui.Pada tahun 1829 diselenggarakan sidang di Stockholm yangmenghasilkan kesepakatan, yaitu:a. Lebar laut teritorial adalah 3 mil, sekalipun lebar yang lebih dari itu dapatditerima berdasarkan kebiasaan hukum internasional;b. Panjang garis pantai (baseline) di mulut teluk dikurangi menjadi 10 mil.c. Prinsip archipelago diakui adanya, tetapi jarak antar pulau-pulau tidakboleh lebih dari dua kali lebar laut teritorial.2.International Law Association (ILA)Sidang-sidang ILA dilakukan di London (1887), Geneva (1892) danBrussels (1895). Adapun hasil sidang Brussels (1895), yaitu:a. Prinsip lebar laut teritorial 6 mil diterima;b. Baseline untuk mulut teluk diterima 6 mil;c. Hak negara pantai untuk menetapkan sendiri wilayah neutral zone, diakui;d. Selat yang kedua tepinya dipunyai oleh satu negara diakui menjadi miliknegara tersebut, dan jika di tengahnya terdapat “kantong laut bebas”, makakantong-kantong tersebut juga dapat diakui sebagai milik negara tersbut;dane. Pengakuan hak hot porsuit atau pengejaran seketika.

MMPI5302/MODUL 11.9Akan tetapi ILA mengubah pendapatnya tersebut dalam sidang Stockholm(1924), yaitu:a. Lebar laut teritorial adalah 3 mil;b. Baseline untuk mulut teluk diterima 6 mil; danc. Hak lintas damai di laut teritorial diakui.3.Japananese Association of International LawSidang tahun 1926 menerima lebar laut teritorial 3 mil dan panjangnyagaris dasar yang diperkenankan untuk mulut teluk adalah 10 mil. Selain itu,prinsip teluk-teluk sejarah dan lintas damai melalui laut teritorial diterima.4.American Institute of International LawSidang tahun 1927 di Rio de Janeiro (1927) mengakui negara pantaimempunyai kedaulatan atas laut teritorialnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, dan udara di atas laut teritorialnya. Selain itu, sidang ini jugamengakui bahwa archipelago adalah merupakan satu kesatuan dan karena ituperlu dilakukan sebagai suatu kesatuan. Namun, sidang ini tidak menetapkanlebar laut teritorial.5.Harvard ReasearchUniversitas Harvard sejak tahun 1927 mengadakan penelitian mengenailebar laut teritorial. Penelitian ini dalam rangka menghadapi proyekKonferensi Internasional mengenai Hukum Laut yang direncanakan olehLembaga Bangsa-Bangsa tahun 1930. Adapun hasil dokumen tersebut, yaitu:a. prinsip 3 mil laut teritorial diterima dengan pengertian bahwa negaranegara pantai masih dapat melaksanakan kekuasaan mereka di luar batastersebut, misalnya untuk keperluan perikanan dan lain-lain;b. panjang maksimum garis dasar yang diperkenankan untuk mulut telukadalah 10 mil; danc. hak “hot porsuit” di laut bebas dan hak “lintas damai” di laut teritorialdiakui.C. KONFERENSI KODIFIKASI HUKUM INTERNASIONALDEN HAAG 1930Ketidakjelasan mengenai lebar laut teritorial menjadi perhatian seriusawal abad ke-20. Hal ini dikarenakan, negara-negara pantai mulai

