HERMENEUTIKA GADAMER DAN RELEVANSINYA DENGAN

2y ago
5 Views
1 Downloads
1.06 MB
15 Pages
Last View : 23d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Lilly Kaiser
Transcription

View metadata, citation and similar papers at core.ac.ukbrought to you byCOREprovided by Farabi: Journal of Ushuluddin & Islamic ThoughtHERMENEUTIKA GADAMERDAN RELEVANSINYA DENGAN TAFSIROleh: Sofyan A.P. KauAbstrakTulisan ini akan membahas hermeneutika dalam perspektif Gadamer.Menurut Gadamer membaca dan memahami sebuah teks pada dasarnyaadalah melakukan dialog dan membangun sintesis antara dunia teks,dunia pengarang dan dunia pembaca. Ketiga hal ini -dunia teks, duniapengarang dan dunia pembaca- menjadi pertimbangan penting dalamsetiap pemahaman. Pengabaian atas salah satu aspek akan melahirkanpemahaman atas teks menjadi kering dan miskin. Untuk mendapatkanpemahaman yang maksimal, Gadamer mengajukan empat teori:prasangka hermeneutik, lingkaran Hermeneutika, Aku-Engkau” menjadi“Kami” dan hermeneutika dialektis. Keempat teori ini bukan hal yangbaru dalam tradisi tafsir. Sebab prinsip dasar hermeneutika adalahsebuah upaya interpretatif untuk memhami teks.Kata Kunci: hermeneutika, tafsir dan teks.A. PendahuluanSetidaknya ada empat fase pemikiran filsafat yang menghiasipanggung sejarah umat manusia dari dulu hingga sekarang ini yaitukosmosentris, teosentris, antroposentris dan logosentris. Fase"kosmosentris" adalah fase di mana alam dipandang sebagai objekdiscourse. Ini terjadi pada masa klasik. Pada fase "teosentris", Tuhanmenjadi objek pembicaraan. Ini berlangsung pada abad pertengahan. Diabad modern yang merupakan fase antroposentris, wacana yang pentingdan dominan dalam kajiannya adalah seputar manusia terutama kekuatanakal atau rasionya. Dan akhirnya di abad mutakhir ini, abad 20 adalahfase "logosentris", bahasa menjadi pusat objek perbincangan yangmenarik.1Hermeneutika berada pada fase keempat, sebab berbicarahermeneutika tidak terlepas dari bahasa. Ilmu hermeneutika lahir, akibat1Herry Hamerma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, cet. 3),h. 141.109

Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsirdari kondisi desentralisasi manusia, di mana manusia-sebelum faselogosentris – tidak lagi dipandang sebagai subjek bahasa, subjekpemikiran, subjek tindakan dan pusat sejarah. Manusia tidak lagi dilihatsebagai subjek atas pemaknaan realitas. Di sini, manusia tidak “berbicarasendiri”, melainkan “dibicarakan”, baik oleh struktur-struktur bahasa,sosial-ekonomi, politik dan seterusnya. Manusia benar-benar tidak lagimengendalikan atau mencetak bahkan membentuk struktur dan sistem,tetapi justru dikendalikan, dicetak atau dibentuk oleh struktur dansistem.2 Singkatnya, manusia telah menjadi maf’ul, dan tidak lagisebagai fa’il atas pemaknaan realitas.Ilmu hermeneutika yang berbicara seputar logos yang berartibahasa, teks, isi, pemikiran, kata dan pembicaraan, berupaya memberikanpemaknaan dan pemahaman yang mendalam. Banyak filsuf zaman kitamelihat bahasa sebagai objek dan tema terpenting pemikiran mereka.Kalau “bahasa” dimengerti dalam arti lebih luas, yaitu dalam arti “teks”,texture, tenunan struktur-struktur, maka para filsuf sekarang menganggapfilsafat sebagai suatu “teks” yang harus ditafsirkan. Mereka menyelidikitema-tema terpenting dalam teks ini dan bertanya siapakah pengarangteks ini. Dengan demikian filsafat menjadi ”filsafat mengenai filsafat”atau hermeneutika. Dalam rangka ini telah diterbitkan sejumlah karyadari pemikir-pemikir besar hermeneutika, seperti Ricoeur Russell, JurgenHabermas, Hans-Georg Gadamer dan lain-lain.Tulisan ini akan membahas hermeneutika dalam pandanganGadamer, terutama tentang sejumlah teori-teorinya sebagai upayamemahami sebuah teks. Tentu akan dikaitkan dengan tafsir untukmenemukan relevansinya. Sebelum sampai pada bahasan yang dimaksud,terlebih dahulu diperjelas pengertian hermeneutika itu sendiri.B. Pengertian HermeneutikaSecara etimologis kata hermeneutika (hermeneneutic) berasal daribahasa Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti menjelaskan,menerjemahkan dan mengekspresikan.3 Kata bendanya hermeneia,artinya tafsiran. Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dan2Ibid., h. 142.3E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,1993, h.23, lihat pula E.A. Andrews, A. Latin Dictionary, Founded on Andrews editionof Freunds Latin Dictionary, Oxford, Clarendon Press, 1980, h. p/fa

