PERSOALAN JUDICIAL REVIEW DALAM “DUA ATAP” Bisariyadi .

3y ago
103 Views
12 Downloads
242.42 KB
15 Pages
Last View : Today
Last Download : 3m ago
Upload by : Cade Thielen
Transcription

PERSOALAN JUDICIAL REVIEW DALAM “DUA ATAP”1BisariyadiMahkamah Konstitusi Republik IndonesiaJalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat, icial review merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan meningkatnya jumlah peraturanperundang-undangan yang dikeluarkan dengan kualitas rendah. Akan tetapi, penyelenggaraan judicialreview yang dilakukan di Indonesia berpotensi menimbulkan konflik hukum. Salah satu penyebabnyaadalah pemisahan kewenangan pengujian peraturan yang dilakukan oleh dua lembaga peradilan, yaituMahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Tulisan ini bermaksud melakukan eksplorasi ataspersoalan yang ditimbulkan dari penyelenggaraan judicial review dalam dua atap yang terjadi dalamsistem ketatanegaraan saat ini. Selain itu, tulisan ini juga menyinggung kemungkinan untukmenyatukan kewenangan judicial review dalam satu atap dengan potensi-potensi permasalahan yangkemungkinan akan muncul diikuti dengan pendekatan perbandingan dengan melihat beberapa praktekdi negara-negara yang menyelenggarakan judicial review dalam satu atap, dengan MahkamahKonstitusi Austria sebagai rujukan utama. Penyusunan kajian ini diikuti dengan kesadaran bahwatulisan ini tidak akan cukup sebagai masukan atas perubahan sistem judicial review yang ada. Sebab,penyatuan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan berarti melakukan perubahan UUD1945 yang menuntut alasan-alasan yang kuat dan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu, kajianini bertujuan untuk membuka wacana pendahuluan yang mengelaborasi permasalahan yang terkaitdengan judicial review dikaitkan dengan permasalahan “obesitas regulasi”.Kata Kunci : judicial review, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi.I.PendahuluanTema Konferensi Hukum Tata Negara (KHTN) yang digelar tahun ini mengenai“penataan regulasi” lebih banyak dilandasi oleh alasan adanya “obesitas regulasi”yang terjadi di Indonesia. 1 Di Eropa juga pernah digelar konferensi dengan dilandasioleh fenomena yang kurang lebih serupa yaitu karena adanya “legislative inflation”.2Fenomena atas peningkatan jumlah legislasi yang tidak diiringi dengan kualitasmateri muatan legislasi di negara-negara memicu penyelenggaraan diskusi ilmiah ini.Konferensi ini sendiri memperkenalkan pendekatan teori legisprudensi(legisprudence) sebagai alternatif penyelesaian masalah inflasi legislasi di Eropa. BagiWintgens, sebagai tokoh yang memperkenalkan teori ini, legisprudence merupakanteori hukum yang menggunakan legislasi dan regulasi sebagai obyek kajiannya. 3Selama ini, teori hukum didominasi dari pandangan Kelsen yang membedakan antara123Lihat Terms of Reference Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KHTN) ke-4 yang mengambiltopik “Penataan Regulasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum TataNegara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, bekerjasama dengan Pusat Studi KonstitusiFakultas Hukum Universitas Andalas dan Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi FakultasHukum Universitas Jember, di Jember, 10-13 November 2017.Gelaran kegiatan yang memperbincangkan topik serupa itu adalah The Fourth BeneluxScandinavian Symposium on Legal Theory yang diselenggarakan di Finlandia tahun 1998.Prosiding dari simposium diterbitkan dalam buku Luc J. Wintgens (ed.), Legisprudence: A NewTheoritical Approach to Legislation, (Oxford: Hart Publishing, 2002)Luc J. Wintgens, “Rationality in Legislation-Legal Theory as Legisprudence; An Introduction”dalam Luc J. Wintgens (ed.), Legisprudence: A New Theoritical Approach to Legislation, (Oxford:Hart Publishing, 2002), 1

