Kronologis & Latar Belakang Permasalahan Masyarakat Adat Marafenfen .

1y ago
9 Views
2 Downloads
3.01 MB
8 Pages
Last View : 15d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Kaleb Stephen
Transcription

Kronologis & Latar Belakang PermasalahanMasyarakat Adat Marafenfen Kepulauan Aru:Upaya Memperjuangkan Eksistensi Sebagai ManusiaDari Perampasan TanahMasyarakat hukum adat dalam konstitusi Indonesia, Putusan MK No. 35 dan UU di bawah UndangUndang Dasar diakui sebagai subjek hukum genuine Indonesia yang melekat-menyatu dalamsejarah asal usul Indonesia.1 Namun eksistensinya dalam sejarah Indonesia diekslusi oleh watakdominasi pembangunan ekstraktif-eksploitatif atas wilayah-wilayah ulayat masyarakat adat melaluiinstrumentalisasi bentuk-bentuk hukum pembangunan: UU Penanaman Modal, UU Kehutanan,UU Perkebunan, UU PTPU, dst. Hasilnya tiada lain adalah perampasan tanah, konflik agraria,kriminalisasi dan dicerabutnya hak atas kehidupan yang layak nan sejahtera yang sebenarnyabertentangan dengan tujuan adanya Indonesia.Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat tipologi sumber konflik dan kriminalisasimasyarakat adat sepanjang 2020 setidaknya menciptakan 40 kasus meliputi perkebunan (10),pertambangan (5), bendungan dan PLTA (6), pemerintah (5), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)(6), Hutan Tanaman Industri (HTI) (3), TNI (1), dan pencemaran lingkungan di wilayah adat (4).2Dari macam sumber konflik tersebut TNI menjadi institusi Negara yang terlibat dalam konflik agrariadengan masyarakat adat ataupun masyarakat pada umumnya. Terkait hal ini, kondisi serupa jugaterjadi antara masyarakat adat Marafenfen, Kepulauan Aru dengan TNI AL yang berlangsung dalamrentang waktu yang lama.Hampir 30 tahun Masyarakat adat Marafenfen Kepulauan Aru menjaga kesabaran dalam menunggukejelasan i’tikad baik Negara terkait perampasan wilayah ulayat mereka oleh TNI AL untukpembangunan fasilitas milter pada tahun 1992. Sekian lama menunggu akhirnya masyarakat adatMarafenfen mendapatkan klarifikasi resmi dari TNI AL melalui perantara KomnasHAM perwakilanProvinsi Maluku pada 2017. Waktu selama itu dilalui masyarakat adat Marafenfen dalam keadaanterampas hak asasinya atas ruang hidup (sumber-sumber agrarianya) sembari menunjukkan sikapsebagai warga Negara yang baik. Sikap sebagai warga Negara yang baik tersebut kemudiandiwujudkan melalui jalur hukum dengan menggugat secara perdata (perbuatan melawan hukum)TNI AL atas objek tanah masyarakat adat yang dikuasai oleh TNI AL berdasarkan sertifikat hakpakai (SHP No.25.02.03.105.4.0001, 13 Februari 1993 seluas 689 ha) sejak 1991 seluas 689 ha.Padahal tanah yang dikuasai oleh TNI AL sejak lama merupakan tanah ulayat/adat yang telah lamamenjadi ruang hidup masyarakat adat Marafenfen. Adapun kronologi peristiwa secara ringkasnyasebagai berikut:12Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUDNRI 1945, PMK No. 35/PUU-X/2012, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok asan-wilayah-adat-dalam-uu-cipta-kerja diakses November 2021

