RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF KEKUASAAN .

3y ago
44 Views
4 Downloads
414.33 KB
156 Pages
Last View : Today
Last Download : 3m ago
Upload by : Wren Viola
Transcription

Diana RahmiRESTRUKTURISASI PERADILANAGAMA DALAM PERSPEKTIFKEKUASAAN KEHAKIMANYANG MERDEKAIAIN ANTASARI PRESS2014i

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang MerdekaRESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMADALAM PERSPEKTIF KEKUASAANKEHAKIMAN YANG MERDEKAPenulisDiana RahmiCetakan I, Desember 2014Desain CoverLuthfi AnshariTata LetakYokke AndiniPenerbitIAIN ANTASARI PRESSJL. A. Yani KM. 4,5 Banjarmasin 70235Telp.0511-3256980E-mail: antasaripress@iain-antasari.ac.idPencetakAswaja PressindoJl. Plosokuning V No. 73 Minomartani, NgaglikSleman YogyakartaTelp. 0274-4462377E-mail: aswajapressindo@gmail.com15,5 x 23 cm; vi 150 halamanISBN: 978-602-0828-02-2ii

KATA PENGANTARSegala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq danhidayahNya sehingga penulisan buku ini dapat terselesaikandengan baik. Shalawat dan salam tidak lupa dihaturkan kepadaNabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga beliau,sahabatnya dan umatnya seluruhnya. Amin.Buku ini merupakan hasil dari Tesis berjudul“Restrukturisasi Peradilan Agama dalam Perspektif KekuasaanKehakiman yang Merdeka”, yang kemudian Penulis revisi dankembangkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan terbaru.Keinginan Penulis mempublikasikan dalam bentuk buku ini,dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan akademisi, praktisidan masyarakat luas yang ingin mengetahui eksistensi PeradilanAgama dewasa ini. Memang banyak buku mengenai PeradilanAgama di Indonesia, namun sepanjang pengetahuan Penulisbuku-buku dimaksud secara akademis ditulis sebelumberlakunya Restrukturisasi Peradilan Agama. Disamping hal itu,dalam buku ini juga mengetengahkan proses Restrukturisasiterhadap Peradilan Agama dari aspek yang berbeda yaitu politikhukumnya. Kemudian juga di kaji bahwa restrukturisasi yangdilakukan tidak hanya sekedar penataan organisasi, administrasidan finansial tetapi juga dikemukakan urgensi yang lainmengenai pentingnya restukturisasi terhadap Peradilan Agamaini dilakukan.iii

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang MerdekaAkhir kata Penulis berharap semoga buku ini bermanfaatbagi segenap pihak. Menjadi salah satu referensi, sumberinspirasi bagi para akademisi, aparat penegak hukum sertapemerhati Peradilan Agama di Indonesia. Sumbang saran dankritik pembaca sekalian sangatlah Penulis harapkan, gunapenyempurnaan buku ini lebih lanjut.Banjarmasin, Juni 2011Diana Rahmi, S.Ag, MHiv

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL . iKATA PENGANTAR .iiiDAFTAR ISI . vBAB I: PENDAHULUAN . 1A. Latar Belakang Masalah . 1B. Beberapa Teori tentang Konsep Negara Hukum . 9C. Beberapa Teori tentang Independensi LembagaPeradilan Agama . 15BAB II: MAKNA KEKUASAAN KEHAKIMANYANG MERDEKA DALAM PERSPEKTIFPENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA. 33A. Makna Kekuasaan Kehakiman yangMerdeka . 33B. Restrukturisasi Badan-Badan Peradilan danPenyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yangMerdeka di Indonesia . 41C. Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman SebagaiPrasyarat Wujudkan Penegakan Hukum diIndonesia . 57v

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang MerdekaBAB III: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMADALAM PERSPEKTIF KEKUASAANKEHAKIMAN YANG MERDEKA . 79A. Peradilan Agama: Kedudukan dan Eksistensinyadalam Sistem Tata Hukum di Indonesia . 79B. Restrukturisasi Peradilan Agama: KekhususanKetentuan dan Latar Belakangnya . 87C. Restrukturisasi Peradilan Agama dalam PerspektifKekuasaan Kehakiman yang Merdeka. 110BAB IV: PENUTUP . 135A. Simpulan . 135B. Saran . 137DAFTAR PUSTAKA . 139Curriculum Vitae . 149vi