2politik dan hukum. Legislasi merupakan pembentukan norma yang diwarnai olehproses politik. Oleh karenanya, pembentukan legislasi tidaklah bisa dijadikan obyekdalam teori hukum. Teori legisprudensi memperlebar bidang kajian teori hukum,tidak hanya berkutat pada putusan peradilan tetapi juga “. to include the creation oflaw by the legislator”. 4Faktor-faktor yang memicu fenomena obesitas regulasi atau inflasi legislasi,dalam pandangan para ilmuwan yang menaruh perhatian pada legisprudensi adalah, 5pertama bahwa legislasi berfungsi sebagai cerminan nilai-nilai sebuah komunitasyang dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Faktor kedua bahwalegislasi merupakan media untuk mengubah masyarakat sesuai dengan gagasanpolitik yang dimiliki kaum elit. Ditambah lagi, sebagai faktor ketiga, legislasidigunakan untuk memecahkan persoalan akibat perubahan sosial, ekonomi danteknologi. Terakhir, sebagai faktor keempat, yang lebih bersifat teknis, legislasimerupakan implementasi dari kewenangan sebuah lembaga untuk mengeluarkanaturan.Meskipun menitikberatkan pada kajian legislasi dan regulasi, teori legisprudencetidak menampik pentingnya permasalahan pengujian legislasi. Judicial reviewmemegang peranan penting sebagai alat legitimasi dari keberadaan legislasi. Judicialreview, baik dalam konteks constitutional maupun administrative review, merupakankebalikan dari rantai legitimasi (reversal of the legitimation chain). 6 Artinya, putusanperadilan dalam perkara constitutional maupun administrative review justrumemberikan pengukuhan keberlakuan dari legislasi maupun regulasi, terutama dalamhal putusan-putusan yang menolak permohonan untuk membatalkan suatu peraturanperundang-undangan. Keterkaitan antara teori legisprudensi dengan constitutionalreview telah menjadi perhatian dalam hal praktek penerapannya dalam putusanpengadilan, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi FederalJerman. 7Judicial review menjadi salah satu jawaban atas persoalan banyaknya peraturanperundang-undangan yang berkualitas rendah. Pengadilan yang memilikikewenangan judicial review dapat menilai kelayakan peraturan perundang-undangan,dari sisi formal maupun materialnya. 8 Putusan pengadilan akan memiliki pengaruhbesar terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan yang akan disusunberikutnya. 9Di Indonesia, pemerintah memproduksi peraturan secara masif, terutama dalamlingkup peraturan daerah. Menurunnya kualitas materi muatan serta banyaknya456789Op.Cit., hal. 2Svein Eng, “Legislative Inflation and the Quality of Law” dalam dalam Luc J. Wintgens (ed.),Legisprudence: A New Theoritical Approach to Legislation, (Oxford: Hart Publishing, 2002), 68Luc J. Wintgens, “Legitimacy and Legitimation from Legisprudential Perspective, dalam Luc J.Wintgens (ed.), Legislation in Context: Essay in Legisprudence, (Ashgate Publishing, 2007), 38;Lihat juga Vlad Perju, “A Comment on Legisprudence”, Boston University Law Review, Vol. 89,2009, 430-431Lihat Klauss Messerschmidt dan Daniel Oliver-Lalana (eds.), Rational Lawmaking under Review:Legisprudence According to the German Federal Constitutional Court, (Springer, 2016).David Deller dan Francesca Vantaggiato, “Revisiting the Regulatory State: A MultidisciplinaryReview Establishing a New Research Agenda”, Centre for Competition Policy Working Paper 158338/8368036/CCP Working Paper 149.pdf/6de9dcd3-0b0f-4c1c-a311-cc472f384653, diakses pada 26 Agustus 2017Kovacic, W.E., “Economic Regulation and the Courts 1982 to 2001: Ten Cases That Made aDifference”, Journal of Regulatory Economics, 21, 2002, 23-34