Awal Mula Masuknya TNI AL ke Kepulauan AruSaat operasi trikora tahun 1962, Kepulauan Aru menjadi lokasiyang sangat strategis sebagai check point tantara Indonesia untukmemobilitasi pasukannya ke wilayah Papua. Sejak saat itu, wilayahdi Kepulauan Aru dianggap menjadi area yang sangat penting untukpertahanan negara dan melindungi masyarakat dari ancaman dariluar. Mengingat, bagian selatan kabupaten ini langsung berhadapandengan Australia.Strategisnya wilayah Aru, khususnya Marfenfen dilanjutkan padatahun 1991. Berdasarkan kesaksian warga, pada tahun tersebutsejumlah aparat TNI datang ke pulau Aru tepatnya desa Marafenfenmenggunakan helikopter dengan maksud akan membangun bandaraTNI AL dan fasilitas militer lainya. Kedatangan TNI AL ke PulauAru merupakan bagian dari rangkaian peristiwa yang terjadi tahun1990 yang diawali dari surat permohonan KASAL kepada PANGABNo.R/479/VII/90 tanggal 16 Juli 1990 perihal pembentukan Lanal danLanudal di Kepulauan Aru untuk kepentingan pertahanan Negara.Surat permohonan tersebut kemudian ditindaklanjuti MABES ABRImelalui kajian strategis dan berlanjut dengan persetujuan olehPANGAB lewat surat No. B/276-04/02/776/Slog tanggal 21 september1990.Berbekal persetujuan dari pusat Mabes ABRI aparat TNI AL kemudianmelaksanakan koordinasi dengan pejabat terkait termasuk berkirimsurat ke Gubernur Maluku dalam rangka untuk mensukseskankebutuhan pembangunan fasilitas milter. Pihak TNI AL jugamengklaim telah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempatdalam rangka untuk melaksanakan survei lokasi yang tepat untukpembangunan pangkalan TNI AL. Aparat TNI AL mendatangi pusatDesa Marafenfen untuk mengadakan pertemuan dengan aparat/pihak desa. Setelah pertemuan selesai aparat TNI AL langsung kelokasi guna memasang (membuat patok batas).Namun berdasarkan keterangan masyarakat aparat baru memberitahu maksud yang sebenarnya kepada masyarakat setelahpematokan lokasi selesai. Kemudian aparat kembali ke Jakarta dansetelah beberapa saat datang kembali dengan membawa surat sertamenyuruh kepala desa untuk tanda tangan surat tersebut.Berdasarkan pengakuan dari masyarakat rangkaian proses tersebutdilakukan dengan cara yang tidak partisipatif seolah-olah tidakmenganggap keberadaan masyarakat adat Marafenfen. Masyarakatmenyatakan “kami (masyarakat) kaget, sudah dibuat patok di lahan itu(lokasi bandara), namun kami tidak bisa berbuat banyak,”. Situasinyalantas membuat masyarakat dalam keadaan takut, “kala itu, militerberseragam lengkap dengan senjata membuat warga takut hinggamengiyakan proses pelepasan lahan.”Untuk menyikapi hal tersebut masyarakat berinisiatif membentuk duatim untuk berangkat ke Jakarta yang mana tim pertama berangkattahun 1992 dan tim kedua berangkat tahun 1994 untuk bertemudengan pimpinan TNI AL (KSAL) namun tidak bisa bertemu.Selanjutnya masyarakat kemudian menemui Komnas-HAM yangpada saat itu ditemui oleh sekjen Komans-HAM, Baharuddin Lopa.Sekjen Komnas Ham kemudian menindaklanjutinya dengan berkirimsurat kepada panglima ABRI meminta penyelesaian masalah tanahyang terjadi di Desa Marafenfen untuk segera dilakukan agar kelakdikemudian tak menjadi bom waktu (konflik agraria).