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahUUD 1945 menentukankan bahwa Indonesia ialah negaraberdasarkan hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesiaharus memenuhi tiga asas pokok negara hukum yaitu :1. Asas supremasi hukum atau legalitas, dimana penguasa dansetiap penduduk /warganegara harus tunduk dan taat kepadahukum;2. Asas mengakui dan melindungi hak asasi manusia danperikemanusiaan yang adil dan beradab;3. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka (an independentjudiciary) yang mampu menegakkan supremasi hukum danhak asasi manusia apabila terjadi pelanggaran/sengketahukum dalam masyarakat.1Di dalam sebuah negara hukum yang berasaskan sepertidi atas, juga harus diletakkan proses demokratisasi. Dimanarakyat selalu diikutsertakan kehendaknya dalam setiappengambilan suatu keputusan, lebih-lebih terhadap sesuatu yangmenyangkut hajat hidup kebanyakan rakyat. Dengan begitu1Purwoto S. Gandasubrata.”Kedudukan Kekuasaan Kehakiman menurut UUD1945 dalam Negara Hukum Republik Indonesia”. 2000. Artikel dalam Majalah HukumVaria Peradilan. Tahun XVI. Edisi Nopember Nomor. 182. Hal 135. Lihat pula dalamHartono Mardjono. 2001. Negara Hukum yang Demokratis Sebagai Landasan MembangunIndonesia Baru. Jakarta Selatan : Yayasan Koridor Pengabdian. Hal. 139.1

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdekasupremasi hukum yang ditegakkan dalam sebuah negara hukumyang demokratik adalah hukum yang mengabdi padakepentingan rakyat.Perubahan kondisi politik Indonesia belakangan inimelahirkan harapan baru, khususnya pada era reformasi dimanacukup banyak didengungkan suara agar hukum ditegakkansebagaimana mestinya. Mengapresiasi hal ini, banyak jalan yangbisa dilakukan pemerintah dalam rangka penegakkan hukum,antara lain dengan mewujudkan kemandirian lembaga yudikatif.Maksudnya adalah kekuasaan kehakiman yang ada benar-benarmerdeka sebagaimana dicita-citakan Pasal 24 (1) UUD 1945 yangberbunyi : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yangmerdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkanhukum dan keadilan”.Lahirnya Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentangPokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam RangkaPenyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagaiHaluan Negara khususnya Bab IV C Hukum menegaskantentang perlunya reformasi di bidang hukum untuk mendukungpenanggulangan krisis di bidang hukum. Adapun salah satuagenda yang harus dijalankan adalah pemisahan yang tegasantar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Pemisahan inidilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administrasi, danfinansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawahdepartemen-departemen menjadi di bawah kekuasaanMahkamah Agung.Ketentuan tentang ini tertuang pula dalam KetetapanMajelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 19992004, yaitu pada bab IV bahwa arah kebijakan dibidang hukumpada point 6 adalah “Mewujudkan lembaga peradilan yangmandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihakmanapun”.Apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak dapatditegakkan, selama itu pula kekuasaan kehakiman tidakmungkin sungguh-sungguh menjadi penegak keadilan dankebenaran. Adanya tuntutan agar kekuasaan kehakiman berdiri2