3norma yang tumpang tindih antara satu dengan yang lain merupakan imbas dariobesitas regulasi. The Organisation for Economic Co-operation And Development(OECD) dalam laporannya menangkap komitmen pemerintah Indonesia untukmenghasilkan produk perundang-undangan yang berkualitas sebagai upaya Indonesiadalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempertahankan stabilitaspolitik dalam negeri. 10 Memperkuat kewenangan judicial review menjadi salah satuvariabel yang penting untuk diperhatikan.Akan tetapi, pelaksanaan judicial review tidaklah absen dari permasalahan.Dalam beberapa putusan, Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap telah menjalankanjudicial activism karena mengambil peran parlemen dalam membentuk peraturanperundang-undangan. 11 Salah satu hal yang mendorong MK untuk melakukanterobosan-terobosan hukum dalam perkara judicial review adalah dikarenakanadanya pembagian kewenangan judicial review dalam sistem peradilan di Indonesiayang dilakukan dalam “dua atap” yaitu kewenangan judicial review diselenggarakanoleh dua lembaga, MK dan Mahkamah Agung (MA). Kewenangan untuk mengujiUndang-Undang terhadap UUD dilakukan oleh MK sedangkan kewenangan untukmenguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang dilakukan olehMA. Mekanisme pengujian yang dilakukan dalam “dua atap” seperti ini memunculkanpersoalan-persoalan hukum yang cukup pelik.Tulisan ini mengulas mengenai permasalahan pemisahan kewenangan judicialreview dengan maksud membuka wacana akan kemungkinan penggabunganpelaksanaannya di lembaga yang sama. Sistematika penulisan artikel ini dibagimenjadi tiga bagian yang terdiri dari pendahuluan, pembahasan dan penutup. Padabagian pembahasan akan dibagi kedalam 3 sub-bagian, yaitu pertama secarakonseptual, perlu diulas terlebih dahulu penggunaan istilah constitutional review danjudicial review untuk memperoleh kesamaan pemahaman. Sub-bagian kedua daripembahasan adalah mendiskusikan mengenai Putusan-Putusan MK yang mengalamibeberapa hambatan dalam pelaksanaannya karena keterkaitannya dengan sejumlahperaturan perundang-undangan lain. Sedangkan pada sub-bagian ketiga daripembahasan adalah mengenai wacana penyatuan kewenangan judicial review.Pembahasan ini bersifat konseptual dan normatif, berupa wacana. Agar upayapewacanaan ini menjadi lebih implementatif maka akan digunakan pendekatankomparatif dengan menelisik praktek pengujian peraturan perundang-undangan yangdilakukan dibawah satu lembaga, salah satunya yang dilakukan di MahkamahKonstitusi Austria.II.PembahasanA.Istilah Judicial Review dan Constitutional Review1011OECD adalah organisasi internasional yang memiliki perhatian khusus dalam penyebarluasangagasan negara regulasi melalui pencanangan dan implementasi program-program yang terkaitdengan itu di negara-negara berkembang. Lihat OECD, OECD Reviews of Regulatory Reform:Indonesia 2012: Strengthening Co-ordination and Connecting Markets, (OECD Publishing, 2012) -indonesia-2012 9789264173637-en#.V-yX YiLTDc, diakses pada 27 Agustus2017Bisariyadi, “Atypical Rulings of the Indonesian Constitutional Court”, Hasanuddin Law Review, 2,2016, 225

