DISKURSUS KEGILAAN DALAM NOVEL KALATIDHA KARYA SENO GUMIRA .

3y ago
35 Views
3 Downloads
300.30 KB
14 Pages
Last View : 1m ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Kaydence Vann
Transcription

COREMetadata, citation and similar papers at core.ac.ukProvided by Jurnal Balai BahasaDISKURSUS KEGILAAN DALAM NOVEL KALATIDHAKARYA SENO GUMIRA AJIDARMANurcholishIlmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia, JakartaPos-el: holisticore@gmail.comAbstractThis article discusses the discourse of madness in the novel Kalatidha Seno GumiraAjidarna. This research focused on how the construction of the discourse of madness in thetext of the novel Kalatidha and how the discourse of madness in the novel destabilize thedominant thinking about the madness. The analysis showed that the construction of thediscourse of madness in the novel Kalatidha not based totally on the structure of aparticular paradigm, be it in the framework of the modern paradigm and post-structuralparadigm. Discourse of madness in the novel Kalatidha reveals a number of ironies andcontradictions within the dominant discourse of madness, so that any construction ofmeaning in the text looked intact and stable.Keywords: Kalatidha, discourse, madness, metaphorAbstrakArtikel ini membahas diskursus kegilaan dalam novel Kalatidha karya Seno GumiraAjidarma. Penelitian difokuskan untuk melihat bagaimana konstruksi diskursus kegilaandalam teks novel Kalatidha dan bagaimana konstruksi diskursus kegilaan tersebutmendestabilisasi diskursus kegilaan dominan. Hasil analisis menunjukkan bahwakonstruksi diskursus kegilaan dalam novel Kalatidha tidak didasarkan secara total padastruktur paradigma tertentu, baik itu pada kerangka paradigma modern maupun paradigmapasca-struktural. Diskursus kegilaan dalam novel Kalatidha mengungkap sejumlah ironidan kontradiksi dalam diskursus kegilaan dominan sehingga setiap konstruksi pemaknaandalam teks tampak tidak utuh dan stabil.Kata Kunci: Kalatidha, diskursus, kegilaan, metaforanaskah masuk : 18 Maret 2015naskah diterima : 25 Mei 20151. PendahuluanEpisodesejarah1965—1966merupakan salah satu bagian palingmenentukan dalam alur perjalananbangsa Indonesia. Periode sejarahtersebut telah mengimplikasikan begitubanyak persoalan krusial dalam berbagaisendi kehidupan masyarakat dan menjadisalah satu tema paling laris dalam narasisejumlah karya sastra di Indonesia.Dalam buku Kekerasan Budaya Pasca1965 (2013) dikemukakan bahwapersoalan sejarah G30S 1965 1 dan1Istiah G30S digunakan sebagai acuanperistilahan umum di samping istilah GESTOK1965 (Gerakan Satu Oktober 1965). Di kalanganpara pelaku dan pendukung gerakan itu sendiri,istilah GESTOK tidak lebih familiar daripadaistilah GERAKAN 30 SEPTEMBER. Selainkedua istilah itu, dikenal pula versi lain dariharian militer Angkatan Bersenjata, yakni istilahGESTAPU. Istilah ini dipopulerkan oleh mediamassa anti-komunis sebelum kemudian OrdeBaru menetapkan istilah G30S/PKI sebagai versiresmi. Lihat Budiawan. 2004. Mematahkan175Madah Volume 6, Nomor 2, Edisi Oktober 2015

