Bab 2 KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN DAN PERSPEKTIF TEORI .

3y ago
73 Views
2 Downloads
2.67 MB
66 Pages
Last View : 14d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Azalea Piercy
Transcription

Bab 2KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN DANPERSPEKTIF TEORI YANG DIPAKAIDALAM KAJIAN INIIntroduksiSebagaimana dikemukakan dalam Bab sebelumnya, pada masa-masaawal era Indonesia post-Soeharto, di Pekalongan terjadi fenomenayang sangat unik dan menarik. Di kota yang dikenal sebagaimasyarakat Santri dan sebagai komunitas basis Islam Tradisionalis ini,ada beberapa orang Kiai yang ditinggalkan santri-santrinya. Bahkan, diantara beberapa Kiai yang mengalami situasi dan kondisi seperti itu,ada dua Kiai besar—Kiai Tohir dari Keradenan, Kecamatan PekalonganSelatan dan Kiai Munawir dari Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara,yang sampai kehilangan kewibawaan.Kiai-Kiai yang pada masa-masa sebelumnya sangat dihormati,disegani, dan kharismatikanya dapat “membius” umat tersebut, karenasikap politiknya yang dinilai tidak sejalan dengan harapan umatnya,dan dinilai telah menyimpang dari garis organisasi dan pemimpinnya:Nahdlatul Ulama di bawah pimpinan K.H. Abdurrahman Wahid [GusDur], akhirnya ditinggalkan umatnya. Bahkan, lebih dari itu,sebagaimana disitir pada Bab sebelumnya, nama mereka pun dijadikanbahan ejekan dan bulan-bulanan dalam aksi-aksi massa di jalanan!.Dari proposisi di atas, nampak jelas bahwa, fenomena ini terjadidalam ranah (ajang kehidupan) politik [praktis] yang berbasis padakehidupan keagamaan, Islam. Sebagaimana telah dikemukakan padaBab sebelumnya juga, pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999,45

Perlawanan Politik Santriaktivis dan simpatisan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di KotaPekalongan—yang, diakui atau tidak, terinspirasi oleh aksi-aksi aliansiMega-Bintang yang dipelopori Mudrich M. Sangidoe di Solo, dalamkampanyenya menyerukan yel-yel yang bernada sangat melecehkankedua Kiai tersebut. Dalam arak-arakan kampanye di jalanan, merekamenyanyikan lagu Qasidah Zaman Wis Akhir yang syairnya digantidengan kata-kata lain untuk mendiskreditkan kedua Kiai tersebut:“Zaman wis akhir. Aja melu Tohir, aja melu Nawir, marga kabeh wispadha kenthir” (yang terjemahan bebasnya: Zaman sudah berakhir,jangan ikut Tohir, jangan ikut Munawir, karena keduanya sudahkehilangan ingatan alias sinting atau kenthir dalam bahasa Jawanya).58Baik dari segi historisitas maupun kejadiannya, fenomenapudarnya kewibawaan Kiai, serta perlawanan politik Santri terhadapKiai di Pekalongan ini sungguh-sungguh unik dan menarik. Fenomenaini menjadi unik, karena sebelumnya, kasus semacam ini belum pernahterjadi; dan kalaupun pernah terjadi dan ada Kiai yang ditinggalkansantri-santrinya, para santri tidak sampai maki-maki (menghujad) SangKiai.59 Kasus ini juga menjadi lebih menarik lagi karena terjadi dilingkungan masyarakat yang berkebudayaan Jawa dan di lingkungankomunitas Islam Tradisionalis—yang secara tradisional sama-samamenabukan perlawanan terhadap “atasan”, apalagi terhadap orangorang yang dihormati seperti Kiai, dengan cara-cara frontal, dan dalambatas tertentu, bisa dibilang keji. Fenomena ini tambah menarik lagikarena terjadi dalam ranah politik [praktis]; sementara Kiai-Kiai yangdilawan tidak memegang jabatan politik.60Wawancara dengan Zurkoni, di Salatiga, Mei 1999. Hal ini jiga dibenarkan oleh K.H.Muhammad Natsir, wawancara, 24 Agustus 2015; Abdullah Martoloyo, wawancara,18-19 Agustus 2015; Muhammad Hadiq, wawancara, 8 Agustus 2015; Kiai ChudzilChos Maksum, wawancara, 21 Agustus 2015; Jacky Zam-zami, wawancara, 22 Agustus2015, dan Nusron Hasa, wawancara, 9 September 2015.59 Lihat Feillard, NU vis-à-vis Negara, LKiS, Yogyakarta, 1999, hlm. 139-140; danTurmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS. Jogjakarta, 2004, hlm. 133-140.60 Peristiwa serupa juga terjadi di desa Kalibuthak di perbatasan wilayah KabupatenSemarang. Bedanya, pada kasus di desa ini, Kiai yang ditentang (dilawan) memegangjabatan politik sebagai anggota DPRD. Ketika itu, di desa Kalibuthak ada seorang Kiaibernama Abdul Manaf—bukan nama sebenarnya. Kiai ini, sebagaimana lazimnyadalam masyarakat santri, juga menjadi tokoh panutan masyarakatnya. Ia adalah5846