Setelah sekian lama masyarakat menunggu penjelasan (klarifikasi)resmi dari pihak TNI AL (sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi)melalui surat yang dikirimkan oleh Komnas-HAM tersebut, akhirnyaKomnas-HAM mendapatkan surat klarifikasi resmi dari pihak TNIAL pada 5 Desember 2016. Kemudian surat tersebut diterimaoleh masyarakat pada awal 2017 dan berdasarkan surat ini pulamasyarakat mulai untuk memikirkan langkah-langkah penyelesaianbaik secara hukum maupun non-hukum.Usaha-usaha dengan iktikad baik (non-hukum) untuk menemuipihak-pihak berwenang telah pula dilakukan oleh masyarakat adatMarafenfen namun tidak membuahkan hasil sama sekali. Misalnyaberkirim surat ke BPN untuk memohon agar meninjau secaraadministrasi Sertifikat Hak Pakai yang ada di desa Marafenfen pada2017 dan termasuk menemui jajaran pemerintah daerah pada 7September 2021 di antaranya Bupati dan Ketua DPRD yang bahkansecara tertulis (resmi) menyatakan keberadaan masyarakat adatMarfenfen di Kepulauan Aru.Atas dasar kebuntuan langkah tersebut selanjutnya masyarakat adatMarafenfen membawa kasus ini pada proses hukum. Yakni denganmenggugat secara perdata perbuatan melawan hukum (karenapenyerobotan lahan (objek tanah seluas 689 ha) yang dilakukan olehpihak TNI AL di Pengadilan Negeri Dobo dengan register perkaraNomor 7/Pdt.G/2021/PN.Dobo tanggal 31 Maret 2021. Adapun pihaktergugat antara lain Gubernur Maluku, TNI AL dan Badan PertanahanNasional (BPN). Langkah ini diambil setelah sekian lama masyarakatmenunggu kejelasan terhadap status tanah mereka dengan caraberkirim surat kepada pemerintah, dan lembaga terkait, termasukpihak TNI di Jakarta dan Komnas HAM.Kehadiran TNI AL untuk siapa?Sejatinya, kehadiran TNI AL di Kepulauan Aru khususnya di Marfenfenuntuk melindungi negara dan masyarakat yang ada disana. Jika tujuanmulai ini benar-benar dilaksanakan oleh TNI AL, tentu permasalahansengketa lahan yang berujung pada konflik sosial berkepanjangandapat terhindari. Namun, dari serentetan kejadian yang terjadi dalamsetiap proses persidangan dan juga sidang pengambilan putusan,memperlihatkan ada tumpukan kekesalan terhadap aparat negarayang telah terpendam dalam jangka waktu yang lama.Cerita terkait dugaan aparat TNI AL yang mengawal kepentinganbisnis sering kali keluar dari penuturan masyarakat. Dalam kasusillegal fishing misalnya, Kementerian kelautan dan perikanan pernahmengutarakan bahwa kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafuradiestimasi mencapai Rp40 triliun/tahun atau Rp520 triliun sepanjang2001-20133. Begitu juga dengan cerita-cerita eksploitasi sumberdayaalam lainnya di Kepulauan Aru, seperti operasi HPH PT. Budi Nyata(Djayanti Group) pada zaman orde baru dan perusahaan ikan asalThailand PT. Pusaka Benjina Resources yang ditutup oleh MenteriKKP Susi Puji Astuti pada tahun 2015. Situasi ini memperlihatkanadanya sejarah kelam perampasan sumberdaya alam di KepulauanAru. Padahal, sudah sejak lama TNI AL telah menginjakkan kakinyadi Kepulauan Aru dan menganggap wilayah Aru sebagai daerah yangstrategis.3Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Illegal Fishing di Laut Arafura: Indonesia RugiRp40 Triliun/Tahun”, Klik selengkapnya di sini: 40-triliuntahun-.