kekerasan massal terhadap orang-orangtertuduh komunis sepanjang 1965—1966telah menjadi tema utama dalambeberapa cerpen terbitan majalah Sastradan Horison sejak 19662.Berbeda halnya dengan cerperncerpen berlatar narasi sejarah G30S 1965yang dibicarakan dalam buku karanganWijaya Herlambang, sudut pandangnarasi novel Kalatidha tidak melihatpenderitaan korban-korban pencidukandan pembunuhan massal 1965—1966sebagai dampak labelisasi komunisataupun kebodohan para aktivis dansimpatisan PKI sendiri. Kalatidhacenderung memotret masalah tersebutdari sudut pandang kemanusiaan danmenganggapnya sebagai tragedi palingmengerikan yang hingga hari ini sulitdimengerti. Demikian sehingga 1966tidakmengecualikan siapapun berdasarkankategori-kategori partisan ataupun nonpartisan dalam konteks perseteruan antarakubu komunis versus anti-komunis,namunlebihdidasarkanpadapertimbangan nilai-nilai kemanusian danatas nama rasionalitas.Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis danPolitik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta:Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM); Godfellow, Rob. 1995. “Api DalamSekam: the New Order and the Ideology of Anticommunism” (Centre of Southeast Asian StudiesWorking Papers). Australia: Monash University2Lima di antara cerpen-cerpen tersebut adalahPada Titik Kulminasi (1966) karya SatyagrahaHoerip, Perempuan dan Anak-anaknya (1966)karya Gerson Poyk, Sebuah Perdjuangan Ketjil(1967) karya Sosiawan Nugroho, MakaSempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi(1967)karyaZulidahlan,PerangdanKemanusiaan (1969) karya Usamah, danAncaman (1969) karya Ugati. Herlambang,Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965:Bagaimana Orde Baru Melegitimasi AntiKomunisme Melalui Sastra dan Film. Serpong:Marjin Kiri. hlm. 102-103176Madah Volume 6, Nomor 2, Edisi Oktober 20152. Hasil dan PembahasanDalam Novel Kalatidha terdapat tigatokoh utama: tokoh Aku, Joni Gila, danPerempuan Gila. Pada bab pertama dankedua khususnya, penggambaran duniatokoh Aku dielaborasi dengan imajisurealis tentang kabut, cahaya, arwah,dan hutan bambu. Di sini, cerita tentangkabut, cahaya, serta penampakan arwahsebelas tentara Jepang dan satu arwahanak kecil di tengah hutan bambu salingberkait menjadi sebuah dunia carapandangnya.Misalnya, ketika ia mengatakan bahwapenampakan arwah anak kecil dansebelas tentara Jepang di balik kabut didalam hutan bambu tempatnya saban hariberpetualang adalah benar-benar nyata.Sementara pada saat bersamaan ia sendirisering mengakui bahwa anggapannya itutidak mungkin dipercaya orang lain selaindirinya sendiri. Karena itulah dalamnarasi Kalatidha tokoh Aku dianggaptidak cukup waras untuk bisa dipercaya.Tokoh Perempuan Gila mengalamikisah cukup mengenaskan dalam narasiKalatidha. Ia adalah korban sentimenanti-komunis. Suatu hari rumahnyamenjadi sasaran aksi massa anti-komunis.Namun berkat pertolongan seorang wargaia berhasil selamat. Sementara ayah, ibudansaudarakembarnyatewasterpanggang api. Walau selamat dariperistiwa pembakaran, nasib tokohPerempuan Gila tidak menjadi lebih baikkarena ia lalu dicap sebagai orang giladan diperlakukan dengan cara-cara kejamketika mulai tumbuh menjadi dewasa.Ketika di kurung di rumah sakit jiwa,saban hari para petugas dan dokter jagabergiliran memerkosa dan menganiayaPerempuan Gila hingga akhirnya tewasdengan kondisi cukup menyedihkan.Berbeda dengan kisah PerempuanGila, tokoh Joni Gila dicap gila setelahdituduh membunuh ayahnya. Walau

