HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING KAJIAN .

3y ago
46 Views
3 Downloads
312.17 KB
16 Pages
Last View : 27d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Madison Stoltz
Transcription

HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING:KAJIAN PSIKOANALISIS LACANIANN. Riantiarno’s Desire in “Cermin Bening”: Lacanian Psychonalysis StudyRicky Aptifive ManikKantor Bahasa Provinsi JambiJalan Arif Rahman Hakim No. 101, Telanaipura, JambiTelepon: 08126738407, Pos-el: rickymanik@gmail.comNaskah masuk: 14 September 2015, disetujui:22 Maret 2016, revisi akhir: 22 Maret 2016Abstrak: Karya sastra merupakan manifestasi hasrat pengarang. Dalam sejarahnya, hasrat terbentukdari rasa kekurangan subjek. Menulis karya sastra merupakan upaya untuk menutupi kekurangan tersebut.Upaya itu dapat dilihat dalam pandangan pengarang akan ego-ego ideal di dalam karya-karyanya. NovelCermin Bening adalah sampel untuk melihat apa dan bagaimana hasrat Nano Riantiarno. Tujuannyaadalah menemukan apa yang menjadi pembayangan ego-ego ideal bagi Nano. Telisik hasrat ini akanmenggunakan kajian psikoanalisis Lacanian (PL). Melalui PL ini akan digunakan metode metafora danmetonimia dalam melihat penanda-penanda hasrat Nano dalam Cermin Bening. Kajian ini menemukanbahwa hasrat menjadi penulis dan seniman seolah membuat Nano menemukan kebebasan dari berbagaijerat dan belenggu “yang simbolik”. “Kebebasan” menjadi objek a Nano untuk mendapatkan jouissancebagi dirinya. Menjadi seniman dan penulis merupakan anchoring point Nano dalam menyudahikeambiguitasan dan ketidakmenentuan dirinya.Kata kunci: hasrat, seniman, psikoanalisis, Lacan, Nano RiantiarnoAbstract: Literary work is a manifestation of the writer’s desires. In its history, desires werecreated from the lack of writing subject. Writing a literary work is an effort to cover this insufficieny.This effort can be seen in the writer’s view about his ego-ideal in his works. A novel entitledCermin Bening is a sample to see what and how Nano Riantiarno’s desires are. It is aimed to findthe shadow of his ego-ideal.This research applies Lacanian Psychoanalysis (LP) study. Throughthis LP study, the method of metaphor and metonymy is used to see the signs of Nano’s desires inCermin Bening.This study reveals that a desire to be a writer and an artist makes Nano find hisfreedom from snares and shackles of The Simbolic.The freedom becomes Nano’s object to getjouissance for himself. Being an artist and a writer is Nano’s anchoring point in finishing hisambiguity and instability.Key words: desire, artist, psychoanalysis, Lacan, Nano Riantiarno1. PENDAHULUANPenemuan Freud akan hasrat(ketidaksadaran) meruntuhkan pandanganrasionalismeBaratyanggagalmendefenisikan ketaksadaran (Bracher,2009: ix). Hal ini dikarenakan sikap tidakpeduli (indifferent) atas hasrat yang diidapoleh para rasionalis sejak Yunani Kuno. Diridipercayai dikonstruksi oleh rasio/akal,kehendak/hasrat, dan ruh/jiwa. Akantetapi, para kaum rasionalisme Barat lebihmengagung-agungkan rasio/akal sebagaikonstruksi diri, sedangkan hasrat cenderungdiabaikan. Hasrat hanya sebagai entitas“pelengkap” bagi keutuhan rasio.Freud menggeledah hasrat padawilayah ketidaksadaran dan menemukanhasrat primordial yang liar, disruptif,109

METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124instingtif, dan irasional. Penemuan Freudini, di satu sisi dapat dilihat sebagai usahayang sangat eksploratif dan revolusioner,tetapi di sisi lain bersifat reduktif. Freudmenyempitkan hasrat hanya sebagai energilibidinal atau seksual. Sifat liar dari hasratinidilihatsebagaikandunganketidaksadaran yang mesti “dipotong” aruspertumbuhannya karena dianggap bisamembahayakan otoritas Ego (Hartono,2007: 33).Masuknya subjek ke dalam wilayahsosial ini dengan pengebirian hasrat dalamkonsep pembentukan Ego Freud inilah yangpada akhirnya membuat Freud jugamengagung-agungkan rasio/kesadaran danterjebak dalam subjek Cartesian denganadagiumnya cogito ergo sum.Salah seorang “neofreudian” Prancis,yakni Lacan menolak ego sebagai sumberkekuatan psikologis. Ego menurutnya tidakmampu membedakan hasratnya dan hasratorang lain serta cenderung kehilangandirinya dalam samudra objek-objek:manusia dan citraan (Adian, 2009: xxxvi).Bagi Lacan, pembentukan ego yang pertamaatau ego primordial adalah terjadi padatahap cermin. Pada tahap ini anakmengidentifikasi diri pada citraannya yangada di cermin. Dorongan anakmempersepsikan citraan di cermin sebagaidirinya merupakan hasratnya untukmemiliki identitas. Momen ini akansenantiasa bekerja dalam rentang hidupmanusia. Manusia memiliki dimensi imajinerdalamhiduppsikisnya,yaitukecenderungan untuk mengidentifikasikandiri dengan diri-diri ideal.Lacan mengatakan bahwa apa yangmenggerakkan kehidupan manusia adalahhasrat. Manusia sejak dilahirkan hinggamelepaskan diri dari kesatuan-kesatuaneksistensial dalam dunia “real” selalumengalami kekurangan-kekurangan (lack),manusia dianggap selamanya berlubang.Rasa kekurangan, selamanya mengikuti—seperti hantu yang menggentayangi—kehidupan manusia. Padahal kesatuaneksistensial (dalam dunia real) itu tidak akan110pernah didapati kembali. Perasaan yangmendekam di alam ketidaksadaran inimelahirkan hasrat yang tak pernah habisterpuaskan.Lalu, bagaimana melihat hasrat initerhadap sastra? Jika dikatakan segalatindakan manusia itu merupakan hasil/produksi dari hasrat,tindakanmenghasilkan karya sastra oleh pengarangtersebut merupakan manifestasi darihasratnya. Pengarang dalam pengertianLacanianadalahsubjekyangberkekurangan itu. Teori Lacan tentangsubjek adalah bahwa manusia itu diwakilioleh bahasa, oleh objek-objek khusus yangdisebut “kata-kata”. Istilah teknis Lacanuntuk “kata” adalah “penanda”. Bilamanaseseorang berbicara atau menulis, ia selalumewujudkan diri dengan bahasa, denganpenanda-penanda. Penanda-penandaadalah satu-satunya cara subjek itu dapatmewujudkan dirinya (Hill, 2002: 29-30).Begitu pula dengan sastra yang merupakanpenanda sebagai perwujudan diri sipengarangnya.Dalam hal ini, slogan Lacan adalah“penanda mewakili subjek bagi penandalainnya”. Apabila karya sastra dianggapsebagai penanda (bahasa) perwakilansubjek pengarang, ada penanda lainnyayang berbeda dari subjek pengarang.Bahasa (penanda) menjadi tujuan pentingdalam kajian psikoanalisis Lacanian karenaketidaksadaran terstruktur seperti bahasayang memainkan peranannya di dalammetafora dan metonimia. Dalam perspektifLacanian, Seperti yang dikemukan olehFaruk, memahami karya sastra adalah usahauntuk menemukan ketidaksadaran subjekdalam mencari keutuhan/kepenuhandirinya. Oleh karena kondisi ketidaksadaranitu tidak mungkin untuk diakses sepenuhnyamaka untuk dapat memahami karya sastratersebut adalah dengan cara melihat bahasakarya sastra tersebut, yaitu melaluifenomena metafora dan metonimia (Faruk,2012: 197). Melalui metafora dan metonimiayang digunakan sebagai alat atau mediakarya sastra oleh pengarang ini, akan dapat

RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN.ditemukanbagaimanastrukturketidaksadaran pengarang itu bekerja yangkemudian disebut sebagai hasratnya.Dalam penelitian ini penulis inginmengambil sosok Nano Riantiarno yangpenulis nilai sangat produktif dalammenghasilkan karya-karyanya. Artikel inisendiri merupakan bagian dari hasilpenelitian penulis yang telah penulis lakukandalam bentuk tesis S2 di jurusan Ilmu SastraFakultas Ilmu Budaya, Universitas GadjahMada dengan judul “Hasrat N. Riantiarnodalam Trilogi Cermin Kajian PsikoanalisisLacanian”.Kebenaran tentang hipotesis Lacanmengenai hasrat subjek yang selaluberkekurangan akan penulis uji pada sosokNano dalam novel Cermin Bening (2005).Novel Cermin Bening (CB) merupakankelanjutan dari novel Cermin Merah (CM)dan novel yang terakhir berjudul CerminCinta. Ketiga novel ini disebut sebagai trilogiCermin.Nano adalah seorang sastrawan yanglebih di kenal lewat naskah-naskahdramanya. Ia juga dikenal sebagai sutradarasekaligus pendiri Teater Koma (Anwar,2005: 61). Selain menulis naskah dramauntuk pentas Teater Koma, ia juga menulispuisi, cerpen, skenario film dan novel.Meskipun tidak seproduktif menulis naskahdrama, skenario filmnya yang berjudulJakarta-Jakarta pernah memenangi PialaCitra pada Festival Film Indonesia tahun1978. Dua novelnya yang berjudul RanjangBayi dan Percintaan Senja meraih hadiahsayembara novel majalah Femina dan Kartini(Anwar, 2005: 61). Untuk menjagaproduktivitasnya dalam menulis, dapatdipastikan bahwa selain membaca, Nanojuga menyerap banyak hal untuk dipelajarisebagai sumber inspirasi yang kemudianmenjadi ide dalam tulisannya. Lingkungansosial di sekitarnya, yaitu Jakartamerupakan hal-hal yang sering munculsebagai ide-ide kreatif menulisnya, disamping pengetahuannya tentang sejarah,seni, budaya, psikologi, sosial, dansebagainya. Kritik-kritik sosial yang acaphadir dalam naskah-naskah drama danpentas Teater Koma-nya seringkali membuatmarah para penguasa Orde Baru. Olehkarena itu, Nano dan kelompok teaternyatak luput dari pencekalan-pencekalan yangberupa pelarangan pentas (Anwar, 2005:70—72).Akan tetapi, buah dari pencekalan itutidak menyurutkan produktivitasnya.Karya-karyanya yang lahir justru banyakyang memperjuangkan identitas kaumpinggiran (orang-orang miskin di Jakarta,orang-orang yang dianggap “abnormal”seperti kaum lesbian, gay, biseksual, dantranseksual, atau yang disingkat denganLGBT) dan orang-orang terkena dampakpolitik stigmatisasi seperti etnis Tionghoadan keluarga PKI. Semua itu terlihat dalamnaskah-naskah dramanya, yaitu dalamtrilogi Kecoa dan naskah-naskah yangdisadur dari cerita negeri Cina (SampekEngtay, Opera Ular Putih dan Sie Jin Kwie).Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaanidentitas kaum yang terpinggirkan ataubahkan diabsensi membawa kegelisahanpada diri Nano. Penulis menduga adapertanyaan yang implisit pada diri Nanoyang termanifestasi dalam ggirkan ini. Misalnya, mengapakeberadaan kaum LGBT ini ang”, dan “sakit” di dalamlingkungan sosialnya. Pertanyaan ini tentusaja berlaku untuk identitas-identitas lainyang juga mendapatkan perlakuan yangsama: stigmatisasi. Diskriminasi yang terjaditerhadap kaum-kaum yang dipinggirkan initelah membawa dampak akan hilangnyaharmonisasi di dalam kehidupan manusiatersebut. Kehilangan harmonisasi inilahyang penulis asumsikan telah menjadikeresahan/kegelisahan Nano.Asumsi lainnya adalah adanya satuperasaan persamaan identitas yang tertindasdalam sebuah wacana sosial bagi Nanosendiri. Itulah mengapa Lacan mengatakan(dalam Sarup, 2011) individu tidak terpisahdari masyarakat. Nano tidak bisadipisahkandarimasyarakatnya.Masyarakat ada dalam diri setiap individu.111

METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124Jawaban atas kedua pertanyaan tersebutada pada prinsip kekurangan (lack)Lacanian. Dalam bahasa Lacanian, hal itudikatakan sebagai subjek-subjek yangterbelah.Wacanainicenderungmengkonstruksi dalam bentuk perbedaan,seperti perempuan-laki-laki, yang baik-tidakbaik, benar-tidak benar, normal-tidak normal oleh sebuah tatanan simbolik, sepertiagama, masyarakat (adat), dan negara.Wacana ini terjadi pada diri subjek pada faseyang disebut sebagai fase cermin, di manaseseorang akan melihat diri-diri yang idealdalam konstruksi “yang simbolik”. Fasecermin ini ditafsirkan oleh Althusser sebagaiideological state apparatus (ISA). Ideologiaparatus negara (ISA) menurut Althusserberbeda dari aparatus negara (state apparatus, SA). SA memuat pemerintah,administrasi, angkatan bersenjata, polisi,pengadilan, penjara, dan sebagainya yangkemudian disebutnya sebagai aparatusnegara represif. Adapun ISA memuatagama, pendidikan, keluarga, hukum,politik, serikat buruh, komunikasi, danbudaya. Perbedaan keduanya terletak padapraktiknya. SA pada praktiknya lebihmenonjol lewat represif, ISA lebih menonjollewat ideologi. (Althusser, 2010: 19—21).ISA inilah yang justru membuat dirisubjek/manusia/Nano itu terpenjara secarasimbolik yang kemudian membuat dirinyamenjadi split (terbelah), yakni di antarakeinginan asali dan keinginan ISA (YangSimbolik). Namun, kenyataannya keinginanasali cenderung disimpan rapat-rapat agartak mencuat ke luar, yang dimunculkanhanya apa yang menjadi keinginan “yangsimbolik”. Itulah sebabnya mengapa Lacanmengatakan bahwa ego itu ilusif.Ketegangan-ketegangan akan kekuranganeksistensial ini yang secara terus-menerusberlangsung sepanjang hidup subjek/Nano.Karya sastra dapat dijadikan media bagipengarang dalam memanifestasikan hasratingin menjadi dan hasrat ingin memilikinya,yaitu dengan menghadirkan, baik secaraeksplisit maupun implisit tokoh-tokoh idealdan dunia-dunia ideal di dalam karyanya,di mana subjek-subjek yang ada di112dalamnya digambarkan atau dibayangkanmemiliki keutuhan akan identitasnya. Jikasecara eksplisit yang dihadirkan adalahtokoh-tokoh ironi atau dunia-dunia ironi,secara implisit atau yang tidak tampakadalah gambaran tentang yang idealtersebut. Hal mengenai yang ideal inimuncul sejak pengenalan diri pada cermindan selalu menyertai dalam kehidupanmanusia (baca: pengarang) itu.Oleh karena itu, menulis karya sastraadalah sebagai kanal tempat mengalirnyahasrat Nano selaku pengarang. Oleh karenaitu, menelisik aspek intrinsik yang ada didalam karya tersebut menjadi hal penting,sebab bahasa yang menjadi media dalamkarya tersebut merupakan alat pentingdalam telisik psikoanalisis Lacanian.Menelisik aspek intrinsik ini menjadi jendeladalam melihat persoalan wacana sosial yangdisampaikan oleh pengarang melaluikaryanya yang merupakan metaforametafora hasrat pengarang yangtermanifestasikan.Berdasarkan pemaparan di atas,masalah yang ingin penulis rumuskandalam penelitian ini hanya satu hal pokoksaja, yaitu apa dan bagaimana hasrat Nanosebagai hasrat subjek yang berkekurangan(lack) di dalam Cermin Bening. Tujuanpenelitian ini adalah mengidentifikasi hasratNano dan mendeskripsikan bagaimanahasratituterbentukyangdimanifestasikannya di dalam CerminBening.Nano lebih dikenal sebagai seorangdramawan atau pegiat teater. Tidaklahmengherankan jika penelitian terhadapkarya-karya Nano lebih banyak dilakukanpada naskah-naskah dramanya. Dari sekianbanyak penelitan yang dilakukan terhadapkarya-karya Nano, belum ada yang melihatdan menemukan apa yang membuat Nanosebegitu produktifnya. Syaiful Anwar dalamtesis S-2 (UGM) yang kemudian dibukukandengan judul N. Riantiarno: Dari RumahKertas ke Pentas Dunia (2005) hanyamenuliskan mengenai siapa Nano dankehidupannya dalam menghasilkan karyakaryasertafaktor-faktoryang

RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN.menyebabkannya menjadi seniman teaterIndonesia. Penelitian ini belum sampai padahal yang substansial mengenai apa yangmenjadi keinginan (hasrat) Nano yangsesungguhnya.2. METODE PENELITIANPenelitian terhadap CB ini adalahpenelitian dengan metode psikoanalisisLacanian. Metode ini berangkat dari asumsiteoritik bahwa identitas manusia (subjek)atau masyarakat terbentuk dari hasratnyayang merupakan produk ketidaksadaran.Apa yang membentuk diri (ego) berasal dariketidaksadaran. Faruk mengemukakanbahwateoripsikoanalisisLacanmenganggap alam bawah sadar manusiaselalu dalam keadaan “kurang”, merasa adayang hilang sehingga tumbuh hasrat danusaha yang terus-menerus untuk menutupikekurangan itu, menemukan kembali apayang hilang, membuat manusia kembalilengkap, sempurna, utuh, menemukanidentitasnya, menjadi dirinya kembali(Faruk, 2012: 196).Karya sastra yang diproduksipengarang juga merupakan produk hasratpengarang/manusia sebagai subjek. Untukmendapatkan konsep diri manusia (subjek)dari lahir menuju dewasa yang dinamakansebagai Oedipus Complex, manusia harusmenempuh tiga fase yang berhubungandengan tiga ranah (register) atau tatanan(order) psikisnya, yaitu fase pra-oedipal padatatanan real (the real), fase cermin padatatanan imajiner (the imaginary), dan faseodipal pada tatanan simbolik (the simbolic).Ketiga tatanan ini senantiasa mengiringisetiap langkah hidup manusia itu. Dikatakanjuga bahwa subjek Lacanian adalah subjekyang terbelah (split), kekurangan, dan tidakutuh. Dalam konsep kekurangan ini, Lacanmelihatnya ada determinasi antara “yangreal” dan “yang simbolik”. Oleh karena itu,subjek ini terus mencari kepastian diri yangseringkali mengacu pada “yang lain”. Dalamusahapencarianinilahsubjekmengkonstruksi dirinya terhadap realitas.Pengkonstruksian diri ini mengandunghasrat (desire) pada diri subjek.Faruk mengatakan bahwa bahasamerupakan sebuah tatanan kultural yangmenanamkan subjektivitas bagi manusia,membuat manusia menemukan identitasatau dirinya. Namun, apa yang dilakukanbahasa pada subjek itu bersifat mendua: disatu pihak memberikan rasa subjektivitas, dilain pihak menjauhkan sang subjek dari diriasalinya. Bahasa, dengan demikian, justrumemperkuat rasa kurang dan rasakehilangan (Faruk, 2012: 196).Denganmenemukandanmengidentifikasi hasrat yang ada dalam CBini, melalui metode subjek Lacanian ini pulaakan ditemukan apa yang menjadi hasratNano sebagai subjek yang berkekurangan.Hal ini penting karena hasrat akanmenentukan arah “menjadi” seseorang danapa yang ingin “dimiliki”.Untuk mendapatkan konsep diri, Lacanmembagi proses pembentukan subjek itu kedalam tiga fase yang memiliki hubungandengan tiga ranah atau tatanan dalam psikismanusia. Yang pertama dinamakan fase praodipal pada tatanan real (the real), fasecermin pada tatanan imajiner (the imaginer),dan fase odipal pada tatanan simbolik (thesimbolic).Pada fase pra-odipal, seperti halnyaFreud, Lacan juga mengatakan pada fase inibayi belum mengenali dirinya dan batasanegonya. Diri bayi merasa satu dengan diriibunya bahkan juga dengan diri yang lain,tak ada yang membedakan. Bayi dan ibumasih merupakan kesatuan. Dalam fasecermin, terjadi tiga hal penting. Pertamaadalah pada saat bayi menyadariketerpisahannya dengan ibunya. Hal inimembuat sang bayi merasa kehilangan,kekurangan, dan ingin menyatu kembalidengan ibu. Akan tetapi, bayi masih belummengetahui konsep “diri”-nya. Hal inimembawa bayi pada hal pentingberikutnya, yaitu dari kebutuhan menjadipermintaan.Kedua,dikarenakankebutuhannya tak lagi secara otomatisterpenuhi, sang bayi harus memintanya.Akantetapi,bayitakdapat113

METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124mengartikulasikan permintaannya dengantepat, akibatnya sang ibu atau siapa puntidak dapat memenuhi permintaannya. Disini bayi hanya bisa menangis karena bayibelum memiliki bahasa.Hal ketiga yang terpenting lainnyaadalah terjadi proses identifikasi pada bayi.Imajiner adalah istilah yang dipakai Lacanuntuk menyebut proses pembentukan subjekyang didominasi oleh identifikasi dandualitas, sebelum pengenalan pada bahasa(Hartono, 2007: 23). Identifikasi menurutLacan adalah suatu transformasi yangterjadi pada benak subjek saat iamembayangkan suatu citra, seperti yangditulisnya dalam artikel panjangnya, “Ecrits:The Transformation That Takes Place in TheSubject When He Assumes an Image” (Lacan,1977: 2). Identifikasi pertama kali yangdilakukan oleh bayi pada saat dirinyamelihat cermin adalah mencampuradukanbayangannya dengan bayangan orang lain.Disinilahbayimengalamikesalahmengertian (misrecognition) terhadapdirinya sendiri. Namun, pada saat itulah bayimulai belajar untuk menciptakan konstruksisuatu pusat atau yang Lacan sebut sebagai“ego ideal”. Kemudian, ketika si anaktumbuh dewasa, ia akan terus membuatidentifikasi imajiner dengan objek-objekyang ditemuinya.Fase ketiga adalah fase odipal atautatanan simbolik. Pada fase inilah anakharus mengalami kastrasi, di mana anakharus berpisah dari ibunya. Ibu dipandangsebagai “Liyan” sebab ibu tak lagi dilihatsebagai satu kesatuan pada diri sang anak.Kemunculan ayah memperparah hubunganantara ibu dan anak. Kehadiran “ayahsimbolik” menyebabkan anak kehilanganobjek hasratnya, yakni ibu (liyan). Konsepliyan (l kecil) merujuk pada objek hasrat yangdisebut Lacan sebagai objek a. Adapun Liyan(L besar) merupakan pusat otoritas kulturalsimbolik. Oleh Freud, hal itu dinamakansebagai Phallus (Lacan, 1988: 243—247).Konsep hasrat ini juga berangkat darisuatu kegelisahan (anxiety). Gagasankegelisahan adalah selalu merupakan reaksiakan suatu kehilangan. Kehilangan114merupakan gagasan yang fundamentaldalam konsepsi subjek dalam psikoanalisisLacanian. Namun, kehilangan di sinimerupakansuatuper

Selain menulis naskah drama untuk pentas Teater Koma, ia juga menulis puisi, cerpen, skenario film dan novel. . (Sampek Engtay, Opera Ular Putih dan Sie Jin Kwie). . karya-karya Nano lebih .

Related Documents:

2 Connect iPod nano to a USB 3.0 port or high-power USB 2.0 port on your Mac or PC, using the cable that came with iPod nano. 3 Follow the onscreen instructions in iTunes to register iPod nano and sync iPod nano with songs from your iTunes library. If you need help using the iPod nano Setup Assistant, see Setting up iTunes syncing on page 15.

Pool Pilot Digital Nano/Nano Digital Nano Models: 75040, 75040-xx, 75041 and 75041-xx Manifolds: 75082 or 94105 Cell: RC35/22 Digital Nano Models: 75042, 75042-xx, 75043 and 75043-xx Manifold: 94106 Cells: RC35/22 or RC28 Owner's Manual Installation / Operation This manual covers the installation

nano-silver / nano-copper paste vertical interconnects Master's Thesis Maryam Ahmadi Namin. nano-silver / nano-copper paste . Committee Member: Dr. ing. H.W.(Henk) van Zeijl , Faculty EEMCS, TUDelft. Acknowledgements Maryam Ahmadi Namin Delft, the Netherlands June 9, 2017 iii.

Experimental Study of Nano Electro Machining. (Under the direction Dr. Paul Cohen.) Scanning Probe Lithography (SPL) is one of the methods used for synthesizing nano-structured materials and devices. SPL potentially 3D, relatively fast and needs no expensive masks. Nano milling and nano electro machining are recent developments in SPL. Nano

2 Hasrat Sebagai Langkah Pertama Menuju Pencapaian Hasrat, bukan sekadar keinginan, harus menjadi faktor memotivas

Koppel de iPod nano niet los als de melding 'Verbonden' of 'Synchroniseren' wordt weergegeven. U moet de iPod nano verwijderen voordat u de kabel loskoppelt als u een van deze meldingen ziet. Zo voorkomt u beschadiging van bestanden op de iPod nano. Zie op pagina 13 voor meer informatie over het veilig loskoppelen van de iPod nano.

Modelos de iPod/iPhone que pueden conectarse a esta unidad Made for iPod nano (1st generation) iPod nano (2nd generation) iPod nano (3rd generation) iPod nano (4th generation) iPod nano (5th generation) iPod with video iPod classic iPod touch (1st generation) iPod touch (2nd generation) Works with

argue that classical social theory is primarily a theory of modernity and that the classical tradition of modern social theory raised fundamental questions concerning the nature, structure, and historical trajectories of modern societies. By putting modern societies in broad historical perspective, by emphasizing the linkages between their differentiated social institutions, and by expressing .