Pendahuluansendiri, disuarakan oleh masyarakat banyak, mulai masyarakatbawah sampai masyarakat elit. Bahkan IKAHI pernah membuatmemorandum untuk itu. Demikian ketua MA RI dalampertemuannya dengan presiden telah mengajukan tuntutanyang serupa agar mengembalikan kekuasaan kehakiman sesuaidengan bunyi Pasal 24 UUD 1945, dengan mengamandemen 2Pasal 11 (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuanPokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Badan-badanyang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1)organisatoris, administratif dan finansial ada di bawahkekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan”.Secara sederhana bahwa tuntutan ini bermaksudmemisahkan sama sekali kekuasaan kehakiman (yudikatif) darisegala bentuk hubungan dengan pemerintah (eksekutif) baikyang menyangkut hubungan administrasi, kepegawaianmaupun keuangan, sehingga kekuasaan yudikatif itu benarbenar mandiri dalam artian murni. Dengan asumsi bahwahukum, dirasakan tidak dapat ditegakkan, jika selama masihada unsur-unsur kekuasaan kehakiman yang diurus olehpemerintah.Melalui proses yang tergolong tidak mudah pada tanggal31 Agustus 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-UndangNomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan PokokKekuasaan Kehakiman. Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah olehUndang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut :(1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansiilberada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.(2)Ketentuan mengenai organisasi, administratif dan finansiilsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masinglingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-2Bagir Manan. “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”. 1999. Artikel dalamJurnalDua Bulanan Mimbar Hukum. No. 43. Hal. 53

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdekaundang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilanmasing-masing.Pelaksanaan restrukturisasi lembaga peradilan tidakmungkin dapat dilakukan secara cepat, namun secara bertahap.Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 11 A UndangUndang No. 35 Tahun 1999 yang merupakan pasal sisipan antaraPasal 11 Pasal 12 yang menyatakan bahwa :(1)Pengalihan organisasi, administrasi dan finansiil sebagaimanadimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secarabertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undangini mulai berlaku.(2)Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagiperadilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1).(3)Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahapsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengankeputusan Presiden.Melalui perubahan Undang-Undang No. 14 tahun 1970tersebut, telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusanmengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisialmaupun organisasi, administrasi dan finansial berada satu atapdi bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat perubahanmendasar yang dilakukan dalam UUD 1945, khususnyamengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, makaUndang-Undang No 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubahdengan Undang-Undang No. 35 tahun 1999 perlu pula kiranyaada perubahan secara komprohensif. Berdasarkan hal inilahkemudian pada tanggal 15 Januari 2004 disahkan pula ketentuantentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang baru, yaituUndang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 2004 tentangKekuasaan Kehakiman.Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 tahun 2004menjelaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan olehsebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badanperadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi4

Pendahuluanbadan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilanagama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara”.Adapun mengenai ketentuan peralihan dimuat dalam Pasal42, yaitu bahwa :(1)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalamlingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negaraselesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.(2)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalamlingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan palinglambat tanggal 30 Juni 2004.(3)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalamlingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan palinglambat tanggal 30 Juni 2004.(4)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansialsebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) ditetapkandengan Keputusan Presiden.(5)Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4)ditetapkan paling lambat :a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimanadimaksud pada ayat (1) berakhir;b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang No. 4Tahun 2004 pada dasarnya telah sesuai dengan perubahan UUD1945, namun substantif undang-undang tersebut belummengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraankekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yangmerdeka. Sehubungan dengan hal ini, sebagai upaya untukmemperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman danmewujudkan integrated justice system, maka Undang-Undang No.4 Tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman.Mencermati ketentuan tersebut dan menghubungkannyadengan beberapa ketentuan sebelumnya, maka menarik sekalijika dikaji restrukturisasi terhadap Peradilan Agama. Sebagai5

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdekasebuah lembaga, Peradilan Agama merupakan salah satupelaksana kekuasaan kehakiman serta pengemban amanatsebagai penegak hukum bagi rakyat pencari keadilan yangberagama Islam mengenai perkara perdata tertentusebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-UndangPeradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, ternyata mendapatketentuan secara khusus.Kekhususan ketentuan yang dimaksud, diawali denganadanya ketentuan dalam Pasal 11 A Undang-Undang No. 35tahun 1999 ayat (2) bahwa “pengalihan organisasi, administrasidan finansial bagi lembaga peradilan Agama tidak ditentukansebagaimana lembaga peradilan lainnya yakni 5 tahun”.Kemudian dalam penjelasan Umum atas Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengemukakanbahwa “ Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaanbadan peradilan umum, badan peradilan agama, badanperadilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara beradadi bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarahperkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistemperadilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agamadilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat MenteriAgama dan Majelis Ulama Indonesia”. Disamping itu pula,ketentuan tentang batas waktu pengalihan organisasi,administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Agamajuga dikondisikan berbeda dengan lingkungan Peradilan Umumdan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni 30 Juni 2004.Kekhususan ketentuan tersebut memberikan gambaranbahwa masuknya Peradilan Agama dalam konsep satu atapMahkamah Agung, mencerminkan sebuah proses yang tidakmudah, jika dibandingkan dengan peradilan lainnya. Hal initentu menimbulkan berbagai pertanyaan dan tanggapan tentangapa yang melatarbelakanginya ? Pertanyaan ini sulit kiranyadijawab jika tidak dikaji latar belakang politik hukum yangmelingkarinya. Hal ini dikarenakan pula, sebagai suatu institusikeagamaan atau kemasyarakatan, Peradilan Agama tidak mudahpula kiranya dipahami tanpa mengkaitkannya denganperkembangan situasi sosial politik yang berkembang ditengah6

