A. Pengertian Hadis

3y ago
26 Views
2 Downloads
625.48 KB
35 Pages
Last View : 10d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Evelyn Loftin
Transcription

18BAB IIHADIS DAN PEMIMPINA. Pengertian Hadis“Hadis” atau al-hadi ts menurut bahasa, berarti al-jadi d (sesuatu yangbaru), lawan kata dari al-qadi m. Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitusesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.Bentuk pluralnya adalah al-aha d its.1Hadis sebagaimana tinjauan Abdul Baqa’ adalah isim dari tahdi th yangberarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan ataupenetapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Barangkali al-Farra’ telahmemahami arti ini ketika berpendapat bahwa mufrad kata aha dits adalah uhdu tsah(buah pembicaraan). Lalu kata aha d ith itu dijadikan jama’ dari kata hadi th.2Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadislalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qadi m (lama), denganmemaksudkan qadi m sebagai kitab Allah, sedangkan “yang baru” ialah apa yangdisandarkan kepada Nabi SAW. Dalam Sharah al-Bukha ri , Syeikh Islam IbnuHajar berkata, bahwa dimaksud dengan hadi ts menurut pengertian shara’ adalahapa yang disandarkan kepada Nabi SAW, dan hal itu seakan-akan dimaksudkansebagai bandingan Alquran yang qadi m.31Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: al-Muna, 2010), 1.Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), 21.3Ibid., 22.218

19Adapun secara terminologis, menurut ulama hadis sendiri ada beberapaperbedaan definisi yang agak berbeda diantara mereka. Perbedaan tersebut ialahtentang hal ihwal atau sifat Rasul sebagai hadis dan ada yang mengatakan bukanhadis. Ada yang menyebutkan taqri r Rasul secara eksplisit sebagai bagian daribentuk-bentuk hadis dan ada yang memasukkannya secara implisit ke dalamaqwa l atau af’a l-nya.4Ulama ushul memberikan definisi yang terbatas, yaitu “Segala perkataanNabi SAW yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum shara’.” Daripengertian di atas bahwa segala perkataan atau aqwa l Nabi, yang tidak adarelevansinya dengan hukum atau tidak mengandung misi kerasulannya, sepertitentang cara berpakaian, berbicara, tidur, makan, minum, atau segala yangmenyangkut hal ihwal Nabi, tidak termasuk hadis.5Ulama Ahli Hadis memberidefinisi yang saling berbeda. Perbedaan tersebut mengakibatkan dua macam ta’ri fhadis. Pertama, ta’ri f hadis yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhu ral-muhaddisi n, “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baikberupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqri r) dan yang sebagainya.”6Ta’ri f ini mengandung empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan,pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad SAW yanglain, yang semuanya hanya disandarkan kepadanya saja, tidak termasuk hal-halyang disandarkan kepada sahabat dan ta b i’i .74Arifin, Studi Kitab., 3.Ibid.6Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthala h al- Hadi s (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), 20.7Ibid.5

20Kedua, pengertian yang luas, sebagaimana dikemukakan oleh sebagianmuhaddisi n , tidak hanya mencakup sesuatu yang di-marfu ’-kan kepada NabiSAW saja, tetapi juga perkatan, perbuatan, dan taqri r yang disandarkan kepadasahabat dan ta bi’i pun disebut hadis. Pemberian terhadap hal-hal tersebut yangdisandarkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut berita yang marfu ’, yangdisandarkan kepada sahabat disebut berita mauqu f dan yang disandarkan kepadata b i’i disebut maqthu ’. Sebagaimana dikatakan oleh Mahfu dh, “Sesungguhnyahadis itu bukan hanya yang di-marfu ’-kan kepada Nabi SAW saja, melainkandapat pula disebutkan pada apa yang mauqu f dan maqthu ’.8 Begitu juga dikatakanoleh al-Tirmisi .Dari beberapa pengertian di atas, baik dari ulama ushul maupun dari ulamahadis, dapat ditarik benang merah bahwa hadis adalah sesuatu yang disandarkanpada Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabiin yang dapat dijadikan hukumsyara’. Maka pemikir kontemporer membagi hadis menjadi dua, yaitu hadistasyri ’ dan hadis ghair tasyri ’.B. Metode Kritik Hadis1. Keshahihan Sanad dan Matan hadisa. Keshahihan Sanad HadisSanad atau t{ariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matan hadissampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad juga dapat digunakan sebagaiinstrumen untuk menetapkan nilai suatu hadis. Suatu hadis dinilai s{ah{ih{ apabila8Ibid., 27.