Dalam beberapa kasus rencana investasi industri ekstraktif di Kepulauan Aru, TNI AL juga kerapmenjadikan institusinya sebagai pintu masuk para investor dengan cara menfasilitasi kepentingakepentingan investor. Seperti halnya yang terjadi pada kasus rencana masuknya Menara Grouppada tahun 2012 dan Jhonlin Group pada tahun 2017.Sementara itu, dikampung-kampung masyarakat merasa tersaingi dengan masifnya perburuanrusa dan hewan-hewan lainnya yang dilakukan oleh oknum TNI AL. Praktis, ini semua mengganggusumber pangan dan sumber kehidupan masyarakat. Hewan-hewan buruan di area ladang berburutradisional masyarakat semakin hari semakin berkurang populasinya, habis karena perbedaanteknologi dan cara berburu. Masyarakat yang berburu dengan berlari dan panah-panah harusbersaing dengan oknum-oknum TNI AL yang berburu dengan truk dan senjata api.Penyelewengan Instrumen Hukum Administrasi dan Pelanggaran HAMLangkah judisial yang diambil oleh masyarakat adat Marafenfen merupakan wujud dari ketaatansebagai warga Negara Indonesia yang menyandang identitas khusus masyarakat adat sebagaimanadiakui oleh UUDNRI 1945, PMK 35 dan instrument hukum lainya baik nasional maupun internasional.Walau secara normatif nampak diakui, akan tetapi pada faktanya hanya sampai pada teks hukumyang mati (dead letter law) sebagaimana yang terjadi dalam konteks masyarakat adat Marfenfen.Faktanya jalur judisial yang diambil masyarakat sangatlah riskan mengingat pada kenyataannyaperadilan Indonesia sangat rendah perspektif keberpihakan dalam kasus-kasus semacam ini.Uraian-uraian fakta persidangan di bawah ini akan menunjukan berbagai pelanggaran hukum danHAM yang mendera masyarakat adat selama bertahun-tahun oleh pihak TNI AL Aru.Pertama, secara umum peristiwa hukum ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pengadaantanah yang dalam konteks ruang dan waktu saat itu dipedomani oleh Permendagri No. 15 Tahun1975, Permendagri No.2 Tahun 1976 dan Permendagri No.2 Tahun 1985. Dalam banyak kajian,aturan tersebut cacat secara yuridis karena mengandung unsur-unsur abuse of power dan konflikkepentingan. Ini pula yang menyebabkan proses sewenang-wenang dalam pembebasan tanah(perampasan) hak ulayat masyarakat adat Marafenfen karena aturan tersebut menciptakan panitiapembebasan tanah merangkap sekaligus sebagai panitia penilai objek pengadaan.Kedua, Bahwa berdasarkan pada fakta persidangan terungkap bahwa proses pelepasan hakdilakukan secara melawan hukum. Menurut Pengacara masyarakat, proses perolehan tanahnyadilakukan dengan cara memanipulasi hasil musyawarah yang mana ternyata diketahui dalam beritaacara musyawarah ditandatangani oleh orang-orang yang fiktif atau orang-orang yang tidak cakapsecara hukum. Selain itu ganti rugi/kompensasi terhadap tanah masyarakat adat yang dilepaskanpun dilakukan secara manipulatif.

