Deliberate Inflation Pada Kebijakan Desentralisasi Fiskal .

2y ago
103 Views
26 Downloads
268.27 KB
12 Pages
Last View : 1d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Wren Viola
Transcription

JESP Vol. 1, No. 3, 2009Deliberate Inflation pada Kebijakan Desentralisasi Fiskal JawaTimur dan Dampaknya bagi Pertumbuhan DaerahJurnal Ekonomi Studi PembangunanAbstractThe implementation of local government law number 5/1974 provides centralistic governmentalmechanism, centralistic power, overlapping policy implementation, that cause high cost economic.Decentralization theory states that the higher degree of centralization will increase local economicgrowth, and local government will create and increase public sector efficiency as well. This researchwas conducted to evaluate 5 years of fiscal decentralization in East Java throughout 29 districts and 9cities in East Java with fixed effect model (FEM) analysis, especially to test the second hypothesis ofthe World Bank: "Fiscal decentralization will increase macroeconomic instability that has negativeimpact to growth." The results show that expenditure decentralization had negative significant impacton macro economic instability and the total local spending ratio to government budget had a negativesignificant impact on economic instability. It indicates that fiscal decentralization during 2002-2006from local total expenditure point of view will increase macro economic stability. Macro economicinstability has a positive significant impact on economic growth, instability of macroeconomy waspresented by inflation of GDP deflator number in this analysis has significantly positive to theeconomic growth of East Java. Specific finding of the research is the existing of positive relationshipof inflation on economic growth of East Java. This condition leads to phenomenon of deliberateinflation that was strengthened by changing subsidy policy among sectors, namely: education, health,and housing.Keywords:decentralization of expenditure, instability of macroeconomic, economic growthKebijakan desentralisasi fiskal di Indonesiaditandai dengan pergantian regim UndangUndang sebagai reaksi atas hasil dari prosespembangunan daerah yang telah berlangsung selama Orde Baru dimana regim UUNo. 5, tahun 1974 menghasilkan mekanisme pemerintahan yang sentralistik, kekuasaan yang terpusat, implementasi kebijakan yang tumpang tindih sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, digantidengan UU No. 22 dan 25, tahun 1999 yangselanjutnya direvisi menjadi UU No. 32 dan33, tahun 2004 tentang desentralisasi danperimbangan keuangan antara pemerintahPusat dan Daerah. Diharapkan dengan perubahan kebijakan berdasarkan Undang-undang tersebut terjadi pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada peme-rintah daerah, serta implementasi kebijakanyang lebih fokus dan terarah sehinggameningkatkan efektifitas dan efisiensi kinerjanya, sehingga berdampak maksimalbagi pertumbuhan daerah.Dalam melihat kaitan pertumbuhanekonomi dan kebijakan desentralisasi fiskal,perlu kiranya dipaparkan mengenai teoridesentralisasi generasi pertama (tradisional). Teori desentralisasi fiskal tradisionalmemberikan pandangan yang menunjukkan bagaimana desentralisasi fiskal bisameningkatkan fungsi sektor publik, melaluipotensi alokasi sumber daya yang lebihefektif dan efisien di sektor publik. Oates(2006) berpendapat bahwa pengeluaranuntuk infrastruktur dan sektor sosial yangmerespon perbedaan-perbedaan regionalAlamat korespondensi:Hadi Sumarsono & Sugeng Hadi Utomo, Jurusan EkonomiPembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang.E-mail: hadi sumarsono@yahoo.com