21hadis tersebut dinukil dari rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnyabersambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. 91. Perawi yang adilMenurut Ibnu Sam’amy perawi yang adil harus memenuhi empat syaratyakni:a) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.b) Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.c) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan imankepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.d) Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentagan dengandasar syara’.2. Sempurna ingatannyaOrang yang sempurna ingatannya disebut d{abit{ yaitu orag yang kuatingatannya, artinya ingatnya lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannyalebih banyak daripada kesalahannya. M. Syuhudi Ismail menetapkan kaidahkaidah lain bagi perawi yang d{abit{{yakni hafal dengan baik hadis yangdiriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafal kepadaorang lain dan terhindar dari shadz.103. Sanad bersambungYang dimaksud adalah sanad yang selamat dari keguguran yakni tiap-tiaprawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari sumbernya. Untuk syaratini ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bersambungnya sanad9Ibid., 117.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang,1998), 129.10

22adalah apabila antara periwayat satu dengan periwayat berikutnya betul-betulmelakukan serah terima hadis. Periwayatan ini dapat dilihat dari cara serah terimatersebut misalnya dengan redaksi ﺣﺪﺛﻨﻲ atau ﺳﻤﻌﺖ atau اﺧﺒﺮﻧﺎ , tidak cukup hanyadengan ﻋﻦ . Kata ﻋﻦ tidak menjamin bahwa proses pemindahan itu terjadi secaralangsung, belum tentu masing-masing periwayat yang disebut di dalam sanadbenar-benar bertemu. Tetapi ada juga ulama yang berpendapat bahwa periwayatanhadis dengan ﻋﻦ dapat dinilai bersambung sanadnya apabila antara guru danmurid dalam periwayatan tersebut hidup semasa.11Maka hadis yag dinilaisanadnya oleh seorang ulama belum tentu dinilai demikian juga oleh ulama yanglain.4. ‘Illat hadis‘Illat hadis adalah penyakit yang samar-samar yang dapat menodaikeshahihan suatu hadis. ‘Illat hadis yang terdapat dalam matan misalnya adanyasuatu sisipan dalam matan hadis. Selain itu ‘illat hadis dapat terjadi pada sanadyang tampak d{abit{ dan marfu ’ ternyata muttas{il tetapi mauquf, dapat pula terjadipada sanad yang muttas{il dan marfu’ ternyata muttas{il tetapi mursal (hanyasamapai ke al-tabi’iy) atau terjadi karena percampuran hadis dengan bagian hadislain juga terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena ada lebih dari seorangperiwayat yang memiliki kemiripan nama padahal kualitasnya tidak sama thiqah.1211Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: PT TiaraWacana, 2003), 90.12Syuhudi, Kaedah Kesahehan , 132.

235. Kejanggalan hadis (shadz)Kejanggalan suatu hadis dapat terjadi karena adanya perlawanan hadisyang diriwayatkan oleh rawi yang maqbu l dengan hadis yang diriwayatkan olehrawi yang lebih rajih darinya disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad ataukelebihan ke-d{abit{-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.Menurut al Hakim al Naisabury, hadis shadz ialah hadis yangdiriwayatkan oleh seorang periwayat yang thiqah tetapi tidak ada periwayatthiqah lainnya yang meriwayatkan.13Kejanggalan hadis ini dapat diketahui dari dua syarat sebelumnya yaknisanad bersambung dan perawi yang d{abit{ (kuat ingatannya).b. Keshahihan Matan HadisSecara garis besar, ada dua unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matanyang berkualitas sahih, yaitu terhindar dari shudzu dz (kejanggalan) dan terhindardari ‘illat (cacat).14 Itu berarti bahwa untuk meneliti matan, maka kedua unsurtersebut harus menjadi acuan utama.Dalam melaksanakan penelitian matan, ulama hadis biasanya tidak secaraketat menempuh langkah-langkah dengan membagi kegiatan penelitian menurutunsur-unsur kaedah kesahihan matan. Maksudnya, ulama tidak menekankanbahwa langkah pertama harus lah meneliti shudzu dz dan langkah berikutnyameneliti ‘illat atau sebaliknya. Bahkan dalam menjelaskan macam-macam matanyang d{a’i f, ulama hadis tidak mengelompokkannya kepada dua unsur utama darikaedah kesahihan matan itu. Hal itu dapat dimengerti karena persoalan yang13Ibid., 123.Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW: AntaraPemahaman Tekstual dan Kontekstual , ter. Muhammad al-Baqir, (Bandung, Mizan, 1996), 26.14