Sofyan A.P. Kauhermeneia dipakai dalam tiga makna, yaitu (1) “mengatakan”, to say (2)”menjelaskan” to explain dan (3) “menterjemahkan”, to translate. Tigamakna inilah yang dalam kata Inggris diekspresikan dalam kata : tointerpret. Interpretasi dengan demikian menunjuk pada tiga hal pokok:pengucapan lisan (an oral ricitation), penjelasan yang masuk akal (areasonable explation) dan terjemahan dari bahasa lain (a reation fromanother language). 4Secara historis kata hermeneutika merujuk pada nama Hermes,tokoh seorang utusan Tuhan dalam mitologi Yunani yang bertugasmenjadi perantara antara dewa Zeus dan manusia. Ia bertugasmenjelaskan kepada manusia perintah-perintah tuhan mereka. Dengankata lain ia bertugas untuk menjembatani antara dunia langit (divire)dengan dunia manusia.Konon suatu saat Hermes dihadapkan pada persoalan pelikketika harus menyampaikan pesan Zeus untuk manusia. Yaitu bagaimanamenjelaskan bahasa Zeus yang menggunakan “bahasa langit” agar bisadimengerti oleh manusia yang menggunakan “bahasa bumi”. Akhirnyadengan segala kepintaran dan kebijaksanaannya, Hermes menafsirkandan menerjemahkan bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia sehinggamenjelma menjadi sebuah teks suci. Kata teks berasal dari bahasa Latinyang berarti produk tenunan atau pintalan. Dalam hal ini yang dipintaloleh Hermes adalah gagasan dan kata-kata Zeus agar hasilnya menjadisebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami. 5Dalam tradisi filsafat perenial terdapat dugaan kuat bahwa figurHermes tak lain adalah Nabi Idris yang disebutkan dalam al-Quran.Pendapat ini diakui oleh Hossein Nasr sendiri bahkan oleh sebagianulama dan mufassir lainnya.6 Di kalangan pesantren pekerjaan nabi Idris4Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dan Aristoteles sampai Derrida,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 172-173.5Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan KrisisModernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.117.6Sayyed Hossein Nashr, Knowledge and Sacred, (State University Press, 1989), h.71; Abu al-Wafa al-Mubasyir ibn Fatik, Mukhtar al-Hikam wa Mahasin al-Kalim, dieditoleh Abdurrahman Darwi, (Mathba‟ al-Ha‟had al-Mishr li Dirasah al-islamiyah, Madrid,1958), h. 7, lihat juga Abu Daud Sulaiman ibn Hasan al-andalusi, Thabaqat al-Atibba’wa al-Hukama’, (Mathba‟ al-Ahdi li al-„Ilm al-Faransi li al-Atsar al-Syarqiyyah, 1955),h. 5.Jurnal Farabi, Vol 11. No 2. Desember 2014 (ISSN: 1907-0993)111

Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsirdikenal sebagai tukang tenun atau pemintal. Jika profesi Nabi Idrissebagai tukang tenun atau pemintal tersebut kita kaitkan denganmitologi Yunani tentang dewa Hermas di atas, maka di antara keduanyaterdapat korelasi positif. Yaitu memintal atau merangkai dalam artianmemintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agarnantinya pas dan mudah dipahami oleh manusia. Sementara itu, katakerja “memintal” padanannya dalam bahasa Latin adalah tegere,sedangkan produknya disebut textus atau texs. 7Demikianlah, sejak awalnya hermeneutika telah berurusandengan persoalan bagaimana menjelaskan bahasa, lisan maupun tulisan,yang tidak jelas, kabur, atau kontradiksi sehingga dengan amat mudahdimengerti dan tidak menimbulkan keraguan, kebimbangan dankesalahtafsiran bagi pendengar atau pembacanya. Kemudian dalamperkembangan selanjutnya, hermeneutika menjadi sebuah disiplin filsafatyang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan “ understanding ofunderstanding (pemahaman pemahaman) terhadap sebuah teks, terutamateks Kitab Suci, yang datang dari kurun waktu, tempat, serta situasi sosialyang asing atau berbeda dengan pembacanya. 8C. Sekilas tentang GadamerHans-George Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Iabelajar filsafat pada universitas di kota asalnya, antara lain pada NikolaiHartmann dan Martin Heidegger dan mengikuti kuliah juga pada RodolfBultmann, seorang teolog protestan. Pada tahun 1922 ia meraih gelar“doktor filsafat”. Sembilan tahun kemudian ia menjadi privatdozent diMarburg. Setelah selama tiga tahun mengajar, tepatnya tahun 1937 iamenjadi profesor. Tetapi dua tahun kemudian Gadamer pindah keLeipzig. Pada tahun 1947 ia pindah lagi ke Frankfurt am Main. Akhirnyadi tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai pensiunnya. 9Gadamer dikenal sebagai seorang penulis kontemporer dalam7Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika,(Jakarta: Paramadina, 1996), h.126.8Komaruddin Hidayat, Arkoun dan Tradisi Hermeneutika, dalam “TradisiKomederenan dan Modernisme”, penyunting Dr. Johan Hendrik Meuleman,(Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 24-25.9K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983),h. p/fa

Sofyan A.P. Kaubidang hermeneutika yang amat terkemuka. Lewat karya monumentalnyaWahrheit and Methode: GrundzugeeinerPhilosophischenHermeneutik.10 ( Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofismenurut garis besarnya) telah menghantarkan dirinya sebagai seorangfilsuf terkemuka di bidang hermeneutika filosofis. Terbitnya buku inipertama kali terbit tahun 1960 dalam bahasa Jerman, dianggap sebagaisalah satu kejadian terpenting dalam filsafat Jerman dewasa ini. Padatahun 1965 diterbitkan cetakan kedua dengan suatu kata pendahuluanyang baru di mana Gadamer menjelaskan maksudnya dan menjawabsejumlah keberatan-keberatan yang telah dikemukakan oleh sementarakritisi; ditambah lagi sebuah lampiran. Dan pada cetakan ketiga daritahun 1972 masih ditambah lagi dengan suatu kata penutup. Buku inikemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Truthand Method. (Kebenaran dan Metode). Karya ini sekaligus merupakancontoh mengenai model penafsiran reproduktif dan penafsiran produktifkarena dari karya ini telah lahir ratusan artikel, puluhan buku dandesertasi serta makalah seminar yang khusus membicarakan berbagaidimensi buku Truth and method. Lewat karya besar inilah, Gadamermenjadi seorang pemikir hermeneutika historis paling ternama di abadini.D. Perspektif Gadamer tentang HermeneutikaWalaupun bukunya tersebut berjudul Truth and Methode(Kebenaran dan Metode), namun Gadamer tidak bermaksud menjadikanhermeneutika sebagai metode. Bagi Gadamer hermeneutika bukan hanyasekedar menyangkut persoalan metodologi penafsiran, melainkanpenafsiran yang bersifat ontologi, yaitu bahwa understanding itu sendirimerupakan the way of being dari manusia. Jadi baginya lebih merupakanusaha memahami dan menginterpretasi sebuah teks, baik teks keagamaanmaupun lainnya seperti seni dan sejarah. 11Gadamer mengawali dalam bukunya tersebutdenganmenganalisis seni secara hermeneutis. Ia memperlihatkan bahwaperkembangan dalam ilmu pengetahuan alam mengakibatkan perubahan10Selain karya tersebut, Gadamer juga telah menulis sejumlah karya lainnyaseperti Hermeneutic and Social Science (artikel 1975), Hegel’s Dialectic (1976),Philosophica Hermeneutics (1976) dan Dialogue and Dialectic (1980).11Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat,., h. 63.Jurnal Farabi, Vol 11. No 2. Desember 2014 (ISSN: 1907-0993)113

Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsirdalam penilaian manusia terhadap bentuk-bentuk pengenalan yanglainnya, misalnya pengalaman estetis. Ilmu pengetahuan mulaimemenopoli pengenalan objektif, sehingga pengalaman terhadap karyakarya seni diinterpretasikan sebagai subjek belaka. Menurut Gadamerpengalaman seni benar-benar mengungkapkan kebenaran kepada kita danmembuat kita menjadi mengerti. Oleh karena itu kesenian pun termasukwilayah hermenutika. 12Bagi Gadamer sebuah karya seni -terutama drama dan musikmemegang peranan penting dalam memahami hermeneutika. Drama danmusik oleh Gadamer disebutnya sebagai “The reproductive arts” (senireproduktif). Dalam bukunya Truth and Methode Gadamer memulaidiskusinya-sebagaimana yang ditulis Richard- lewat karya-karya senimembawanya melangkah lebih jauh untuk mempertanyakan sekitarinterpretasi teks-teks (wacana), sejarah dan sesuatu yang “diwariskankepada kita” lewat sebuah tradisi yang masih hidup. Apa yang sekarangdiperlukan untuk memahami pemahaman itu sendiri dan melakukan inidalam sebuah cara yang memungknkan kita membuat pengertian tentangklaim bahwa pemahaman mestilah untuk memaknai sebuah teks.Sedangkan dalam menafsirkan sejarah misalnya, menurutGadamer, intensi teologis penafsir sangat mempengaruhi dalampengambilan makna. Maksudnya, sejarah sebagai sebuah peristiwa masalalu manusia diberi makna proyektif untuk memandang masa depan,dengan kerangka berpikir hari ini. Oleh karenanya obyektifitas historismenjadi kabur. Yang ada adalah sebuah intensi kedepan berdasarkanasumsi-asumsi dan sistem nilai yang diwariskan oleh tradisi. Denganbahasa lain, dalam tradisi hermeneutis Gadamer, bahwa dalam setiappemahaman atas teks, unsur subyektivitas penafsir amat sulit dihindari. 13Bahkan secara ektrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi danhidup ketika dipahami, ditafsirkan, dan diajak dialog denganpembacanya. Teks menjadi bermakna karena kita yang memaknainya.Karena itu bisa dikatakan bahwa apa yang disebut pemahamandan pengalaman agama sampai pada batas-batas tertentu merupakanrefleksi dan penafsiran subyektif yang muncul dari proses dialogseseorang dengan dunia yang dihadapi, termasuk dunia tradisi dan teks12K. Bertens, Filsafat Barat., h. 226.13Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas., h. p/fa

Sofyan A.P. Kaukeagamaan. Dengan kata lain, ketika seseorang membaca ataumemahami sebuh teks, maka secara tidak langsung ia memproduksiulang dan menafsirkan teks sesuai dengan kemampuan dankecenderungan subyektivitasnya. Oleh karena itu, sebuah teks yang sama,ketika dibaca ulang akan melahirkan pemahaman baru.E. Teori Hermeneutika GadamerDalam teori Gadamer membaca dan memahami sebuah teks padadasarnya adalah juga melakukan dialog dan membangun sintesis antaradunia teks, dunia pengarang dan dunia pembaca. Ketiga hal ini-duniateks, dunia pengarang dan dunia pembaca- harus menjadi pertimbangandalam setiap pemahaman, di mana masing-masingnya mempunyaikonteks tersendiri sehingga jika memahami yang satu tanpamempertimbangkan yang lain, maka pemahaman atas teks menjadikering dan miskin.Untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal, Gadamermengajukan beberapa teori diantaranya sebagai berikut:Pertama, “prasangka hermeneutik“. Yang dimaksud denganprasangka hermeneutik adalah bahwa dalam membaca dan memahamisebuah teks harus dilakukan secara teliti dan kritis. Sebab sebuah teksyang tidak diteliti dan diintegrasi secara kritis tidak menutupkemungkinan besar sebuah teks akan menjajah kesadaran kognitif kita.Tetapi adalah hal yang tidak mudah bagi seseorang untuk memperolehdata yang akurat mengenai asal usul sebuah teks dan cenderung untukmenerima sumber otoritas tanpa argumentasi kritis. 14Kedua, “ Lingkaran Hermeneutika”. “Prasangka hermeneutik”bagi Gadamer nampaknya baru merupakan tangga awal untuk dapatmemahami sebuah teks secara kritis. Ia sebetulnya hendak menekankanperlunya “ mengerti “ . Bagi Gadamer mengerti merupakan suatu prosesyang melingkar. Untuk mencapai pengertian, maka seseorang harusbertolak dari pengertian. Misalnya untuk mengerti suatu teks maka harusmemiliki prapengertian tentang teks tersebut. Jika tidak, maka tidakmungkin akan memperoleh pengertian tentang teks tersebut. Tetapi dilain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadipengertian yang sungguh-sungguh. Proses ini oleh Gadamer disebut14Ibid, h. 133.Jurnal Farabi, Vol 11. No 2. Desember 2014 (ISSN: 1907-0993)115

Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsirdengan “The hermeneutical circle “ (lingkaran hermeneutika). 15Akan tetapi tidak dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa lingkaranitu timbul jika kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sebenarnya telahterdapat pada taraf yang paling fundamental. Lingkaran ini menandaieksistensi manusia sendiri. “Mengerti” dunia hanya mungkin kalau adaprapengertian tentang dunia, dan tentang diri kita sendiri, sehinggamewujudkan eksistensi kita sendiri.Apa yang dimaksudkan dengan “ prasangka hermeneutika “ dan“ lingkaran hermeneutika” bagi Gadamer di atas mengandaikan bahwadalam melakukan interpretasi atau pemahaman terhadap suatu teks,seorang hermeneut atau pelaku interpretasi tidak berada dalam keadaankosong. Dia akan membawa serangkaian pra-anggapan ke dalam tekstersebut. Bila teori ini kita kaitkan dengan ilmu tafsir dalam tradisiIslam, maka seorang mufassir al-Quran, ia akan membawa sejumlahprasangka berupa -misalnya- pengetahuannya tentang bahasa Arab,puisi, “ konteks dan intra teks dalam al-Quran, dan inter-teks antara alQuran dengan teks yang lain.Ketiga, “Aku-Engkau” menjadi “Kami”. Menurut Gadamersebuah dialog seperti dialog kita dengan teks akan dipandang sebagaidialog yang produktif jika formulasi subjek-objek “aku-engkau” telahhilang dan digantikan dengan ”kami”.16Sebetulnya pemahaman itu tidak hanya sampai di situ, karenakesadaran subjek yang dari ”aku-engkau’ menjadi ”kami” masihpotensial untuk menghalangi sebuah partisipasi maksimal untukmemperoleh pemahaman yang benar sebelum subjek ”kami” hilangmelebur pada substansi yang didialogkan. Ibarat pemain bola, yang bisadiperoleh secara benar dan autentik ketika yang bersangkutan mengalamisendiri serta lebur di dalam peristiwa permainan yang sehat dan ideal dimana pemain, wasit, penonton meninggalkan indentitas ”keakuannya”dan semuanya tertuju pada kualitas dan seni permainan itu sendiri.Jadi sikap memahami sebuah teks sedapat mungkin bagaikanupaya memahami dan menghayati sebuah festival yang menuntutapresiasi dan partisipasi sehingga pokok bahasan itu sendiri yang hadir15Kaelan, M.S, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta:Paradigma, 1998), h. 208.16Komaruddin Hidayat, Bahasa Agama., h. p/fa

Sofyan A.P. Kaupada kita, bukan lagi kesadaran subjek-objek.Keempat, hermeneutika dialektis. Gadamer menegaskan bahwasetiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis,peristiwa dialektis dan peristiwa kebahasaan. Karena itu, terbukakemungkinan terciptanya hermeneutika yang lebih luas. Hermeneutikaadalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Kunci bagi pemahamanadalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulaisi dan pengendalian.Lebih lanjut menurut Gadamer hermeneutika berkaitan denganpengalaman, bukan hanya pengetahuan; berkaitan dengan dialetika bukanmetodologi. Metode dipandangnya bukan merupakan suatu jalan untukmencapai suatu kebenaran. Kebenaran akan mengelak kalau kitamenggunakan metodologi. Gadamer memperlihatakan bahwa dialetikasebagai suatu sarana untuk melampaui kecenderungan metode yangmemprastrukturkan kegiatan ilmiyah seorang peneliti. Metode menurutGadamer tidak mampu mengimplisitkan kebenaran yang sudah impilisitdi dalam metode. Hermeneutika dialektis membimbing manusia untukmenyingkap hakekat kebenaran, serta menemukan hakekat realitas segalasesuatu secara sebenarnya.17F. Relasi Hermenetika dengan TafsirDari uraian di atas sekilas secara etimologis nampaknya tidak adaperbedaan antara hermeneutika dengan penafsiran. Atau denganungkapan lain hermeneutika adalah merupakn seni berintrepretasi. Jikademikian bila dibandingkan dengan ilmu tafsir dalam tradisi keilmuanIslam, maka hermeneutika semakna dengan tafsir atau penafsiran.Meskipun dalam perjalanan sejarah keduanya dibedakan dalam tataranteologis. Penafsiran biasanya disejajarkan dengan praktik penafsiran,sedangkan hermenutika menunjuk kepada tujuan, prinsip dan kriteria daripraktek tersebut. Dengan kata lain, hermeneutika adalah teori penafsiran.Hermeneutika sebagai bentuk upaya penafsiran dan memberimakna atas sebuah teks, maka inti dari pemikiran hermeneutikaGadaamer bertumpu pada konsep ”memahami”. Pemahaman selalu dapatditerapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman ituberhubungan dengan peristiwa sejarah, dialetika dan bahasa. Olehkarenanya pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadikita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat objktif dan ilmiah.17Kaelan, M.S, Filsafat Bahasa. ., h. 209.Jurnal Farabi, Vol 11. No 2. Desember 2014 (ISSN: 1907-0993)117

Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan TafsirSebab pemahamn bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luarkerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempatkhusus dalam kerangka ruang dan waktu misalnya dalam sejarah. Semuapengalaman yang hidup itu menyejarah, bahasa dan juga pemahamanmenyejarah. Proses pemahaman sebenarnya merupakan interpretasi itusendiri. Sebab bila akal pikiran memahami maka di dalammya tercukupjuga interpretasi. Sebaliknya bila akal pikiran kita melakukaninterpretasi, maka terangkum juga pemahamannya.Wal hasil yang terpenting dari keseluruhan pemikiran Gadameradalah bahwa pemahaman terhadap sebuah wacana (teks) akan terjadimanakala teks itu terus-menerus ditempatkan dalam kerangka konteksyang berubah secara kontinyu. Perubahan kontinyuitas dalam memahamiteks akan mudah dengan mengikuti perubahan kontinyuitas dalam suatukarya.Karena itu suatu peristiwa atau makna suatu teks yang nampak dihadapan kita bukanlah suatu yang tetap. Suatu kesadaran historis memuathubungan antara masa lalu dan masa kini. Sedangkan masa kini telahkita ketahui melalui media universal yaitu bahasa. Dengan demikiancakupan pemahamn kita menjadi universal. Oleh karena itu hubunganmanusia dengan dunianya pada hakekatnya adalah bersifat kebahasaan,oleh karena itu dapat ditangkap dan dipahami. Maka hermeneutikasebenarnya merupakan suatu yang universal dan bukannya hanya sekedarmetode dalam memahami sesuatu.Dengan demikian Gadamer nampaknya mengembangkanpengertian hermeneutika yang berpusat pada bahasa yang bersifatontologis, dialektis dan spekulatif. Tujuan hermeneutikanya bukanlahsuatu metode, bukan pula membuat sejumlah aturan yang secara objektif“sah” melainkan memahami pemahaman sekomperhensif mungkin.Untuk itu ia mengajukan sejumlah teorinya, sebagaimana tersebut diatas.Teori Gadamer tersebut adalah sebuah upaya penerapan daritugas pokok hermenutika yaitu bagaimana menafsirkan sebuah teks yangasing menjadi tidak asing; bagaimana menelusuri pesan dan pengertiandasar sebuah ungkapan dan tulisan yang tidak jelas, kabur, remangremang dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dankebimbangan bagi pendengar atau pembaca.Karena itu proses pemahaman dan interpretasi tidak denganmetode induksi, dan tidak pula deduksi, melainkan dengan php/fa

Sofyan A.P. Kaualternatif yang -oleh Komarudin Hidayat-disebut dengan metode abduksi.Yaitu, menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran sertahipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran.18Di sini pra-konsepsi dan pra-disposisi seorang penafsir dalam memahamiteks memiliki peran yang besar dalam membangun makna. Dalam tradisihermeneutika, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untukditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya.Namun begitu tidak berarti hermeneutika mendukung paham relativismenihilisme, melainkan justru hendak mencari pemahaman yang benar atassebuah teks yang hadir pada kita sebagai “tamu asing”. Memahamisebuah teks asing sama halnya dengan melakukan”interogasi” orangasing yang sama sekali tidak kita kenal. Tujuan utamanya adalah untukmelakukan rekonstruksi makna seoyektif mungkin sebagaimana yangdikehendaki oleh pengarang atau penyusun teks. Dengan ungkapan lain,hermeneutika berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunanmakna yang benar yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepadakita oleh teks. Dalam prosesnya, intuisi penafsir sangat diperlukan,disamping “sikap” curiga” dan “waspada” agar kita tidak tertipu olehsistem tanda atau struktur gramatika bahasa yang ada di permukaansehingga mengaburkan makna yang lebih obyektif.Lalu yang menjadi persoalan bagaimana sejumlah teori Gadamerpada khususnya dan teori hrmenutika pada umumnya kita terapkan dalamupaya memahami sebuah teks keagamaan, dalam hal ini al-Quran dan alhadis.Bila kita merujuk kepada sejumlah kitab-kitab tafsir nampaknyapara mufassir juga menggunakan teori hermeneutika dalam penafsiranmereka, meskipun istilah yang mereka gunakan bukan hermeneutika.Satu contoh karya tafsir al-Baidhawi, “Anwar al-Tanzil wa Asrar alTa’wil “. Metode hermenutika al-Baidhawy, dan para mufassir padaumumnya adalah apa yang disebut dengan internatal relationship(hubungan internal) yaitu hubungan internal dalam al-Quiran, atau dalamterminologi tafsir disebut dengan al-Quran yufassiru ba’dhahuba’dhan.19 ( Al-Quran menafsirkan ayat satu dengan ayat lain). Dengan18Komaruddin Hidayat, Bahasa Agama., h. 18.19Hal ini dapat dilihat misalnya ketika al-Baidhawi menafsirkan ayat 56 dari suratal-Rum yang berbunyi” laqad Labitstum fi Kitabillah” (Sesungguhnya kamu telahberdiam [dalam kubur] menurut ketetapan Allah). Cara yang dilakukan al-BaidhawiJurnal Farabi, Vol 11. No 2. Desember 2014 (ISSN: 1907-0993)119

Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsirmetode ini al-Quran diupayakan berbicara sendiri atas dirinya. Dandalam tradisi heremenutika, sebuah teks yang hadir itu kehadapan kitaakan diupayakan terhindari dari intervensi subyektif. Kaiatan dengan halini, menarik untuk kita meminjam teori Freud, Marx dan Nietzcshe, yangdalam tradisi hermenutika dijuluki sebagai The Masters of Prejudices.Menurut Freud, perasaan, tindakan dan omongan serta tulisanseseorang tanpa disadari mesti dikendalikan oleh kekuatan bawahsadarnya (sub-conscious). Dan isi bawah sadar yang paling dominan, katafreud, adalah dorongan dan ilusi-ilusi libido. Jika asumsi Freud iniditerapkan pada hermeneutika al-Quran, maka fenomena yang segeramuncul adalah bagaimana kita mesti memahami narasi al-Quran yangbercorak sangat maskulin ? Bagi umat Islam tentu saja hal itu sematamenyangkut masalah metodologi, bukannya substansi. Tetapi denganpendekatan Fruedian secara menyolok ditemukan indikasi-indikasidorongan bawah sadar berupa libido tidak bisa dielakan dan ditempatkanpada posisi metodologis semata. Kalau saja al-Quran bukan firman Allahyang suci maka dengan mudah kita mengatakan hal itu sebagai refleksikeadaan bawah sadar pengarangnya. Tetapi karena al-Quran adalahfirman suci dari Allah yang terbebaskan dari kategori gender, makapemihakan naratif al-Quran pada kaum laki-laki amat boleh jadimengungkapkan dimensi-dimensi freudian masyarakat Arab kala itu. Jadipemihakan itu tidak semata metodologis, tapi juga substansial karenayang disapa langsung oleh al-Quran kala itu adalah masyrakat Arab yangdidominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada kenyataanisyarat dan penggambaran al-Quran mengenai berita-berita kenikmatansurgawi yang dikaitkan dengan kenikmatan seksual dan sensual dalamfigur bidadri dan wanita cantik. Mempertimbangkan peringatan Freud,maka dalam melakukan rekonstruksi makna atas sebuah teks kita perluhati-hati agar dorongan subyektif bawah sadar berupa nafsu libido (id)baik pada pihak pengarang atau pembaca tidak mengaburkan makna dansignifikansi yang dikandungnya. Disini perlu dibedakan antara maknateks dan signifikansi konteks.Kemudian dari teori Karl Marx kita diajak untuk mewaspadaikesadaran pengarang dan pembaca yang mudah sekali dipengaruhi olehstatus ekonomi dan politik seseorang. Teks jenis apapun, termasuk teksdalam menafsirkan ayat ini dengan menghubungkannya dengan surat al-Mu‟minun ayat100 yang berbunyi: “Wa min waraihim barzakhum” (dan di hadapan mereka ada ek.php/fa