Pendahuluantengah masyarakat. Karena sosial politik ikut memberikanbentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institusi, halyang sama juga ikut berlaku dan berpengaruh terhadap pranatasosial lainnya.3Asumsi tersebut juga sejalan dengan tesis N.J. Coulson yangdikutip oleh Abdul Halim bahwa hukum senantiasa hidup danberkembang sejalan dengan laju perkembangan suatumasyarakat.4 Pendapat ini bisa pula dibuktikan secara sosiologis,dimana implementasi cita hukum5 dan kesadaran hukum turutdibentuk konfigurasi sosio-politik yang berkembang dalamtatanan kehidupan kemasyarakatan, tak terkecualidikembangkan oleh rezim suatu pemerintahan. Karena ituapapun tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh lingkungansosial politik yang mengitari, baik hukum itu sendiri maupunlembaga-lembaga keagamaan lainnya, seperti lembaga PeradilanAgama sebagai simbol kekuasaan hukum Islam di Indonesia.6Perjalanan sejarah Peradilan Agama di Indonesia,memperlihatkan bahwa setiap rangkaian historis secara terusmenerus ditandai dengan pergumulan antara politik dan institusiPeradilan Agama, terkadang memihak dan terkadang pulamenguntungkan. Namun secara umum, dalam rangkaianperjalanan sejarah, nasib peradilan Agama lebih lama bergerak3Abdul Halim. 2000. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia. Dari OtoriterKonservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.Hal. 1.4Ibid.5Cita hukum ialah gagasan, rasa cipta dan pikiran. Pengertian yang dipakai disinisejalan dengan pendapat Rudolf Stammer (1856-1939), seorang ahli filsafat hukumyang beraliran neo-Kantian, bahwa cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakankeharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat.Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu bagi tercapainya cita-cita masyarakat.lihat A. Hamid S. Attamimi. “Hukum Indonesia Hendaknya Tidak MeninggalkanCita Hukum dan Cita Negara”. 1994. Artikel dalam Jurnal Dua Bulanan MimbarHukum. No. 13. Hal. 2.6Zaini Ahmad Noeh. (trans). Daniel S. Lev. 1980. Peradilan Agama Islam diIndonesia.Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum. Jakarta :Intermasa. Hal. 18.7