24perlu diteliti pada berbagai matan memang tidak selalu sama. Jadi penggunaanbutir-butir tolok ukur sebagai pendekatan penelitian matan disesuaikan denganmasalah yang terdapat pada matan yang bersangkutan.15Adapun tolok ukur penelitian matan yang dikemukakan oleh ulama tidakseragam. Menurut al-Kha tib al-Baghda d i (w. 463 H/ 1072 M), sebagaimana yangdikutip oleh Syuhudi Ismail, suatu matan hadis barulah dinyatakan sebagaimaqbu l (diterima karena berkualitas sahih), apabila:1) tidak bertentangan dengan akal sehat;2) tidak bertentangan dengan hukum Alquran yang telah muh{kam (yangdimaksud dengan istilah muh{kam dalam hal ini ialah ketentuan hukum yangtelah tetap; ulama ada yang memasukkan ayat yang muh{k am ke dalam salahsatu pengertian qat’i al-dala lah );3) tidak bertentangan dengan hadis muta watir;4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulamamasa lalu (ulama salaf);5) tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; dan6) tidak bertentangan dengan hadis ah{ad yang kualitas kesahihannya lebihkuat.16Dalam masalah tolok ukur untuk meneliti hadis palsu, Ibnu al-Jauzi (w.597 H/ 1210 M) mengemukakan statemen yang cukup singkat, “Setiap hadis yang15Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),16Ibid., 126.124.

25bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama,maka ketahuilah bahwa hadis tersebuh adalah hadis palsu.”17Ulama hadis memiliki tradisi dalam menguji keabsahan sebuah matanhadis, antara lain: tidak bertentangan dengan Alquran; tidak bertentangan denganhadis lain dan sirah nabawiyah yang sahih; tidak bertentangan dengan akal, indradan sejarah; dan kritik terhadap hadis yang tidak menyerupai sabda Nabi.18Muhammad al-Gha zal melakukan pengujian untuk sebuah hadis bisa diterimaapabila tidak bertentangan dengan Alquran, hadis lain yang lebih sahih, faktahistoris, dan kebenaran ilmiah. Begitu juga klasifikasi yang disebutkan olehHasjim Abbas, mengenai tradisi muhadditsi n untuk menentukan kesahihan matansebuah hadis, yaitu antara lain: pengujian dengan Alquran; sesama hadis sahihatau dengan sirah nabawiyah; pendapat akal; fakta sejarah; pengetahuan empirik;dan dengan pengetahuan sosial.19 Selain itu, Muh Zuhri lebih sederhana dalammenguji keabsahan sebuah matan hadis dengan hanya menghadapkan hadisdengan Alquran, hadis lain dan ilmu pengetahuan.Dengan demikian dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa walaupununsur-unsur pokok kaedah kesahihan matan hadis hanya ada dua macam saja,yaitu sya dz dan ‘illat, tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanyapendekatan dengan tolok ukur teori keilmuan yang cukup banyak sesuai dengankeadaan matan yang diteliti.17Ibid., 126-127.Salahudin al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2004), 210-280.19Abbas, Kritik Matan ,85-124.18

262. Jarh wa ta’di lTarjih{ atau jarh menurut bahasa berarti melukai tubuh ataupun yang laindengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dan sebagainya. Jarh menurutistilah bisa didefinisikan menyebut sesuatu yang mengakibatkan tercelalah siperawi (menampakkan keaiban yang menolak riwayatnya).Ada dua kaidah jarh dan ta’di l: pertama, bersandar kepada cara-caraperiwayatan hadis, shah periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaankepada mereka. Ini disebut juga naqdun kharijiyu n yakni kritik yang dating dariluar hadis. Kedua, berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atautidak dan jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya. Kaidah keduaini disebut naqdun dakhiliyu n yaitu kritik dari dalam hadis. 20Jarh terbagi menjadi :1) Jarh yang tidak beralasan.Ketika seorang ulama menjarh seorang rawi seharusnya disebutkanalasan tercelanya seorang rawi tersebut namun adakalanya seorang ulamatidak mengemukakan alasan penjarhan itu. Tentu ulama tersebut memilikialasan tersendiri atas tindakan penjarhannya tapi belum tentu menjadialasan bagi orang lain. Banyak yang menjarh rawi tetapi sebenarnya itutidak dapat dikategorikan sebagai jarh, maka untuk kasus demikian kitatidak bisa menerimanya sebagai jarh atas seorang rawi. Contoh modeljarh ini: Bakr bin ‘Amr Abu-Shiddiq an-Naji’: kata Ibnu Hajar: “Ibnu Sa’dmembicarakan20Ibid., 327.Bakrdengantidakberalasan”.Contohlain