1.10Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan meninggalkan lebar laut 3 mil, sehingga setiap negara berbeda-beda, ada yangmenggunakan 4 mil bahkan 9 mil laut. Tentu saja ini berdampak terhadapketidakpastian luasnya laut lepas. Ketidakpastian ini terjadi hingga meletusnyaPerang Dunia I (1914-1918) hingga berakhirnya Perang Dunia ke-1 (Parthiana,2014).Sementara itu, dalam rangka mewujudkan keamanan dan perdamaiandunia serta untuk mencegah terjadinya perang dunia lagi, maka pada tahun1919 didirikanlah sebuah organisasi internasional, yaitu Liga BangsaBangsa/LBB (the League of Nations) yang menghasilkan Kovenan LigaBangsa-Bangsa (Covenant of the League of Nations). Kovenan tersebutmengamanatkan kepada negara-negara anggotanya untuk melakukanpengkodifikasian hukum internasional. Oleh karena itu, LBB memprakarsaipenyelenggaraan konferensi internasional di Den Haag pada tanggal 13 Maret– 12 April 1930 untuk mengkodifikasikan hukum internasional. Konferensiinternational ini dihadiri oleh delegasi dari 47 negara. Adapun bidang-bidanghukum international yang dikodifikasikan, yaitu tentang kewarganegaraan(nationality), perairan teritorial (teritorial waters), tanggung jawab negaraterhadap kerugian yang diderita perorangan ataupun harta kekayaan orangasing yang ada di wilayah negara lain.Konferensi Den Haag 1930 ini tidak menghasilkan suatu konvensi, kecualihanya beberapa rancangan pasal-pasal yang disetujui sementara. Hal inidikarenakan, pendapat para peserta konferensi berbeda-beda mengenai batasluar laut teritorial, seperti ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20negara), ada pula yang menghendaki 6 mil laut (12 negara), serta negaranegara Nordic yang menghendaki laut teritorial selebar 4 mil (Anwar, 1989).D. KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA 1958Kegagalan Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag 1930menyisakan ketidakseragaman lebar laut teritorial dan klaim sepihak lebar lautteritorial oleh beberapa negara pantai. Selain itu, karena berkembangnya jugapranata hukum laut baru, yaitu zona tambahan (contiguous zone) yang pertamaka

Secara umum, setelah Anda mempelajari modul ini diharapkan dapat menjelaskan perkembangan hukum laut internasional dan perundang-undangan Indonesia. Pemahaman tentang perkembangan hukum laut tersebut . ketentuan mengenai hukum laut sebelum tahun 1958 didasarkan atas hukum kebiasaan (Ma

Related Documents:

Hukum sebagai ilmu pengetahuan 2. Hukum sebagai disiplin 3. Hukum sebagai kaedah 4. Hukum sebagai tata hukum 5. Hukum sebagai petugas (hukum) 6. Hukum sebagai keputusan penguasa 7. Hukum sebagai proses pemerintah 8. Hukum sebaga perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur 9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai

tentang teori-teori hukum yang berkembang dalam sejarah perkembangan hukum misalnya : Teori Hukum Positif, Teori Hukum Alam, Teori Mazhab Sejarah, Teori Sosiologi Hukum, Teori Hukum Progresif, Teori Hukum Bebas dan teori-teori yang berekembang pada abad modern. Dengan diterbitkannya modul ini diharapkan dapat dijadikan pedoman oleh para

PENGERTIAN, SUMBER DAN ASAS A. Pengertian Hukum Acara Perdata Menurut fungsinya, hukum dibedakan menjadi hukum materiil dan hukum formil atau hukum acara. Hukum acara perdata adalah hukum perdata formil, yang pada dasarnya berfungsi mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil melalui pengadilan

dengan pembahasan pengertian Hukum Internasional Publik (HI). Hal . “Keseluruhan kaidah atau asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintas batas negara. Atau dapat dikatakan bahwa HPI adalah hukum yang mengatur hubungan hukum keperdataan antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang

Sesuai dengan ketentuan Konvensi dan UU Perairan Indonesia ini, maka perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan . Menurut penulis11 secara umum fungsi atau . Zona-zona Maritim Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 dan Perkembangan Hukum Laut

ketentuan yang mencerminkan kepentingan mereka di bidang Hukum Laut berbeda dengan konferensi-konferensi tahun 1958 dan 1960. Selain itu pula, . internasional juga merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. 15 Wirjono Prodjodik

IV. ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL A. Asas-asas HPI dalam Hukum Orang B. Asas-asas HPI dalam Hukum Benda C. Asas-asas HPI dalam Hukum Perjanjian D. Asas-asas HPI dalam Penentuan Status Badan Hukum V. KUALIFIKASI DALAM HPI A. Pengertian B. Arti Penting Kualifikasi C. Teori-teori Kualifikasi 1. Teori kualifikasi lex fori 2.

Paediatric Anatomy Paediatric ENT Conditions Paediatric Hearing Tests and Screening. 1 Basic Sciences HEAD AND NECK ANATOMY 3 SECTION 1 ESSENTIAL REVISION NOTES medial pterygoid plate lateral pterygoid plate styloid process mastoid process foramen ovale foramen spinosum jugular foramen stylomastoid foramen foramen magnum carotid canal hypoglossal canal Fig. 1 The cranial fossa and nerves .