Konsep-konsep yang Digunakan dan Perspektif Teori yang Dipakai dalam Kajian IniDalam perspektif kultural, fenomena ini sebenarnya tidak perluterjadi jika, kedua belah pihak, masing-masing menempatkan diridalam posisi ko-eksistensi, posisi saling membutuhkan. Namun, daripersektif [warga masyarakat] Santri, fenomena ini memang harusterjadi karena sikap dan perilaku Kiai tersebut tak lagi dapat dipahami.Sikap politik para Kiai tersebut dirasa tak lagi merepresentasikan dantidak lagi menyuarakan kepentingan umat; dan secara organisatorismenyimpang dari garis kebijakan organisasi [Nahdlatul Ulama] yangmenaungi. Kiai-kiai itu, meskipun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama(PBNU) yang dipimpin K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telahmembidani lahirnya partai politik baru—Partai Kebangkitan Bangsa(PKB)—yang diharapkan menjadi “rumah politik” kaum Nahdliyyin,tetap tidak bersedia mengikuti haluan politik yang digariskan PBNUuntuk berafiliasi politik ke PKB.61 Dengan berbagai alasan, merekatetap mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sejakpartai-partai Islam di Indonesia difusikan pada tahun 1973, memangtelah menjadi rumah politik mereka.Meskipun mereka [para Kiai] tetap berafiliasi kepada partaipolitik Islam, dan sebagian [besar] dari politisinya juga kaumNahdliyyin, para Santri di Pekalongan tetap tidak bisa menerimanya.Alasan mereka, selain rekam jejak PPP yang dinilai kurang memuaskanpewaris pesantren yang cukup tua yang ada di desa itu. Setelah reformasi, pak Kiai—meski tidak se-kharismatik Kiai Thohir di Pekalongan—juga kehilangankewibawaannya. Kiai yang sebelumnya cukup disegani oleh warga masyarakat disekitarnya itu, kemudian, juga kehilangan kewibawaannya; namanya juga menjadibahan ejekan. Pada Pemilu 1999, ia terpilih menjadi Anggota Legislatif (DPRD) dariPartai Kebangkitan Bangsa. Tetapi, pada Pemilu Legislatif pada tahun 2004, PKB tidakmencalonkannya lagi karena track-record-nya dinilai kurang baik. Karena PKB tidakmencalonkan lagi, ia pun pindah haluan ke PKPI—Partai Keadilan dan PersatuanIndonesia. Yang menarik dari kasus ini, menjelang Pemilu Legislatif 2004, di desaKalibuthak muncul gerakan politik untuk melakukan perlawanan terhadap Kiaitersebut. Gerakan politik itu mereka namakan Gerakan Anti-Abdul Manaf, disingkatGAM. Menurut penuturan beberapa orang tokoh(aktivis)nya, pemberian nama gerakanpolitik tersebut terinspirasi oleh gerakan politik yang berkembang di Aceh pimpinanHasan Tiro [ketika itu], yang popular dengan nama: Gerakan Aceh Merdeka disingkatGAM.61 Secara implisit, pendirian Partai Kebangkitan Bangsa oleh tokoh-tokoh NahdlatulUlama menegaskan bahwa Partai Persatuan Pembangunan dianggap tidak memadailagi untuk dijadikan rumah politik, karena telah terkontaminasi “Virus Orde Baru”.47