27seperti:’Abdurrahman bin yazid bin Jabir al-Azdi:berkata Ibnu Hajar:”Iadilemahkan oleh al-Fallas dengan tidak berketerangan”.2) Jarh yang tidak diterangkan apa yang menyebabkan seorang perawitercela.Seorang ulama yang menyebutkan bahwa seorang perawi lemah,tidak kuat dan sebutan lain yang semisal ini tanpa disertai penjelasan ataspenyebutan sifat itu, maka digolongkan jarh kedua ini. Jarh ini juga tidakbisa diterima. Contohnya: ‘Abdul Malik bin Shubbah al Misma’i alBashri: ada orang yang meriwayatkan bahwa al Khalili pernah berkata:“Adalah ‘Abdul Malik tertuduh “mencuri” hadis.” Ibnu Hajar menyatakanbahwa ini adalah jarh yang tidak terang karena al Khalili tidakmenunjukkan jalan tuduhannya.213) Jarh yang disebut sebabnya.Di antara sifat yang ditetapkan untuk menjarh rawi seperti dusta,salah, lupa, bodoh, menyalahi dan sifat-sifat lain yang menunjukkanketercelaan perawi.a. Kaidah jarh wa ta’di lAdanya perbedaan pendapat di antara ulama dalam menilai seorang perawimendorong perlunya ditetapkan kaidah-kaidah atas jarh wa ta’di l ini. Hal lainyang menjadi alasannya ialah adanya ketidak konsistenan seorang ulama dalammemberikan penilaian terhadap seorang rawi. Misalnya di satu tempat ia menjarhnamun di tempat lain ia men ta’di l seorang rawa yang sama. Kaidah-kaidahtersebut dapat diliha dalam rincian di bawah ini :21Ibid., 449.

281. Penilaian ta’dil didahulukan atas jarhTa’di l didahulukan karena sifat ini merupakan sifat dasar yang dimilikioleh para perawi, sedangkan sifat tercela adalah sifat yang muncul di belakang. 22Alasan lain adalah penjarh kurang tepat dalam pendapatnya karena sebab yangdiajukan untuk menjarh bukanlah sebab yang dapat mencacatkan perawi terlebihdipengaruhi rasa benci. Seorang ulama juga tidak akan sembarangan dalam menta’di l jika tidak ada alasan yang tepat dan logis.23 Kaidah ini tidak diterima olehsebagian ahli hadis karena dianggap bahwa orang yang menta’di l hanyamengetahui sifat terpuji perawi dan tidak mengetahui sifat tercelanya.2. Penilaian jarh didahulukan atas penilaian ta’di lKritikus yang menjarh lebih mengetahui keadaan pribadi periwayat yangdicelanya. Hal ini juga bisa digunakan untuk mengalahkan pendapat ulama lainyang menta’di l perawi meskipun jumlahnya lebih banyak. 24 Penjarh tentumemiliki kelebihan ilmu yang tidak dimiliki oleh mu’addi l karena dapatmemberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh mu’addi l.25 Inilahpendapat yang disepakati oleh jumhur ulama.3. Apabila terjadi pertetangan atara jarh dan ta’di lPertentangan ini bisa memunculkan beberapa tindakan. Pertama,diunggulkan ta’di l selama tidak didapati alasan jarh atau jika jumlah mu’addi llebih banyak. Kedua, didiamkan sampai ditemukan yang lebih kuat antara jarh22Suryadi, Metodologi Ilmu Rija l al- Hadith, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,2003), 40.23Fatchur Rahman, Ikhtisar , 313.Suryadi, Metodologi , 41.25Fatchur Rahman, Ikhtisar , 313.24