AgendaMusyawarahpelepasanhak atas tanah yangdimanipulasi oleh pihakpihakterkait(CacatAdministrasi)Fakta PersidanganKenyataannya dari nama-nama pada daftar yang dimaksud, adaorang yang belum pernah lahir ke muka bumi, ada yang sakitingatan sejak lahir yang telah dihadirkan dalam persidangan dantidak merespons apapun dari pertanyaan Hakim, ada nama yangorangnya masih anak-anak pada waktu itu, ada nama yang orangnyasudah lama keluar meninggalkan Desa Marafenfen, ke Dobo,Ke Ambon, ke Sorong dan sebagainya, sehingga tidak mungkinmengikuti musyawarah di Desa Marafenfen saat itu. Jadi sebagaibentuk musyawarah, namun fiktif.AgendaFakta PersidanganPenetapan Ganti Rugi dan Tergugat I (TNI AL) dan Tergugat III (BPN) melalui jawaban yangpihak-pihak yang berhak disampaikan telah meyakinkan persidangan bahwa ada ganti rugi.menerima sejumlah 100 Untuk itu diajukan bukti TI-7 oleh Tergugat I, seakan-akan adaorang namun banyak fiktifwarga Marafenfen yang telah menerima ganti rugi sebagai akibatpenguasaan Tergugat I terhadap objek sengketa. Setelah ditelititernyata pada nama-nama yang disebut sebagai penerima gantirugi, antara lain orangnya masih anak-anak yang tidak tinggal diDesa Marafenfen untuk menerima ganti rugi itu, selain masih anakanak yang seakan-akan menerima ganti rugi, ayahnya juga yangwaktu itu bertugas sebagai guru di Kota Dobo, juga menerima gantirugi.Bahkan saksi tergugat justru keteranganya saling bertentangan yangsatu menyatakan TNI AL telah mengganti rugi berupa tanah 200 habersertifikat di Desa Jerold an telah diserahkan ke masyarakat adatMarafenfen utk 100 KK. Namun saksi tergugat lainya menyatakanmasyarakat adat Marafenfen berdomisili di desa Marafenfen dantidak punya perkampungan di Desa Jerol.Hal tesebut merupakan bukti kecacatan prosedur dalam prosespengadaan tanah dengan memanupulasi data-data.Ketiga, kesewenang-wenangan nampak pada rangkain administrasi dalam pengadaan oleh pejabattata usaha Negara dalam hal ini Gubernur Maluku, BPN dan pihak terkait. Sebagaimana faktadalam persidangan terungkap.

AgendaFakta PersidanganProses administrasiPenerbitan SK Gubernur Maluku, Surat Keputusan Kepala KantorpengadaantanahWilayah Badan Pertanahan Provinsi Maluku, dan penerbitanyang cacat prosedurSertifikat Hak Pakai Nomor 1 Desa Marafenfen seharusnyaberdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah(HAT).Aturan ini menyebutkan Gubernur tak berwenang memberikan hakatas tanah lebih dari 2.000 M2 (dua ribu meter persegi) dan jangkawaktunya tidak lebih dari 10 tahun. Kewenangan pemberian HATseluas itu harusnya berada pada ranah Menteri Dalam Negeri kalaitu.Namun SK Gubernur dan Sertifikat Hak Pakai seluas 689 Ha yangmenjadi alas hak penguasaan tanah oleh TNI AL nyatanya takberpedoman pada aturan tersebut dalam menetapkan SK.Seharusnya pembebasan tanah dilakukan tahun 1992 sesuai SKGubernur Maluku Maluku No. 591.1/SK/50/92 tertanggal 22 Januari 1992tentang Pencadangan Tanah untuk Pembangunan Stasion Angkatan Laut danStation Udara AL di Maluku Tenggara. Tetapi dalam surat klarifikasi TNI ALyang dikirim melalui Komnas HAM, pembebasan tanah dilakukantahun 1991. Padahal dalam SK Gubernur tsb, pihak TNI Al harusmembebaskan tanah dari pemiliknya di Desa Marafenfen seluas650 ha dan dilanjutkan dengan permohonan pendafatran hak atastanah guna mendapatkan sertifikat Hak pakai.Proses administrasi yang manupulatif ini memperlihatkan perolehantanah yang sangat cepat dan tidak wajar.Keempat, penguasaan tanah ulayat masyarakat adat oleh pihak TNI AL secara melawan hukumakhirnya juga berakibat pada terkuranginya (terhapusnya) masyarakat adat Marafenfen dalammemenuhi hak atas kehidupan dan lingkungan hidup yang layak. Pemenuhan hak ini merupakanbagian inti dari keberadaan masyarakat adat yang tak terpisahkan. Sehingga penguasaan(perampasan) tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen oleh TNI AL merupakan pelanggaran hakasasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD45 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentangHAM. Fakta ini diungkap dalam persidangan .