JESP Vol. 1, No. 3, 2009dan lokal mungkin akan lebih efektif dalammempertinggi pembangunan ekonomi daripada kebijakan-kebijakan sentral yang bisajadi mengabaikan perbedaan-perbedaanantar daerah tersebut. Argumen ini dapatdibenarkan sebab pemerintah kota/kabupaten mengetahui daerahnya lebih baikdaripada yang diketahui oleh pemerintahpusat. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah daerah dipercaya bisa mengalokasikandana kepada masing-masing sektor dalamekonomi secara lebih efektif dan efisiendaripada pemerintah pusat. Efektivitas danefisiensi dampak bagi pembangunan tersebut tidak hanya karena masalah preferensiyang sesuai dengan keinginan konstituen/penduduk lokal, tetapi juga dikarenakan masalah skala ekonomi dari cakupanpengadaan barang publik tersebut bagimasing-masing daerah.Bank Dunia (1997) menyebutkan bahwa antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan mempunyai kemungkinan kondisisebagai berikut: pertama, desentralisasifiskal akan meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan; kedua, desentralisasi fiskal mempunyai dampak meningkatkan instabilitas makro ekonomi sehinggaberdampak negatif terhadap pertumbuhan;ketiga, desentralisasi fiskal untuk suatudaerah bisa berdampak positif ataupunnegatif terhadap pertumbuhan ekonomi, haltersebut tergantung kesiapan kelembagaandaerah tersebut dalam menjalankan kebijakan desentralisasi fiskal.Berdasarkan pada uraian di atas, kajianini akan fokus menganalisa kondisi keduadari hipotesis bank dunia tersebut, yaitupendapat Bank Dunia bahwa Otonomi Daerah (desentralisasi fiskal) selain dapat berdampak pada pertumbuhan, disisi lain jugabisa meningkatkan instabilitas makro ekonomi. Hubungan antara ketiganya akandijelaskan melalui hubungan variabel pembelanjaan daerah, inflasi (GDP deflator),dan pertumbuhan.Hal ini berdasarkan asumsi bahwa Kebijakan Otonomi Daerah mengharuskan daerah otonom untuk menerjemahkan kebi158jakan tersebut, diantaranya, melalui penyusunan dan pemberlakuan Perda baru untukmenggali PAD, serta pemenuhan fiscal gapdengan berutang kepada fihak ketiga. Munculnya Perda baru dan kebijakan utang tersebut jika tidak dalam kondisi yang tepat(poor rules of law) akan meningkatkan instabilitas makro ekonomi lokal sehinggaberdampak negatif bagi pertumbuhan. Sebaliknya, dengan kebijakan yang good rulesof law akan meningkatkan stabilitas makroekonomi. Hal ini sekaligus untuk mengklarifikasi temuan KPPOD terhadap persepsikalangan bisnis (investor), mereka berpendapat bahwa pajak/retribusi baru daerahmerupakan hambatan sangat besar bagipengembangan usaha dan investasi karenacenderung meningkatkan biaya produksisehingga bersifat meningkatkan cost pushinflation.MASALAHBerdasarkan latar belakang di atas yangdikontekskan dengan hipotesis kedua BankDunia, maka pertanyaan yang diajukandalam penelitian ini adalah:1. Apakah desentralisasi fiskal (dalamaspek pembelanjaan) berdampak positifterhadap pertumbuhan ekonomi?2. Apakah desentralisasi fiskal berdampakpositif terhadap instabilitasmakroekonomi?3. Apakah In-stabilitas ekonomi makroberdampak negatif terhadappertumbuhan ekonomi daerah?DAMPAK DESENTRALISASI FISKALTERHADAP PERTUMBUHANBeberapa ahli melihat hubungan antaradesentralisasi fiskal dengan pertumbuhanmelalui Tiebout models sebagai centerpiece teori desentralisasi fiskal. Dalammakalahnya yang terkenal (1956), Tieboutmenyatakan bahwa individu (rumah tangga)yang mobil bebas menyeleksi komunitasberdasarkan preferensi barang publik yangdisediakan pemerintah daerah. Individudalam Tiebout sorting bebas memilih daerah tinggalnya berdasarkan kesesuaian kebutuhan dan ketersediaan barang publik