4MK mengadopsi kewenangan Pengujian Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar. Kewenangan Pengujian UU ini acapkali disandingkan dengan istilahjudicial review atau constitutional review. Secara umum, tidak salah bila menggunakanistilah judicial review atau constitutional review untuk menunjuk pada kewenanganpengujian undang-undang yang dimiliki MK. Namun, persandingan istilah ini harusdigunakan secara hati-hati dalam konteks yang tepat agar tidak menimbulkan salahpengertian.Judicial reviewadalah kewenangan sebuah lembaga peradilan untukmenentukan kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan, hingga bahkankebijakan pemerintah. 12 Pada dasarnya, ada tiga bentuk pengujian peraturanperundang-undangan, yaitu (i) judicial review; (ii) political review; dan (iii) sistemgabungan keduanya. 13 Political review adalah pengujian yang dilakukan oleh lembaganegara yang mengeluarkan peraturan atau kebijakan itu sendiri. Contoh bentukpengujian ini adalah legislative review, yaitu pengujian yang dilakukan oleh DewanPerwakilan Rakyat (DPR) bilamana DPR menganggap Undang-Undang yang saat iniberlaku perlu diubah/direvisi.Selain itu, ada juga executive review yang dilakukan pemerintah. Misalnya,peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah daerah diuji oleh pemerintah pusat,dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, untuk menilai kesesuaian peraturandaerah tersebut dengan peraturan perundang-undangan lain. Bentuk ini tergolongsebagai executive review, karena baik pemerintah daerah maupun Kementerian yangmelakukan pengujiannya merupakan bagian dari pemerintah/eksekutif. Namun, baikIegislative review maupun executive review yang dilakukan di Indonesia bukanlahbentuk pengujian khusus terhadap konstitusi. Batu uji legislative review dan executivereview yang dilakukan di Indonesia adalah peraturan perundang-undangan yangsecara hirarkhi berada diatasnya maupun berdasarkan pertimbangan politis,misalnya atas perubahan kebijakan untuk menyesuaikan dengan semangat zamanyang ada.Sistem gabungan antara judicial review dan political review adalah model yangdiadopsi di Swiss dimana UU Federal hanya bisa diuji melalui perlemen, sebagaimanadiatur dalam Bagian 113 dari Konstitusi Swiss, sedangkan pengujian peraturandaerah dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam salah satu putusan MahkamahAgung Federal Swiss, pertimbangan hukum majelis hakim memuat“. [T]he Swiss Federal Supreme Court's jurisdiction is considerably limited bysection 113 of the Federal Constitution which provides that federal statutes passedby Parliament are not subject to judicial review. Since such statutes have to besubmitted to popular vote if a petition signed by 50,000 citizens has been filed, allfederal statutes were either adopted by plebiscite, or they remained unchallenged bya referendum petition before being enacted. Therefore, according to the rationale ofsection 113 of the Federal Constitution, it is the Parliament's and the electorate's,but not the judiciary's business to watch over the constitutionality of federalstatutes. This view reflects Switzerland's democratic tradition and its skepticism1213C. Neal Tate, “Comparative judicial Review and Public Policy: Concepts and Overview”, dalamDonald W.Jackson & C. Neal Tate (eds.), Comparative Judicial Review and Public Policy, (London:Greenwood Press, 1992).Gustavo Fernandes de Andrade, “Essay: Comparative Constitutional Law: Judicial Review”,University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, 3, 2001, 978.