demikian Joni sendiri tidak menerimakalau ia dianggap telah membunuh sangayah dan tidak menerima bila karenatuduhan tersebut ia lalu disebut sebagaiorang gila. Joni mengaku bukanlahseorang pembunuh. Joni justru mengakuseorang pahlawan karena tindakannyatelah membuat sang ayah akhirnya bisabebas dari tekanan masalah hidup.Meskipun begitu penolakan Joni atastuduhan telah membunuh ayahnya sendiriternyata tidak kunjung membuat iamendapat pemakluman dan perlakukanistimewa dibanding orang gila padaumumnya. Joni tetap disalahkan,digilakan dan dikurung di rumah sakitjiwa seperti lazimnya orang gila. Jonidianggap telah melanggar batas-bataskewarasan dan akal sehat manusia.Kecenderungan paradoks dalamkisah tokoh Joni Gila, Perempuan Giladan tokoh Aku dianggap memilikikemungkinan koherensi dan benangmerah bila ditempatkan dalam kontekspemaknaanatasnarasisejarah1965—1966. Dalam hal ini, indikasiindikasiparadokstersebutdapatdimaknai sebagai celah atau peluanguntuk melihat dan mempertanyakan lebihjauh bagaimana perspektif kebenaran dankewarasan yang mendasari praktikkekerasan dan pembunuhan massal1965—1966. Sejalan dengan ini Foucault(dalam Mills 1997:29) mengatakanbahwa teks sastra merupakan suatubentuk praktik diskursif di dalammasyarakat karena ia dapat mengafirmasidan menentang konstruksi pengetahuandan makna sebuah objek melaluipermainan metafora.2.1Studi DiskursusDiskursus3 telah menjadi satu istilahumum dan digunakan dalam pelbagai3Dalam konteks penelitian ini dianggap lebihmemungkinkan untuk menggunakan terminologi‘diskursus’ sebagai terjemahan kata discours yangberasal dari bahasa Prancis untuk meminimalisirkerancuan dan kecenderungan simplifikasipemahaman, sekalipun pada bagian-bagiantertentu dalam pembahasan tesis ini penggunaanistilah ‘wacana’ juga tetap dianggap perlu untukmenjelaskan persoalan-persoalan yang secarakultural mengacu pada konteks Indonesia.disiplin, seperti teori kritis, sosiologi,lingusitik, filsafat, psikologi sosial, danpelbagai bidang lainnya (Mills 1997:1).Dalam menjelaskan definisi diskursus,Foucault(dalamMills1997:9)mengatakan bahwa:“Alih-alih mengurangi fluktuasimakna kata ‘diskursus’ secaraperlahan-lahan, saya anggapnyasebagaiwilayahumumsemuastatement, terkadang sebagaikelompok statement yang ikteratur yang terjadi padasejumlah statement.Lebih lanjut, Macdonell (1986)mengemukakan bahwa suatu “diskursus”(sebagai bidang tertentu penggunaanbahasa) dapat diidentifikasi melaluiinstitusi-institusi terkait dan posisi darimana datangnya serta tempat penuturnyakarena sesungguhnya, posisi ini dapatdipahami sebagai pijakan (standpoint)sudut pandang yang diambil oleh suatudiskursus dalam hubungannya dengandiskursus lain, terutama diskursuslawannya.Diskursusmenstrukturpengertian kita tentang realitas, identitas,posisi-posisi subjek, dan bentuk-bentukrelasi sosial sehingga suatu strukturdiskursus dapat diidentifikasi melaluisistematika yang terbentuk pada berbagaiide, pernyataan, cara berpikir, danperilaku dalam konteks tertentu karenapengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya.Dalammemikirkankeutamaandiskursus dari aspek kaidah-kaidah danpengaruhnya, perlu dipertimbangkan pulapersoalan kebenaran dan kekuasaankarena dalam teorisasi diskursus Foucaultkesemua aspek ini merupakan satukesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Bagi Foucault, kebenaran bukanlah177Madah Volume 6, Nomor 2, Edisi Oktober 2015