JESP Vol. 1, No. 3, 2009yang ada, utilitas maksimal akan tercapaiberdasarkan preferensi masing-masing individu. Adanya kebijakan desentralisasi fiskal, secara tidak langsung memunculkankompetisi antar daerah otonom dalammeningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dimana daerah dengan pelayanan yangbaik akan memaksimalkan utilitas masyarakat (konstituen) dengan pilihan politiknya.Berdasarkan teori Tiebout Model yangmenjadi landasan konsep desentralisasifiskal, bahwa dengan adanya pelimpahanwewenang akan meningkatkan kemampuandaerah dalam melayani kebutuhan barangpublik dengan lebih baik dan efisien. Kondisi peningkatan pelayanan barang publikini dalam kaitannya hubungan antar daerahotonom akan memberikan kondisi kompetisi persaingan antar kabupaten/kota untukmemaksimalkan kepuasan bagi masyarakat. Penyebab mendasar dari peningkatankemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih mengetahuikebutuhan dan karakter masyarakat lokal,sehingga program-program dari kebijakanpemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karenatepat guna dan berdaya guna.Dalam perkembangan selanjutnya, teoridesentralisasi fiskal menemukan fenomenabahwa dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal bisa menimbulkan kondisimeningkatnya instabilitas ekonomi makrodi daerah. Hal ini terjadi manakala dayadukung kelembagaan yang disusun untukmenjalankan kebijakan tersebut kurangmemadai. Lockwood (dalam Oates, 2008)menegaskan karakteristik ini, dalam konteks pendekatan ekonomi politik daridesentralisasi fiskal sebagai pengayaan teorigenerasi kedua, mengasumsikan bahwakebiasaan-kebiasaan dari agen-agen publikdan institusi politik sering kali terjadi tradeoff antara sebuah koordinasi antara tingkatsistem pemerintahan dalam otoritas publikdan preferensi respon daerah. Respondaerah yang berlebihan dalam pelaksanaanwewenang, seperti kebijakan utang daridaerah otonom kepada fihak ketiga yangberlebihan, cenderung memberikan dampakinflasi bagi ekonomi daerah.Desentralisasi dapat menimbulkaninstabilitas makroekonomiBerikut akan dijelaskan landasanadanya hubungan tidak langsung antaradesentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi melalui dampak tidak langsungdesentralisasi yaitu instabilitas makroekonomi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa adanya desentralisasi fiskal akan meningkatkan instabilitas makroekonomi daerah.Secara umum, perubahan kewenangansebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuanpemerintah pusat melakukan kebijakan dankoordinasi ekonomi makro. Untuk negarasedang berkembang, kebijakan desentralisasi cenderung akan memperbesar masalahdi bidang makroekonomi. Berkurangnyakewenangan pemerintah pusat pada sejumlah pengendalian anggaran belanja akanbanyak mengurangi ruang geraknya untukmengadakan pelayanan dan koordinasi aspek ekonomi publik secara langsung, sehingga pengendalian variabel ekonomi makrodi tingkat sub-nasional cenderung menurun.Di sisi lain adanya pelimpahan wewenangdan orientasi pemerintah daerah terhadapkepentingan lokal mengakibatkan pola hubungan antara daerah dan pusat kurang kooperatif (Tanzi, 1995).Dalam negara yang terdesentralisasi,pemerintah pusat bertanggung jawab secaraeksklusif terhadap kebijakan fiskal. Didalam negara yang terdesentralisasi, kebijakan fiskal menjadi tanggung jawab yangdibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Beberapa peneliti KPPOD(2004) mempunyai argumentasi, bahwa keuangan pemerintahan daerah lebih sukauntuk memperhatikan tujuan-tujuan daerahdalam pemanfaatan sumber dayanya, misalnya untuk meningkatkan pendapatan aslidaerah (PAD) cenderung melakukan ekstensifikasi retribusi dan pajak daerah. Tanzi(1995) juga memperhatikan adanya kebijak159