29dan ta’di l.26 Jadi dilihat antara jarh dan ta’di l yang memiliki bukti-bukti yanglebih kuat maka yang harus didahulukan.4. Penjarh d{aif mencela perawi thiqah.Menurut jumhur ulama hadis, apabila yang penjarh adalah orang thiqahterhadap perawi yang juga thiqah, maka jarh dari orang yang d{a’if tidak diterima.275.al Jarh tidak diterima sampai ditetapkan adanya kekhawatiran terjadinyakesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.Apabila periwayat memiliki kesamaan atau kemiripan dengan namaperiwayat lain, lalu salah satu dari periwayat itu dijarh. Maka jarh tersebut tidakditerima sampai dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibatadanya kesamaan atau kemiripan nama.6. Jarh tidak perlu dihiraukan.Hal ini terjadi pada kondisi: apabila penjarh adalah orang yang lemah,maka pendapatnya tidak diterima atas penilai yang thiqah, perawi yang dijarhmasih samar misalnya kemiripan nama, kecuali setelah ada keteragan yang jelasdan apabila penilaian jarh didasari permusuhan duniawi.b. Tingkatan jarh wa ta’di lBerikut tingkatan-tingkatan ta’dil :1. Ta’di l dengan menggunakan ungkapan yang megandung pujian mengenaikeadilan perawi, seperti: ( اوﺛﻖ اﻟﻨﺎس orang yang paling thiqah), اﺛﺒﺖ اﻟﻨﺎ س ﺣﻔﻈﺎ 26Ibid.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian., 79.27

30 (وﻋﺪا ﻟﺔ orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya) dan اﺻﺒﻂ اﻟﻨﺎس ( وﻟﯿﺲ ﻟﮫ ﻧﻈﯿﺮ dia adalah orang yang paling kuat dan tiada bandingannya).2. Ta’dil dengan mengulang kata pujian baik kata yang diulang itu selafadhmaupun semakna, misalnya: ( ﺛﺒﺖ ﺛﺒﺖ orang yang tsiqah lagi tsiqah), ﺛﺒﺖ ﺛﻘﺔ (orang yang teguh lagi thiqah) dan (ﺿﺎ ﺑﻂ ﻣﺘﻘﻦ orang yang kuat ingatannya lagimeyakinkan ilmunya).3. Ta’di l dengan menunjuk keadilan namun yang dimaksud adalah kuat ingatan,di antaranya menggunakan ( ﺛﺒﺖ orang yang teguh hati dan lidahnya), ﺣﺎ (ﻓﻆ orang yang ha fiz{ yakni kuat hafalannya) dan ( ﺛﻘﺔ orang yang thiqah).4. Ta’di l yang menunjukkan kebaikan seseorang tetapi tidak mengandung artikuat ingatan dan adil (thiqah), kata-kata ini misalnya : ( ﺻﺪوق orang yangsangat jujur), ( ﻣﺎ ﻣﻮن orang yang dapat memegang amanat) dan ( ﻻ ﺑﺄ س ﺑﮫ orangyang tidak cacat).5. Ta’di l yang menunjuk kejujuran rawi tetapi tidak menggambarkanked{abith an, seperti: ( ﺟﯿﺪ اﻟﺤﺪﯾﺚ orang yang baik hadisnya), (اﻟﺼﺪق ﻣﺤﻠﮫ orangyang berstatus jujur) dan ( ﺣﺴﻦ اﻟﺤﺪﯾﺚ orang yang bagus hadisnya).6. Ta’di l yang menunjuk sifat yang mendekati kepada cacat, di antaranya : ﺻﺪو ق ( ان ﺷﺎء ﷲ orang yang jujur, insya Allah), (ﻓﻼ ن ﺻﻮ ﯾﻠﺢ orang yang sedikitkesalehannya) dan ( ﻓﻼ ن ﻣﻘﺒﻮ ل ﺣﺪﯾﺚ orang yang diterima hadisnya). 28Tingkatan Jarh diuraikan sebagai berikut:1. Jarh yang meyebutkan ungkapan yang sangat buruk dan sangat memberatkankepada orang yang dicacat karena kedustannya, digunakan lafadh-lafadh28Fatchurrahman, Ikhtisar , 313-316.