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdekadalam surutnya daripada gelombang pasangnya. 7 Hal initerutama menyangkut pengakuan terhadap eksistensi dankemandiriannya dalam kerangka sistem dan tata hukumnasional. Sehingga dengan demikian, adanya restrukturisasiperadilan terhadap lembaga Peradilan Agama menurut hematPenulis tidak hanya sekedar upaya mensejajarkan kedudukanPeradilan Agama dengan lembaga peradilan lainnya secaraproporsional, sehingga meminimalisir diskriminasi normatifyang pernah dirasakan, tetapi juga sebagai upayamemerdekakannya dari segala campur tangan pihak kekuasaanekstra yudisial.Terlebih mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnyabeban yang harus dilaksanakan pengadilan dalam lingkunganbadan Peradilan Agama, tentunya perlu mendapatkanpembinaan dan pengawasan yang sebaik-baiknya secaraterpadu. Hal ini sangat penting karena bukan saja menyangkutaspek ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi, baikdibidang teknis yustisial maupun dibidang administrasi umum,tetapi juga menyangkut kelancaran penyelenggaraan peradilanitu sendiri.8 Akan tetapi kuatnya pergumulan antara politik yangmengiringi dan institusi Peradilan Agama, justru menempatkanlembaga Peradilan Agama pada posisi yang khusus dan dalamperkembangan selanjutnya proses restrukturisasi terasa berjalanlamban, jika dibandingkan dengan peradilan lainnya.Sebagai realisasi dari adanya restrukturisasi di tubuhPeradilan Agama, tentu saja seharusnya menuntut banyakperubahan yang terjadi, dan dalam prosesnya dapatdilaksanakan secara utuh dan konsekuen, denganmengimplementasikan prinsip-prinsip universal dari kekuasaankehakiman yang merdeka dalam segala peraturan perundangundangannya. Pada gilirannya segala peraturan perundangundangan dan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan7Abdul Halim. Op. Cit. Hal 2Taupiq Hamami. 2003. Mengenal Lebih Dekat : Kedudukan dan Eksistensi PeradilanAgama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung : Alumni. Hal. 81.88

Pendahuluanjiwa dan prinsip dari kekuasaan kehakiman yang merdekaharuslah direvisi dan diamandemen. Akan tetapi realisasi darikehendak ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan,karena lambannya proses perubahan terhadap Undang-Undangtentang Peradilan Agama. Keadaan ini bisa saja akanmenghambat kinerja dari para hakim dalam upayanyamelakukan penegakan hukum dan dapat mengganggukemerdekaan Peradilan Agama itu sendiri.Berdasarkan kerangka pemikiran itulah maka Penulismelal

perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia”. Disamping itu pula, ketentuan tentang batas waktu pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Agama

Related Documents:

Dalam mencapai keadilan, esensi dan eksistensi Peradilan Umum itu sendiri harus mampu mewujudkan kepastian hukum sebagai sesuatu nilai yang sebenarnya telah terkandung dalam peraturan hukum yang . Sedangkan Peradilan administrasi negara adalah peradilan khusus. Oleh . Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, Teori, dan .

SISTEM PERADILAN DAN UPAYA HUKUM DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN . menjelaskan beberapa konsep terkait upaya hukum dalam sistem peradilan di Indonesia . 2. Organisasi administrasi dan financial pada direktorat pembinaan peradilan agama departemen agama, pengadilan tinggi agama / Mahkamah Syariah propinsi dan .

tentang posisi peradilan pajak di dalam struktur peradilan di Indonesia. 2. METODE Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis karena dalam membahas permasalahan dengan menggunakan pendekatan yang 4 Ismail Rumadan, “Eksistensi Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan di Indonesia,” Jurnal Hukum dan

20Hamami Taufiq, Kedudukan Dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Di Indonesia, P.T.Alumni, Bandung, 2003. Hlm. 37 21Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, Hlm. 250

Perbandingan Ibnu Qayyim dan Hukum Acara Perdata. Skripsi ini membahas tentang Status saksi mengenai status non muslim sebagai saksi di Peradilan Agama studi perbandingan Ibnu Qayyim dan Hukum Acara Perdata, dengan sub permasalahan: 1) Bagaimana hakekat saksi non muslim di Peradilan Agama? 2) Bagaimana kedudukan saksi non muslim menurut

MAKNA DAN URGENSI AGAMA BAGI MANUSIA A. Mencari Makna Agama, Perspektif Ontologis . Dalam wacana pemikiran modern Barat, persoalan pendefinisian kata agama telah mengundang perdebatan dan polemik yang tidak berkesudahan, baik di bidang Ilmu Filsafat Agama, Teologi, . Problematika Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), 1

pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang – undangan, praktik . Kepolisian merupakan subsistem dalam sistem peradilan pidana yang cukup menentukan keberhasilan dan kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada .

First aiders must complete a training course approved by the Health and Safety Executive (HSE). 20 At school, the main duties of a first aider are to: give immediate help to casualties with common injuries or illnesses and those arising from specific hazards at school; when necessary, ensure that an ambulance or other professional medical help is called. PERSON? WHAT IS AN APPOINTED . 21 An .