JESP Vol. 1, No. 3, 2009an defisit anggaran dan melakukan kebijakan utang sebagai penyebab adanya pemicuinstabilitas makro ekonomi daerah. Adanyakebebasan peminjaman oleh daerah otonom, memungkinkan pemerintah daerahmemiliki kelebihan utang yang melampauikapasitas pengembalian kewajibannya. Kedua hal tersebut bisa meningkatkan inflasisehingga akan mengakibatkan bertambahnya instabilitas makroekonomi.Di banyak negara, termasuk Rusia danChina, keberadaan soft-budget loans tetapmerupakan ancaman bagi stabilitas makroekonomi. Pada kasus-kasus tersebut, desentralisasi fiskal mengakibatkan pertumbuhanekonomi yang lebih kecil, sehingga inidapat menjadi bukti bahwa instabilitasmakroekonomi memperlambat pertumbuhan ekonomi (Fischer, 1993).Bukti empiris yang mengambarkan hubungan antara desentralisasi fiskal danstabilitas makroekonomi masih jarang dantidak menyediakan kesimpulan yang pastiatas arah dan signifikansi hubungan. Fornasari, Webb, dan Zou (dalam Vasquez, 2001)melihat keberadaan korespondensi satu-satuantara kenaikan defisit pemerintah daerahdengan pengeluaran pemerintah, dan defisitpada periode berikutnya. Temuan ini nampaknya menyatakan secara tidak langsungbahwa jalur transmisi pada sistem desentralisasi bisa menyebabkan permasalahanstabilitas makroekonomi jika pembiayaandefisit lebih tinggi.Desentralisasi ekonomi berdampak positif terhadap output riil pasca reformasi diChina, sebaliknya desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap stabilitas hargaatau inflasi. Desentralisasi fiskal mempengaruhi inflasi di China melalui kewenangan penciptaan pendapatan oleh daerah(Felterstein & Iwata, 2005). Desentralisasisering tidak mengikutsertakan seignoragedan utang luar negeri dalam cakupan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah,sehingga jalur instabilitas yang mungkinterjadi di daerah akibat desentralisasi fiskaladalah dengan kenaikan inflasi dari aspekbiaya (cost push inflation) yang munculdari kebijakan pemerintah daerah dalam hal160penciptaan pendapatan melalui pajak danretribusi.Terkait kewenangan pusat dan daerahtentang tanggung jawab stabilitas makroekonomi Musgrave (1983) dan Oates(1972) mengemukakan pendapat bahwastabilitas makroekonomi menjadi tanggungjawab pusat sepenuhnya dan tidak bisadibagi dengan pemerintah daerah. Pendapatyang berbeda dikemukakan oleh Gramlich(1993), Spahn (1997), dan Shah (1999)bahwa ada ketidaksesuaian asumsi distribusi asimetris pada simpulan tanggung jawabpusat terhadap stabilitasi makroekonomi.Kenyataannya, kejutan makroekonomi sering tidak berdistribusi merata (asimetris),sehingga pada posisi ini pemerintah daerahcukup berperan dalam proses pengendalianinstabilisasi makroekonomi (inflasi).ANALISIS DAMPAKDalam kaitan dampak antar variabeldesentralisasi fiskal, instabilitas makroekonomi dan pertumbuhan, dikembangkan persamaan (1) dan persamaan (2) untuk melihat dampak langsung dan dampak tidaklangsung ke pertumbuhan. Hubungan dampak langsung terjadi melalui pemodelanpersamaan (1), sedangkan dampak tidaklangsung dari desentralisasi fiskal melaluipersamaan (2), yaitu variabel instabilitasmakroekonomi. Hubungan tidak langsungterjadi jika terdapat variabel ketiga yangmemediasi hubungan kedua variabel ini.Koefisien jalur dihitung dengan membuatpersamaan struktural yang menunjukkanhubungan yang menjadi hipotesis. Dalamhal ini ada 2 persamaan berikut:PEt ε ζ1DFi ISM e . (1)ISM ε ζ1DFi e . (2)HASIL ANALISISDampak LangsungBerdasarkan hasil regresi pengaruhdesentralisasi pembelanjaan (df1) yang direpresentasikan oleh rasio belanja total daerah terhadap total belanja pusat, dan variabel instabilitas makroekonomi (ism), ber-