sesuatu yang intrinsik dalam ucapan,bukan pula kualitas abstrak ideal yangdicita-citakanmanusia.Foucault(1979:460) melihat kebenaran sebagaisesuatu yang dikonstruksi.Kebenaranadalahtentangdunia; kebenaran dihasilkandengan pelbagai rintangan.Setiap masyarakat memilikirezim kebenarannya sendiri,“politik umum” kebenarannyasendiri yakni tipe-tipe diskursusyang dimiliki masyarakat danberfungsi sebagai yang benar:mekanisme dan hal-hal yangmemungkinkanseseorangmembedakan antara pernyataanbenar dan salah. Cara-cara yangmendukung suatu pernyataan;teknik dan prosedur yangditetapkan untuk mencapaikebenaran: status yang ditugasiuntuk menetapkan apa yangdianggap sebagai benar.Secara mendasar, studi diskursustidak membedakan antara teks sastra dannon sastra, meskipun para teoretisidiskursus sangat sadar adanya sejumlahperbedaan tertentu yang terlembagakanantara kedua kelompok teks ini. Olehkarena dalam pengetahuan umum,misalnya, teks sejarah lebih seringdianggap memiliki kedudukan istimewadalam hubungannya dengan kebenaran,misalnya; tulisan-tulisan autobiografimemiliki arti istimewa dari segi dugaanotensitas dan dalam hubungannya denganintensi atau maksud penulis, sementarateks-teks sastra memiliki hubungan yangkompleks dengan kebenaran dan nilai.Dengan kata lain, di satu sisi, sastradipandang sebagai penyedia “kebenaran”tentang realitas manusia, namun di sisilain, ia melakukannya dalam sebentukfiksi, dan karena itu teks tersebut seringkali dianggap “tidak benar” (Mills1997:30).178Madah Volume 6, Nomor 2, Edisi Oktober 2015Foucault (dalam Mills 1997:31)mengatakan bahwa karya sastra padaumumnya merupakan teks bertipereflektif yang seringkali menyatakan,mengkritik, dan mereproduksi diskursusdiskursus tertentu. Dalam hal ini iamenyatakan bahwa signifikansi analisisdiskursus pada teks sastra bukanlahsemata-mataditujukanuntukmenyingkapkan kebenaran atau asal-usulsuatu simbol maupun makna pernyataan,akan tetapi sekaligus untuk mengungkapmekanisme-mekanisme pendukung yangmemungkinkan agar konstruksi diksursusdalam teks tetap stabil dan diterima padatempatnya. Ketika membaca narasi dalamteks sastra tertentu, terlihat bahwapersepsi kita tentang posisi subjek(tokoh) dan relasi objek-objek simbolikdibentuk dalam batas aturan diskursuskarena diskursus memang dicirikan olehpenentuan batas-batas bidang objek,penentuan perspektif yang legitimet, danpenetapan norma untuk penyusunanpelbagai konsep atau teori. Sehinggasetiap kecenderungan makna danpengetahuan yang hadir, disadari ataupuntidak, akan selalu terkait dan ault memberikan perhatiancukup serius terhadap kedudukan metafordalam kajian diskursus tatkala fungsideskriptif-representatif bahasa dianggapterbatas dan problematis. Keterbatasanfungsi deskriptif bahasa membuatbentuk-bentukpenggambarandanpenjelasan tentang suatu objek atauperistiwa selalu tampak tidak utuh dantidak menyeluruh meskipun antara yangsatu dengan yang lainnya dianggapmengacu pada objek yang sama. Hal inibukan disebabkan oleh adanya sesuatuyang bersifat transendental pada objekatau peristiwa yang hendak digambarkandan dijelaskan akan tetapi merupakanefek tidak terhindarkan dari karena batasbatas kemampuan deskriptif yang inherendalam bahasa itu sendiri (Sugiharto

1996:94). Sehingga tidak lagi memadaiuntuk menyatakan bahwa sebuah teksyang dianggap literal selalu merupakangambaran deskriptif yang utuh danmenyeluruh tentang suatu objek atauperistiwa.Dalam kajian sastra, metaforseringkali dianggap berfungsi ornamentaldan dekoratif belaka. Pandangan ini tidaksepenuhnya keliru meskipun padakenyataannya deviasi atau penyimpanganyang dilakukan oleh metafor bukanlahhanya berefek menghancurkan tata logikatertentu, melainkan sekaligus mendorongpembentukan tata logika baru. Metaformembawa dan menawarkan informasibaru dan berbeda melalui deviasi,sehingga penyimpangan atau kesalahankategori itu sendiri mesti dilihat sebagaitahap dekosntruktif yang memperantaraideskripsi menuju re-deskripsi (Sugiharto1996:103). Maka untuk menyingkapmakna suatu metafor, ia harus dilihattidak sekadar dari sudut kata, melainkansekaligus dari pernyataan-pernyataanimplisit dan bersifat metaforis yangdibawanya dalam kaitannya dengandiskursus tertentu. Dengan kata laintidaklah cukup hanya mengaitkanmetafor pada soal makna tanpa melihathubungan referensialnya dari sudutpandang diskursus atau wacana tertentu.2.2 Problematisasi KegilaanStudi atas diskursus kegilaanmerupakan salah satu cara Foucault untukmengembangkan kritik terhadap krisisrasionalitas modern. Kategori giladitampilkan untuk menunjukkan kontrasantara definisi orang gila dan orang waraspada zaman modern yang maniak denganapa yang disebut akal atau rasio. Foucaultmengatakan bahwa hubungan antarakegilaan dan kewarasan sebetulnyasangat ambigu karena menurutnya, baikdalam praktik sosial sehari-hari maupundalam karya-karya sastra dan seni,kegilaan justru tidak jarang menggerogotistatus kewarasan secara radikal (Sunardi1996: 193).Dalam Madness and Civilization(1967) Foucault memaparkan bahwapada awal zaman Renaisans orang gila diwilayah Eropa dibiarkan berkeliarandengan bebas di tengah kota sebelumkemudian digiring ke luar kota menjelangabad ke-17 karena dianggap mengganggudan mengancam keselamatan orang lain.Kegilaan pada masa ini dianggapmerupakan bentuk kebodohan dan identikdengan hal-hal berbau magis, sehinggaorang gila, tukang sihir, penyembahberhala, dan pembunuh orang takbersalah disamakan dalam satu kategori.Menjelang akhir abad ke-17,kegilaan dipertentangkan secara kontrasdengan rasio. Kegilaan dimasukkan kedalamkategoriabnormaldanditempatkan sebagai penanda bataskewarasan. Pandangan tentang kegilaanpada masa ini kemudian menjadi latarpemikiran bagi hadirnya rumah-rumahpengurungan di beberapa negara besar diEropa, misalnya, Hopital General diParis (1656), Workhouses di Inggris danZuchthauser di Jerman sebagai instansipenertiban terhadap segala bentukirasionalitas di tengah masyarakat(Bertens2006:336).Selanjutnya,memasuki abad ke-19, kegilaan mulaidikategorisasikansebagaibentukgangguan mental atau penyakit kejiwaanseperti stres, neurosis, melankolia, atauschizophrenia dan bersamaan dengan ituorang-orang gila dimasukkan ke dalamrumah sakit jiwa untuk menjalani proses“penyembuhan” (Foucault 1967:77).Pada masa ini orang gila tidak lagimengalami represi fisik dan pengurunganseperti pada masa-masa sebelumnya akantetapi harus tunduk di bawah kuasadokter, terapis atau seorang psikiater.Di bawah kuasa dokter dan psikiater,orang-oranggiladiisolasidalamkeheningan rumah sakit jiwa dan dipaksasecaraperlahanagarmengakuikegilaannya sebelum kemudian diarahkan179Madah Volume 6, Nomor 2, Edisi Oktober 2015