AgendaPembuktian melaluipemeriksaan saksisaksi penggugatdan tergugatFakta PersidanganKehadiran TNI AL selain mengambilalih tanah ulayat masyarakat adatMarafenfen secara melawan hukum juga mengambil mata pencaharianmasyarakat adat (tidak hanya masyarakat adat marfenfen), seperti perburuanhewan liar, bunga anggrek, sarang burung wallet, sarang semut burungkakaktua dll. Kesemuanya itu merupakan bagian tak terpisahkan dari tubuhmasyarakat adat Aru.Saksi-saksi dari penggugat yang juga korban menceritakan kehadiran TNIAL telah mengubah kehidupan mereka menjadi tidak sejahtera. Padahalsebelum adanya TNI AL masyarakat adat hidup sejahtera.Kehadiran TNI AL diakui oleh banyak korban telah melanggar hak hiduptentram dan hidup aman. Pengakuan masyarakat juga mengalami hukuman tidak manusiawi ketika ketahuan memasuki kawasan sengketa misalnya disuruh mengelupas kelapa menggunakan mulut merupakan tindakankekerasan yang melanggar hak asasi manusia.Pembacaan Putusan PersidanganSetelah tanah ulayatnya diambilalih dengan cara-cara manipulatif melalui pemalsuan dokumenmusyawarah pelepasan dan ganti rugi hak atas tanah (cacat administrasi), tepat pada tanggal17 November 2021 perjuangan konstitusional masyarakat adat Marafenfen lewat gugatan diPengadilan Negeri Dobo, Kepulauan Aru (Maluku) pun dikalahkan oleh hukum. Keadilan yangsejatinya untuk masyarakat adat justru dibunuh oleh argumentasi hukum Majelis Hakim yang hanyamengejar kebenaran formal semata (kepastian hukum). Hakim tidak berupaya menggali kebenaranyang hidup dalam kehidupan masyarakat adat marafenfen (Living law). Keadilan seharusnya digalisedalam-dalamnya melalui signifikansi sosial-budaya masyarakat adat. Namun nyatanya majelishakim lebih memilih menggali kebenaran formal, yakni kebenaran yang hanya bersumber padadokumen-dokumen formal yang dijadikan alat utama untuk menilai perkara.Pertama, dalam konteks perampasan tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen, hakim jelassekali tidak mengakui keabsahan bukti-bukti penguasaan hak atas sumber-sumber agraria darimasyarakat adat, misalnya hakim menyatakan bahwa penggugat (masyarakat adat) tidak bisamenyertakan bukti kepemilikan hak atas tanah permulaan berupa surat pembayaran pajak sepertigirik sebagaimana dalam konteks masyarakat Jawa. Parahnya hakim juga menilai semua hasilmusyawarah majelis adat Ursia-Urlima sebagai bentuk dukungan penguatan hak ulayat yang sahmasyarakat adat Marafenfen tidak dianggap sebagai pranata hukum adat yang mengatur eksistensimasyarakat adat Marafenfen. Hakim dalam hal ini jelas bernalar dengan hukum yang dijiwai olehkebutaan aspek antropologis masyarakat adat.

Kedua, nalar formalis hakim jelas sekali tidak mengindahkan fakta-fakta historis yang mendasarikasus perampasan tanah ini terjadi. Konteks historis ini diawali oleh pengadaan tanah yang objeknyaadalah tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen tahun 1991-1992. Proses-proses manipulasimusyawarah pelepasan dan ganti rugi hak atas tanah (cacat administrasi), hilangnya hak ekosobnya serta kekerasan dan intimidasi yang dialami masyarakat adat berpuluh tahun lamanya tidakdipertimbangkan sebagai alasan-alasan konstitusional yang seharunya jadi landasan hakimmemutus perkara. Hakim justru hanya berlindung dibalik nalar formalitas yakni menyatakan prosesproses tersebut tetap diakui keabsahannya selama sertifikat hak pakai (SHP) atas nama TNI ALtidak digugat ke PTUN dan dinyatakan batal demi hukum.Ketiga, poin pertama dan kedua menjadi argumentasi hukum majelis hakim yang memukul hatinurani masyarakat adat dan semakin memperjelas praktik kuasa peradilan yang masih jauh daripenegakan hukum berperspektif antropologis. Padahal pada dasarnya UUD 1945 sebenarnya dapatdibaca sebagai dokumen konstitusi antropologis yang hidup guna menjadi penerang penegak hukumdalam menyelesaikan kasus-kasus perampasan hak ulayat masyarakat adat. Hal ini pula semakinmemperjelas pentingnya segera RUU Masyarakat Adat disahkan agar menjadi perlindungan hukumbagi masyarakat adat dan sumberdaya alamnya.Terhadap hal tersebut kami seluruh elemen masyarakat sipil menyayangkan kebutaan antropologishakim dalam memutus perkara perampasan tanah masyarakat adat Marafenfen. Kami menganggapputusan Hakim tersebut tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia masyarakatadat yang sebenarnya sangat jelas diatur dalam UUD 1945, Putusan MK 35 dan instrument hukuminternasional. Selain itu kami menilai hakim melalui putusannya juga menambah panjang konflikagraria yang selama ini masih banyak terjadi dan berlangsung hingga kini.