5towards the judiciary and the rule of law concept, as it is expressed in the famousreasoning of Marbury v. Madison.” 14Istilah judicial review digunakan secara umum untuk mengartikan kewenanganpengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan.Dengan menggunakan pendekatan demikian maka istilah judicial review di Indonesiadapat disematkan pada kewenangan yang berada baik di Mahkamah Konstitusi danMahkamah Agung. Mahkamah Agung melakukan pengujian peraturan perundangundangan dibawah UU, 15 sedangkan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian UUterhadap UUD. 16Satu lagi istilah yang juga sering digunakan yaitu constitutional review. Istilah inidiartikan sebagai pengujian dengan menggunakan batu uji konstitusi yang dilakukanoleh lembaga peradilan. Jadi, constitutional review merupakan bagian dari judicialreview. Kedudukan constitutional review lebih memiliki makna lebih sempit karenamengarah pada kekhususan batu uji yang digunakannya yaitu konstitusi. Penggunaanistilah constitutional review hanya bisa disematkan pada MK tidak di MA, karenapengujian yang menggunakan konstitusi sebagai batu uji-nya hanya ada di MahkamahKonstitusi.Istilah ini mengemuka ketika kewenangan constitutional review disematkanpada sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk untuk menjalankankewenangan ini. Disebutkan dalam sebuah penelitian, bahwa istilah constitutionalreview yang dilakukan oleh sebuah lembaga peradilan khusus berkembang seiringdengan kejatuhan rezim otoriter. Terdapat ada tiga gelombang perkembanganpengujian konstitusional , yaitu pertama adalah pasca Perang Dunia Kedua di Jermandan Italia, kedua terjadi pada saat jatuhnya rezim otoriter dan diktator di Spanyol,Portugal dan Yunani serta gelombang ketiga terjadi ketika jatuhnya Uni Soviet. 17Dalam penelitian lain yang melakukan survey terhadap 204 negara yang mengadopsiconstitutional review dari tahun 1781 hingga 2011, ditemukan fakta bahwaconstitutional review diterapkan oleh negara-negara tersebut karena adanyadorongan politik internal dan bukan disebabkan alasan ideologis maupun desakandunia internasional. 18Constitutional review merupakan bentuk pengujian konstitusionalitas materiyang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Dalam proses pengujianakan terungkap makna sejati dari hukum yang berlaku. Dan tidak ada lembaga yanglebih tepat untuk mengungkap makna dalam sebuah aturan hukum selain kepadalembaga peradilan. Hal ini tergambar jelas dalam pertimbangan hukum perkaraMarbury v. Madison, dimana Marshall berpendapat1415161718The Swiss Federal Supreme Court: The Court's Constitutional Position in Historical Q.HTM sebagaimana dikutip dalam GustavoFernandes de Andrade, IbidPasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili padatingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadapundang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili padatingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undangtehadap Undang-Undang Dasar,.”John E. Ferejohn, “Constitutional Review in the Global Context”, New York University Journal ofLegislation and Public Policy, 6, 2002, 49Tom Ginsburg & Mila Versteeg, "Why Do Countries Adopt Constitutional Review?," Journal of Law,Economics and Organization 30, 2014, 587

6B.It is emphatically the province and duty of the judicial department to say what thelaw is. Those who apply the rule to particular cases, must of necessity expound andinterpret that rule. If two laws conflict with each other, the courts must decide onthe operation of each. So if a law be in opposition to the constitution; if both the lawand the constitution apply to a particular case, so that the court must either decidethat case conformably to the law, disregarding the constitution; or conformably tothe constitution, disregarding the law; the court must determine which of theseconflicting rules governs the case. This is of the very essence of judicial duty. 19Problematika Judicial Review di “Dua Atap”Tugas utama pengadilan adalah melakukan harmonisasi hukum-hukum yangberlaku di masyarakat. Prinsip utama yang terkandung dalam konstitusi haruslahtercermin dalam aturan-aturan yang lebih rinci dalam peraturan perundangundangan dibawahnya. Dengan model pengujian dalam “dua atap” yang diadopsi olehsistem hukum di Indonesia maka akan terdapat kesulitan dalam melakukanharmonisasi pengujian peraturan perundang-undangan.Dalam praktek, pengujian sebuah Undang-Undang acapkali bersinggungandengan peraturan perundang-undangan dibawahnya karena materi muatan UUmendelegasikan untuk mengatur lebih rinci dalam peraturan perundang-undangandibawahnya. Paling tidak ada 2 (dua) pola pendekatan dimana pengujian UUberhubungan dengan peraturan perundang-undangan dibawahnya, yaitu (i) MKmenunda menjatuhkan putusan konstitusionalitas atas sebuah UU seraya menungguaturan yang lebih rinci dalam peraturan pelaksanaan UU tersebut, sebagaimanaPutusan dalam pengujian UU Sumber Daya Air; dan (ii) Putusan MK berdampak padaperlunya perubahan peraturan perundang-undangan dibawahnya, misalnya padaputusan pengujian UU Pajak Daerah.Putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentangSumber Daya Air (UU SDA) adalah salah satu ilustrasi atas kebutuhan sinkronisasiperaturan perundang-undangan sebagai dampak dari pemeriksaan perkara pengujianUU di MK. 20 Materi muatan dalam UU SDA banyak memberikan delegasi kepadaPeraturan Pemerintah untuk mengatur secara rinci pemanfaatan hak guna pakai airdiluar dari hak atas air yang menjadi kewenangan pemerintah. Oleh karenanya, dalamputusan pengujian UU SDA yang dikeluarkan pertama kali, 21 MK berpendapat bahwasecara umum materi muatan UU SDA telah dianggap cukup menghormati, melindungidan memenuhi hak atas air. MK hanya memberikan rambu-rambu yang harus ditaatioleh pembuat kebijakan agar dalam menyusun peraturan pelaksanaannya,pemerintah harus memperhatikan rambu-rambu tersebut. Konsek