mengoreksi kegilaanya sendiri. Fase inimenginternalisasi mekanisme represi danpengurungan ke dalam struktur kesadaranorang gila sebagai bentuk strategipengawasan dan kontrol secara ketat danlebih intens agar pikiran dan tindakanmanusia tidak lagi jatuh pada kegilaan(1967:80). Pada fase ini pula kaidahkaidah positivistik 4 mulai memberipengaruh dominan dalam strukturpengetahuan tentang kegilaan karenaklaim-klaim ilmiah dan objektif secaraketat mulai digunakan. Dari hasilpenelitian Foucault tentang sejarahkegilaan ditemukan bahwa apa yangseringkali dikonsepsikan sebagai kegilaansebetulnya lebih mungkin dilihat sebagaibentuk-bentukpenyimpangandarikecenderungan mayoritas masyarakat,karena pada umumnya orang giladianggap gila ketika berpikir danbertindak tidak sesuai atau melawankaidah-kaidah kelaziman, rasionalitas,kewarasan dan logika dominan.2.3 Metafora Kabut dan Cahaya dalamNovel KalatidhaMenurut Lukacs (1978), noveladalah karya sastra yang berpikir tentangtotalitas dalam dunia yang sudah tidaklagi mengandung hal tersebut. Dalam halini, apa yang dimaksud dengan totalitasialah sebuah dunia yang utuh, yanghomogen, yang di dalamnya terdapatkesalingbersandaran dan tidak terjadiperpecahan antara manusia dengan4Positivistik (Positivisme) merupakan suatuistilah umum yang mengacu pada suatu posisifilosofis yang menekankan aspek faktualpengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah.Positivisme berupaya menjabarkan pernyataanpernyataan faktual pada suatu landasanpencerapan (sensasi). Bagi sebagian kalangan,positivisme pada hakikatnya dianggap merupakannama lain dari empirisme, yang menolakpenerimaan atas nilai-nilai kognitif dari studistudi metafisik. Figur sentral sekaligus palingpopuler dalam aliran positivisme ialah AugusteComte (1798-1857). Bagus, Lorens. KamusFilsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1996), hlm. 858-864180Madah Volume 6, Nomor 2, Edisi Oktober 2015Tuhan, kebudayaan dengan alam, antarasubjek dengan objek, antara interioritasdengan eksterioritas, antara bentukdengan isi, dan sebagainya (Faruk, 2001).Pemikiran semacam ini mengandaikanbahwa dalam teks novel terdapatstabilitas, koherensi dan totalitas maknaantara semua entitas, serta otensitas danuniversalitas nilai-nilai di tengahfenomena degradasi dan fragmentasidunia.Dalam teks Kalatidha, beberapaindikasi menunjukkan bahwa konstruksinaratif dan imaji penokohan tokoh-tokohutama cenderung terlihat tidak stabil danmenjauh dari totalitas makna ketikaberhadapan dengan persoalan-persoalanbenar/salah, fakta/fiktif/ilusi, kegilaan/kewarasan, kesadaran/ketaksadaran dansebagainya. Para tokoh utama cenderungdigambarkan bersikap ambivalen danteralienasi dari realitas karena statuspemaknaan tampak mengambang diantara batas-batas kategori oposisisemantik tersebut, atau dengan kata lain,tidak ada kepastian dan kemutlakanmakna. Oleh sebab itu tidak mudah untukmemahami bagaimana karakter danposisi para tokoh utama secara utuh danfinal.Pada sebuah bab pembuka berjudul“Kabut di Hutan Bambu”, tokoh Akumula-mula bercerita secara ilustratiftentang panorama alam kabut di tengahhutan bambu tempat ia saban harimengalami peristiwa-peristiwa “aneh”.Deskripsi cerita tentang kabut di hutanbambu ini perlahan kemudian diliputianasir-anasir simbolik dan metaforisketika tokoh Aku mulai menggunakanteknik-teknik analogi dan figurasi dalammenjelaskan makna kata kabut tersebut.Sehingga dalam hal ini kata “kabut” tidaklagi dipahami hanya merujuk pada maknadenotatifnya sebagai objek peristiwaalam, akan tetapi