31seperti : (او ﺿﻊ اﻟﻨﺎس orang yang paling dusta), ( اﻛﺬ ب اﻟﻨﺎ س orang yang palingbohong) dan (اﻟﯿﮫ اﻟﻤﻨﺘﻖ ﻓﻰ اﻟﻮﺿﻊ orang yang paling top kebohongannya).2. Jarh yang menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadhberbentuk sighat muballaghah, misalnya: (ﻛﺬاب orang yang pembohong) دﺟﺎل (orang yang penipu) dan ( وﺿﺎع orang yang pendusta).3. Jarh yang menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya,misalnya: (ﻓﻼن ﺳﺎﻗﺖ orang yang gugur), (ﻓﻼن ﻣﺘﺮوك اﻟﺤﺪﯾﺲ orang yangditinggalkan hadisnya) dan ﻓﻼ ن ﻣﺘﮭﻢ ﺑﺎ ﻟﻜﺬ ب (orang yang dituduh bohong).Jarh yang menunjuk kepada hal yang berkesan ingatan lemahnya, seperti ﻓﻼ ن (ﺿﻌﯿﻒ orang yang lemah) ( ﻓﻼن ﻣﺮدود اﻟﺤﺪﯾﺚ orang yang ditolak hadisnya) dan (ﻣﻄﺮح اﻟﺤﺪﯾﺚ orang yang dilempar hadisnya).4. Jarh yang menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenaihafalannya, digunakan istilah-istilah : (ﻓﻼ ن ﻣﺠﮭﻮ ل orang yang tidak dikenaliidentitasnya), ( ﻓﻼ ن ﻻ ﯾﺤﺘﺞ ﺑﮫ orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya)dan ( ﻓﻼ ن ﻣﻨﻜﺮ اﻟﺤﺪﯾﺚ orang yang munkar hadisnya).5. Jarh yang menyifati rawi-rawi dengan sifat yang menunjuk kelemahannyatetapi sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya: ﺿﻌﻒ ﺣﺪﯾﺜﮫ (orang yangdidha’ifkan hadisnya), (ﻓﻼ ن ﻟﯿﻦ orang yang lunak) dan ( ﻓﻼ ن ﻣﻘﺎ ل ﻓﯿﮫ orangyang diperbincangkan).2929Ibid., 316-318.

323. Kehujjahan HadistHadist yang bisa digunakan sebagai hujjah itu ada dua yaitu haditsmaqbul dan mardud. pengertian hadits maqbul dan mardu

memaksudkan qadim sebagai kitab Allah, sedangkan “yang baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam Sharah al-Bukhari , Syeikh Islam Ibnu Hajar berkata, bahwa dimaksud dengan hadits menurut pengertian shara’ adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, dan hal itu seakan-akan dimaksudkan sebagai bandingan Alquran yang qadim.3

Related Documents:

G. Pendekatan Pemahaman 22 H. Teknik Interpretasi 24 I. Metode Penelitian 27 J. Sistematika Penulisan 31 BAB II PENGERTIAN HADIS, KEDUDUKAN DAN FUNGSINYA TERHADAP AL-QURAN SERTA BEBERAPA KAJIAN LAINNYA 33 A. Pengertian Hadis 33 B. Beberapa Istilah yang Identik dengan Hadis 37 C. Kedudukan Hadis dalam Islam 42

kitab tersebut sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di masjid Nabawi Madinah16. Menurut penelitian Azami, ada sejumlah 9802 Hadis yang dimuat Imam al-Bukhari ke dalam kitab sahihnya, dan apabila dihitung tanpa memasukkan Hadis yang berulang, maka jumlahnya adalah 2602 Hadis. Jumlah ini tidak termasuk di dalamnya Hadis mauquf

Imam az-Zahabi mengatakan, kitab hadis yang ditulis Imam Bukhari merupakan kitab yang tinggi nilainya dan paling baik setelah Al-Quran. Di antara sederet kitab hadis yang ditulis para ulama sejak abad ke-2 Hijriah, para ulama lebih banyak merujuk pada enam kitab hadis utama atau Kutub as-Sittah.

Muhammad Dailamy: Hadis-hadis Kitab Bulugh al-Maram SOSIO-RELIGIA , Vol. 5 No. 2, Februari 2006 352 dari Nabi, baik yang berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. 2 Sahabat diyakin

STUDI ILMU HADIS Penulis: Khusniati Rofiah, M.Si Editor: Muhammad Junaidi, M.H.I Desain Cover: . Kata Pengantar. iv Studi Ilmu Hadis . Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. vi Studi Ilmu Hadis m

disiplin keilmuan yang tidak hanya menjelaskan bagaimana . studi hadis riwayah dan studi hadis dirayah itu. Karenanya, penyusunan buku ini dimaksudkan untuk mempermudah mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah Studi Hadis . yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Sedangkan pembahasan

STUDI KRITIK SANAD HADIS-HADIS YANG DIḌA’IFKAN OLEH MUHAMMAD NĀṢIR AL-DĪN AL-ALBĀNĪSkripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin untuk Me

konsep variabel yang ada dalam rumusan masalah, sebagai berikut: 1. Metode pembelajaran Qur’an Hadis adalah upaya penyajian untuk menyajikan bahan pelajaran Qur’an Hadis kepada Siswa di dalam kelas agar dapat diserap . A. Pengertian Metode