TNI AL atas objek tanah masyarakat adat yang dikuasai oleh TNI AL berdasarkan sertifikat hak pakai (SHP No.25.02.03.105.4.0001, 13 Februari 1993 seluas 689 ha) sejak 1991 seluas 689 ha. Padahal tanah yang dikuasai oleh TNI AL sejak lama merupakan tanah ulayat/adat yang telah lama menjadi ruang hidup masyarakat adat Marafenfen.

Related Documents:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek Latar belakang yang menjadikan terwujudnya Implementasi Konsep International Style pada Hotel Bintang Empat di Kawasan Sudirman Bandung, dibagi dalam dua perihal. Perihal pertama yaitu, latar belakang lokasi dan latar belakang perencanaan proyek. Perihal – perihal tersebut akan dijadikan sebagai

PSI AP Physics 1 Name_ Multiple Choice 1. Two&sound&sources&S 1∧&S p;Hz&and250&Hz.&Whenwe& esult&is:& (A) great&&&&&(C)&The&same&&&&&

Argilla Almond&David Arrivederci&ragazzi Malle&L. Artemis&Fowl ColferD. Ascoltail&mio&cuore Pitzorno&B. ASSASSINATION Sgardoli&G. Auschwitzero&il&numero&220545 AveyD. di&mare Salgari&E. Avventurain&Egitto Pederiali&G. Avventure&di&storie AA.&VV. Baby&sitter&blues Murail&Marie]Aude Bambini&di&farina FineAnna

The program, which was designed to push sales of Goodyear Aquatred tires, was targeted at sales associates and managers at 900 company-owned stores and service centers, which were divided into two equal groups of nearly identical performance. For every 12 tires they sold, one group received cash rewards and the other received

College"Physics" Student"Solutions"Manual" Chapter"6" " 50" " 728 rev s 728 rpm 1 min 60 s 2 rad 1 rev 76.2 rad s 1 rev 2 rad , π ω π " 6.2 CENTRIPETAL ACCELERATION 18." Verify&that ntrifuge&is&about 0.50&km/s,∧&Earth&in&its& orbit is&about p;linear&speed&of&a .

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar belakang masalah memuat penjelasan mengenai alasan-alasan masalah yang dikemukakan dalam penelitian yang dianggap menarik, penting dan perlu diteliti. Kedudukan masalah yang diteliti diuraikan juga dalam lingkup permasalahan yang lebih luas. Keaslian penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang timbul sehubungan dengan satuan rumah susun (selanjutnya disebut sarusun) di atas tanah bersama yang dibebankan hak tanggungan saat ini tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum terutama bagi pembeli sarusun. Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Nomor 16

Grade 2 collected 25 books. Grade 3 collected 15 books. Grade 4 collected 10 books. The school had a book drive to support the local shelter. Grades 1, 2, 3, and 4 collected books. Organize the book data into the pictograph above. 1. Who collected the most books? _ 2. What was the total amount of books collected? _ 3. Which grade .