Sofyan A.P. Kaukeagamaan, tidak luput dari pengaruh ekonomi dan politik. Sebuah karyayang lahir dari seorang ulama yang hidup dalam lingkaran istana yangpenuh fasilitas politik, akan berbeda dengan karya yang muncul dariulama yang hidup dalam tekanan politik. Dan dalam perkembanganlitelatur keislaman, kita bisa melihat betapa pada abad pertengahan bukubuku tentang hukum Islam (figh) lebih banyak dan amat menonjol. Iniboleh jadi karena penguasa merasa perlu untuk mengendalikan prilakupolitik dan ekonomi sebagai akibat perkembangan dunia Islam yangsangat mengesankan. Tetapi karena setiap kemegahan politik dan matericenderung memancing korupsi dan konflik, maka krisisi moral yangterjadi di pusat kekuasaan telah melahirkan reaksi para ulama puritanyang kemudian melahirkan karya-karya tulis dengan semangat sufismedan oposisi. Demikianlah seterusnya, maka ketika Islam berjumpadengan kekuatan Barat, retorika dan teks-teks keislaman yang munculjuga bergeser arah dan gerak pendahulunya. Jadi dengan meminjamanalisa Marxian, dalam memahami dan menafsirkan teks, asumsi-asumsikepentingan politis-ekonomis akan sangat besar pengaruhnya dan kitaharus mampu secara kritis melakukan dekonstruksi dalam rangkamemperoleh kebenaran obyektif.Adapun dari Nietzsche yang dikenal dengan teorinya “ The Willto Power”, kita bisa belajar bahwa setiap orang pada dasarnya memilikidorongan untuk menguasai orang lain. Dengan begitu kita perlu bersikap“prejudice” dalam memahami setiap teks. Apalagi tidak jarang seorangpengarang untuk maksud-maksud tertentu menggunakan ungkapan yangdapat mempengaruhi dan menaklukan pembacanya agar menaruhkekaguman kepada pengarangnya.Apa yang menjadi peringatan ketiga tokoh di atas, sesungguhnyamenjadi peringatan bagi kita untuk tetap melakukan jarak dalammemahami teks al-Quran (dalam hal sejumlah karya tafsir) yangdiwariskan oleh para ulama kepada kita. Sayang sikap “kewaspadaan” inibelum melembaga dalam diri setiap orang ketika mereka berhadapandengan warisan khazanah intelektual Islam. Bahkan cenderung menerimaapa adanya tanpa ada kritik. Belum lagi dominasi dan hegemoni teks itusendiri. Sehingga ketika seseorang berupaya merekonstruksi makna baru,serta merta dituduh dan

dimensi buku Truth and method. Lewat karya besar inilah, Gadamer menjadi seorang pemikir hermeneutika historis paling ternama di abad ini. D. Perspektif Gadamer tentang Hermeneutika Walaupun bukunya tersebut berjudul . Truth and Methode (Kebenaran dan Metode), namun Gadamer

Related Documents:

7 Gadamer, Truth and Method, part 2, chap. 3. 8 Cf. Richard E. Palmer. The Gadamer Reader: A Bouquet of the Later Writings (Evanston, IL: Northwestern University Press, 2007), pp. 135 and 323. 9 Gadamer, Truth and Method, p. 11. Reason Papers Vol. 38, no. 1 11 It is precisely here that we believe

Serat Tripama Serta Relevansinya dengan Pembelajaran Tembang Macapat di SMK Kota Surakarta . 21047609 Kajian Semiotika Dan Nilai Pendidikan Karakter Dalam Serat Wedhatama Pupuh Gambuh Serta Relevansinya Dengan Pembelajaran Bahasa Jawa Di SMA 1 baru 33 Penelitian Tesis

Gadamer's view of art is similar to the "living form" envisioned by Schiller. Gadamer writes the play of art is not some substitute dream world in which we can forget ourselves. On the contrary, the play of art is a mirror th

Gadamer regards hermeneutics as a form of phenomenology, in the sense that phenomenology, like Dilthey research, depends on explication rather than on expla nation. 11 Gadamer has no

Gadamer, most lately in « L’art comme présentation chez Gadamer. Portée et limites d’un concept », dans Études Germaniques 62 (2007), 337-349, as well as in my Introduction à la métaphysiq

The worldwide influence of Gadamer's thinking is closely connected with the reception of his principal work, Truth and Method (1960). In 1979 Habermas characterized Gadamer's achievement as the 'urban ization of the Heideggerian province'. The bridges which

KOMEL, D.: Kierkegaard and Gadamer: On Contemporaneity FILOZOFIA 69, 2014, No 5, pp. 434-442 The article deals with Gadamer’s reception of Kierkegaard, especially in his funda-mental work Truth and Method. It sheds light on his role in creating some of the ba-sic concepts of philosoph

Peter G. Harris SHERFIELD Ian Buckbury Farm, Buckbury Lane, Newport, PO30 2NL UKIP Paul S. Martin . Anne E.V. Robertson Ivy D. Sykes Frank Vecsei ( ) Janet Champion Stephen G. Phillips Nicholas H. Finney Jean C. Burt KENDALL Gordon Sutherland 29 Beachfield Road, Bembridge, Isle of Wight, PO35 5TN Independent Patrick D. Joyce ( ) Jennifer A. Austen John L. Gansler Richard C. Beet Roger F .