JESP Vol. 1, No. 3, 2009pengaruh positif-signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur.Tabel 1.Dampak Desentralisasi Aspek Pembelanjaan danInflasi terhadap Pertumbuhan justed RsquaredS.E. ofregressionF-statisticProb (Fstatistic)CoefficientStd.Error1.616060 0.3315394.677693 000.979551 Mean dependent var0.973886 S.D. dependent var9.3084495.3885690.870779 Sum squared resid112.22182363.193 Durbin-Watson stat0.0000002.903071Sumber: data diolah (2008).Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai kritis t tabel untuk α 5%, dengandegree of freedom (n-k) 183 pada uji duasisi masing-masing sebesar 4.874414 untukvariabel desentralisasi pembelanjaan dengan signifikansi 5%, serta variabel instabilitas makroekonomi (sm) bernilai 22.42821 dengan signifikansi 5%, sehinggadapat disimpulkan berpengaruh signifikanterhadap pertumbuhan ekonomi (pe).Koefisien instabilitas makroekonomi(ism) sebesar 4.677693 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 unit GDP Deflatorakan menaikkan pertumbuhan ekonomisebesar 4.677693 unit pertumbuhan ekonomi (pe). Koefisien desentralisasi fiskalsektor sisi pengeluaran (df1) sebesar 1.616060 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1unit desentralisasi fiskal sektor sisi pengeluaran (df1) akan menaikkan pertumbuhanekonomi sebesar 1.616060 unit pertumbuhan ekonomi (pe). Nilai koefisien determinasi sebesar 0.979551, artinya, variasipertumbuhan ekonomi (pe) dijelaskan olehmodel oleh model sebesar 97,9551% dansisanya dijelaskan oleh variabel lain diluarmodel.Dampak Desentralisasi Fiskal TerhadapPertumbuhan EkonomiRasio belanja total daerah terhadaptotal belanja pusat (df1) berpengaruh positifsignifikan terhadap pertumbuhan. Hal inibisa dipahami karena komponen dari df1 iniyang lebih mencerminkan APBD secaralebih menyeluruh, serta aspek pembelanjaan yang berhubungan dengan tingkatdinamika pembangunan di daerah. Artinyabesarnya pembelanjaan tersebut mencerminkan besarnya APBD daerah secara keseluruhan dan anggaran yang disusun bisamenjelaskan apakah komponen-komponenkegiatan yang disusun langsung berhubungan dengan aspek-aspek pertumbuhandi daerah atau tidak.Faisal (2002) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia untuk rentang waktu1992-1999 menyimpulkan bahwa variabledesentralisasi fiskal dari sisi pembelanjaanyang diukur dengan rasio belanja pemerintah daerah terhadap belanja pemerintahpusat berdampak negatif-signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Davoodi & Zou(1998) menyatakan dampak desentralisasifiskal yang berbeda antara Negara sedangberkembang dan Negara maju, dimana padaNegara maju desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi,sedangkan pada Negara sedang berkembangdesentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.Hal senada juga ditemukan oleh Zhang& Zou (1998) dalam penelitiannya terkaitdampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina. Mereka menemukan fakta empiris bahwa desentralisasifiskal di China pada rentang tahun 19791990 berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, analisis menggunakan data terkini yang dipakai oleh Felterstein & Iwata (2005) dan Iimi (2004) menunjukkan bahwa desentralisasi berdampakpositif di China pasca reformasi menunjukkan relasi positif terhadap pertumbuhanekonomi.Berdasarkan uraian tersebut berartibahwa perubahan kebijakan desentraliasifiskal di Jawa Timur sudah berada padaarah yang benar, yaitu bila dilihat dari sisipembelanjaan, dampak positif tersebut menunjukkan adanya efektifitas penganggaran.Hal itu mengindikasikan pembelanjaan161