Diskursus kegilaan dalam novel Kalatidha mengungkap sejumlah ironi . lingusitik, filsafat, psikologi sosial, dan pelbagai bidang lainnya (Mills 1997:1). Dalam menjelaskan definisi diskursus, . mengembangkan kritik terhadap krisis rasionalitas modern. Kategori gila

Related Documents:

Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu v Alhamdulillah, selamat kami ucapkan atas terbitnya buku Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu ini. Selain pengajaran dan pengabdian, penelitian merupakan salah satu bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Buk

Membelajarkan Novel Jawa di SMK . religi, mistik, kemanusiaan, kritik sosial dan sebagainya. Konsep-konsep di dalam ajaran agama Islam sering dijadikan Ranggawarsita sebagai dasar dalam menulis ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam . dalam Serat Kalatidha pada bait ke-9. (1) Samono iku bêbasan/ padu-padune kêpengin/ ênggih mêkotên .

Novel Siti Nurbaya (kasih tak sampai) ini merupakan novel yang pertama kali mengangkat kisah permasalahan dalam perkawinan yang menghubungkan persoalan adat. Bahasa yang digunakan dalam novel ini adalah bahasa melayu baku. Novel Siti Nurbaya menyinggung tema kasih tak sampai, anti pemikiran paksa pengorbaanan, kolonialisme, dan keoderenan. Novel ini mejadi yang banyak dibaca dan digunakan .

B. Pola Komunikasi Organisasi Santri dalam menerapkan . Dalam sebuah pesantren suatu lembaga pesantren diindonesia bisa maju karena adanya kedisiplinan, karena kedisiplinan sangat penting dalam 1Burhan Bangun, Sosiologi Komunikasi (Teori, Pradigma. Dan Diskursus Teknologi

Download novel the alchemist terjemahan. The alchemist (novel) plot. What books to read after the alchemist. The alchemist graphic novel free download. The alchemist novel in urdu pdf download. The alchemist novel price. The alchemist (novel) summary.

ActivityConnection.com - National Novel Writing Month: Write Your Own Novel - Page 1 of 28 Read Write National Novel Writing Month: Write Your Own Novel In November 1999, a challenge was made: write a 50,000-word novel in just 30 days. Writer Chris Baty posed this challenge to the 21 people in his writing group. The next year, another

latar tempat dalam novel Hujan karya Tere Liye, meliputi: stasiun kereta, rumah Esok, kolam air dll. Latar tempat novel tentang Rasa yang Ingin Mencari Jawab karya Ratna Dks, meliputi: Pelabuhan Bakauheni, tempat wisata Way Kambas, dll. 2) amanat dalam novel Hujan karya

ANSI A300 Part 4 ( American National Standards Institute, Standard for Lightning protection Systems For Trees ) recommends designing the earth (ground) termination based on a visual inspection of the soil and its moisture content. This is not possible as water is an insulator not a conductor; it is the dissolved salts in the water that give it its conductive properties. These salts are not .