Konferensi ini sendiri memperkenalkan pendekatan teori legisprudensi (legisprudence) sebagai alternatif penyelesaian masalah inflasi legislasi di Eropa. Bagi Wintgens, sebagai tokoh yang memperkenalkan teori ini, merupakan legisprudence teori hukum yang menggunakan legislasi dan regulasi sebagai obyek kajiannya.3 Selama ini, teori hukum didominasi dari pandangan Kelsen yang membedakan antara 1 .

Related Documents:

persoalan teknik kimia secara numeris, dan (4) bagaimana mengoreksi untuk memastikan bahwa persoalan-persoalan tersebut sudah diselesaikan secara benar. Hal ini dilakukan dalam konteks bagaimana mahasiswa belajar dengan b

Solusi Olimpiade Matematika Tk Provinsi 2002 Bagian Pertama SMA Negeri 5 Bengkulu Eddy Hermanto, ST 16. Alternatif 1 : Dua digit terakhir dari 431 adalah 43 Dua digit terakhir dari 432 adalah 49 Dua digit terakhir dari 433 adalah 07 Dua digit terakhir dari 434 adalah 01 Dua digit terakhir dari 435 adalah 43 dst. Kare

Ide dasar penggunaan teknik numerik untuk menyelesaikan persoalan fisika adalah bagaimana menyelesaikan persoalan fisika dengan karakteristik non linear dengan hanya menggunakan operasi hitungan sehingga soal serumit apapun dapat diselesaikan dengan mudah. Secara r

Usulan topik ini disesuaikan dengan KAK yang telah diberikan. b) Latar belakang persoalan Bagian ini menjelaskan mengenai deskripsi singkat persoalan dan alasan persoalan diangkat/dipilih. Mengapa topik yang dipilih tersebut penting;

menimbulkan persoalan baru sepeti halnya masalah tata ruang. Keberadaan industri dan perdagangan di suatu wilayah akan membawa masalah baru diwilayah tersebut, seperti persoalan lingkungan karena keberadaan teknologi industri hingga persoalan kekacauan lalu lintas dikarenakan aktivitas dari kegiatan bongkar muatan di gudang.

SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) . kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar dengan tepat dan serasi, dan ada pula yang menyatakan bahwa kecerdasan adalah . persoalan-persoalan hidupnya (problem solving) yang mencakup persoalan pribadi, keluarga, sosial, ekonomi, dan .

MEMPERKENALKAN GAGASAN KONSTITUSI EKONOMI Jimly Asshiddiqie 2 ABSTRAK Ide konstitusi ekonomi yang menghubungkan studi konstitusi dengan persoalan-persoalan ekonomi dapat dikatakan memang baru mulai dikembangkan pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20. Pendekatan hukum dan konstitusi di bidang ekonomi ini dikembangkan oleh para ahli, karena adanya ketidakpastian yang luas terjadi dalam .

JUDICIAL REVIEW PROCEEDINGS: 1. THE APPLICATION FOR LEAVE: In order to make an Application for Judicial Review leave to make same must first be obtained: section 6(1) of the Judicial Review Act; Rule 56.3(1) of the CPR. The Application for leave to apply for Judicial Review may be made without notice: Rule 56.3(2) of the CPR.