JESP Vol. 1, No. 3, 2009yang dilakukan pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur cenderung merupakan proyek-proyek pembangunan yang se-cara efektif mampu menggerakkan ekonomi lokal sehingga meningkatkan PDRBdaerah yang bersangkutan.Gambar 1.Rata-Rata Belanja Total Kabupaten/Kota di Jawa Timur 4301,650.9320032002Belanja Total252,208.33Sumber : APBD Kabupaten/Kota Jawa Timur 2002-2006 (diolah)Tabel 2.APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota di Jawa Timur Serta Perananannya Terhadap PDRB Jawa Timur,Tahun 2002-2006Keterangan2002200320041. Laju Pertumbuhan PDRB3,804,785,83ADHK (%)2. PDRB ADHB (Juta267.157.7300.609.8341.065.2Rupiah)1758513. APBD Propinsi Jawa3.534.7393.976.3993.963.715Timur (Juta Rupiah)4. Peranan APBD Propinsi1,321,321,16Terhadap PDRB JatimADBH (%)5. APBD Kab/Kota (Juta13.257.7414.873.2214.132.16Rupiah)0406. Peranan APBD (Propinsi4,964,954,14 Kabupaten/Kota)Propinsi terhadap PDRBJatim ADBH (%)Sumber: BPS, Biro Keuangan Pemprop JatimKeterangan *) angka sementara, **) tidak termasuk Kabupaten SampangKondisi kenaikan belanja daerah danmenurunnya peranan APBD terhadap PDRB mengindikasikan bahwa belanja daerahtersebut mempunyai daya ungkit yang baikbagi pertumbuhan perekonomian. Hal iniditunjukkan adanya pertumbuhan ekonomiyang lebih cepat dari pada penambahanbelanja daerah tiap tahunnya. PDRB perkapita Jawa timur dari tahun ke tahunmeningkat terus. Namun demikian padatahun 2006, peningkatan lebih lambatdibandingkan tahun 2005. Pada tahun 4,31PDRB per kapita jawa timur adalah sebesarRp7.43 juta dan kemudian meningkat menjadi Rp8.30 juta pada tahun 2003. Padatahun 2004 dan 2005 PDRB per kapitakembali mengalami kenaikan berturut-turutmenjadi sebes

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia . sitif terhadap output riil pasca reformasi di China, sebaliknya desentralisasi fiskal ber-dampak negatif terhadap stabilitas harga atau inflasi. Desentralisasi fiskal

Related Documents:

konsep dasar tentang desentralisasi, apakah otonomi daerah, tujuan desentralisasi dan otonomi daerah. 2) Praktek desentralisasi dari prespektif perbandingan di berbagai negara dengan sistem pemerintahan. 3) Dimensi dalam desentralisasi dan otonomi daerah. 4) kelebihan dan kelemahan dalam system desentralisasi,

Daftar Isi ix Bab VEvaluasi Kebijakan Pendidikan 101 A. Konsepsi Evaluasi Kebijakan Pendidikan — 101 B. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Kebijakan Pendidikan — 104 C. P ermasalahan dalam Evaluasi Kebijakan Pendidikan — 106 D. Manfaat Evaluasi Kebijakan Pendidikan — 108 E. Monitoring Evaluasi Kebijakan Pendidikan — 109 F. Kriteria Evaluasi Program Kebijakan Pendidikan — 111

C. Analisis Kebijakan Kesehatan 12 D. Sistem Nasional Kesehatan Indonesia 16. BAB 2 METODE ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN 19. A.engertian Metode Analisis Kebijakan Kesehatan P 19 B. Metode Analisis Kebijakan Kesehatan 21 C. Pengaruh . Stakeholder. Terhadap Kebijakan . esehatan K 24 D.roses Analisis Kebijakan Kesehatan P 26

Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Efisiensi Sektor Publik dan Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur . pengeluaran dalam output ekonomi barang dan jasa. Dari kedua sudut pandang ini, G- . Dampak kebijakan d

Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi 1 . tahun 1995 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya . Kesenj

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS): Konsep Dasar dan Implementasinya pada Satuan Pendidikan 81 Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Ilmiah Vol. 4 No. 2 (Desember) 2019 Istilah Desentralisasi secara etimologi berasal dari bahasa latin, de yang berarti lepas dan contium yang berarti pusat. Oleh karena itu Desentralisasi diartikan melepaskan diri dari pusat.7 Dari definisi tentang Desentralisasi .

dan tidak mendatangkan sebarang kesan yang negatif, terutamanya kepada organisasi pentadbir dan pihak-pihak yang terlibat. Dalam konteks pentadbiran awam di Malaysia, pemerintah mengguna pakai konsep desentralisasi dan delegasi kuasa dalam membuat keputusan awam. Ini kerana desentralisasi dan delegasi kuasa memberi

Artificial Intelligence softwares are improving the speed and efficiency of the media production process and the ability to organize visual assets. Many gaming platforms are also adopting new technologies to bring more interactive gaming experience. Sports show maximum affinity towards using Artificial Intelligence for game preparation and real-time analysis of the on-field action. Banking and .