Perlawanan Politik Santrikaum Nahdliyyin selama masa Orde Baru, secara historis, PPP jugadianggap bukan “rumah politik pribadi” kaum Nahdliyyin.62 Karenaitu, tarik-ulur kepentingan dan adu argumentasi antara kedua belahpihak pun tak dapat dihindari. Para Kiai berpendapat bahwa, pilihanpolitik dan kebebasan untuk menentukan pilihan politik adalah haksetiap warga negara, tak terkecuali para Kiai. Para Kiai tersebutberpendapat bahwa, selama tidak mengkhianati ideologi politik kaumNahdliyyin—Ahl al-sunnah wa al-jama‟ah, dan selama tidakmencederai komitmen dan menafikan kepentingan umat yang merupakan konstituen, apa pun pilihan politik para Kiai [mestinya] tidak perludipersoalkan. Sementara itu, di pihak lain, para santri (warga masyarakat Santri) berpendapat, meskipun secara pribadi para Kiai mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan pilihan dan menentukansikap politiknya sendiri, namun, sebagai public-figur yang eksistensinya tidak terlepas dari keberadaan warga masyarakat Santri, para Kiaiseharusnya tetap merepresentasikan (menjadi representasi) umat yangmenjadi rowang-eksistensial sekaligus sebagai “konstituen”nya.Adu argumentasi kedua belah pihak tersebut, dengan sangatjelas menunjukkan adanya benturan antara hak dan kebebasan pribadi[para Kiai] dengan tuntutan masyarakat yang melingkupi, antarakepentingan individu [para Kiai] dan kepentingan lingkungansosialnya. Di satu pihak, para Kiai bersikukuh pada pendirian dan hakpolitiknya, sementara di pihak lain, para Santri berpendapat bahwa,sebagai public figure dan tokoh panutan, hak dan kebebasan Kiaibukan tanpa batas, karena eksistensinya dalam arena publik selalumengatas-namakan umat. Adalah sebuah kenyataan yang tak dapatdisangkal bahwa, posisi tawar para Kiai dalam kancah politik, misalnya,terletak pada kekuatan umat yang ada di belakangnya. Setinggi apa punpopularitas seorang Kiai, jika tanpa dukungan umat di belakangnya,Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah partai politik yang dibentuk oleh OrdeBaru, yang merupakan hasil fusi dari partai-partai politik Islam, pada Tahun 1973.Partai-partai politik yang kemudian difusikan menjadi PPP adalah: Partai NahdlatulUlama (PNU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia(PSII), dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Lihat Syamsuddin Haris, PPP danPolitik Orde Baru, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1991, hlm.3-9.6248

Konsep-konsep yang Digunakan dan Perspektif Teori yang Dipakai dalam Kajian Iniakan seperti “singa atau macan ompong”, yang kelihatan gagah,nampak kuat, dan berpenampilan seram, tetapi tidak mempunyaitaring untuk menggigit. Dalam penelitian ini, fenomena yang terjadi diPekalongan tersebut akan dibedah, dianalisis, dan dijelaskan dengankonsepsi teori sosiologi Pierre Bourdieu, dengan dukungan teori elitedan teori hegemoni. Untuk itu, pada Bab ini, secara khusus akanmengelaborasi ketiga teori sosiologi yang dimaksud.Perlu juga ditegaskan di sini bahwa, studi tentang “Pudarnyakewibawaan Kiai, Perlawanan [masyarakat] Santri, dan dampaknyabagi partai-partai politik Islam” di Pekalongan ini mencakupi ataumelingkupi tiga persoalan—“kewibawaan [Kiai]”, “perlawanan [politik]Santri”, dan “partai-partai politik Islam”—yang di dalamnyamengandung tiga konsep utama, yakni: “kewibawaan”, “perlawanan”,dan “partai politik Islam”. Oleh karena itu, sebelum menyajikan uraianelaboratif atas konsepsi-konsepsi teori yang akan dipakai untukmembedah, menganalisa, dan menjelaskan hasil studi ini, ketigakonsep utama tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu. Hal inisangatlah penting, terutama untuk menghindari terjadinya perdebatanyang tidak produktif akibat dari perbedaan penafsiran, yangdikhawatirkan akan mengganggu pemahaman atas hasil studi ini.Juga penting untuk dikemukakan di sini bahwa, dalammasyarakat Jawa yang menjadi konteks terjadinya fenomena ini, istilah“kiai” dan “santri” dipakai dalam beberapa pengertian. Oleh karena itu,selain menjelaskan ketiga konsep utama di atas—“kewibawaan”,“perlawanan”, dan “partai politik Islam”, paparan Bab ini juga akanmenyajikan penjelasan konseptual tentang “Kiai” dan “Santri” dengantujuan yang tak berbeda dengan penjelasan tiga konsep utama, yakniuntuk menghidari kekacauan pemahaman akibat perbedaan penafsiran.Penjelasan Konseptual atas Konsep-konsep yang DigunakanKewibawaan [Kiai]Dalam khasanah teori sosiologi, khususnya dalam sosiologi politik,dikenal istilah-istilah: “kekuasaan”, “kewenangan”, “kewibawaan”, dan49

Perlawanan Politik Santri“pengaruh”, yang semuanya berkaitan erat dengan kapasitas dominasi,atau kemampuan untuk mendominasi. Sekalipun semuanya menunjukkepada hal yang sama: “dominasi”, sebagai kekuatan (power) untukmendominasi, masing-masing term memiliki derajad dan kegunaanyang berbeda, terutama istilah kekuasaan dengan tiga term lainnya.Secara ideal, “kekuasaan” selalu mengandaikan adanya “kewenangan”, “kewibawaan”, dan “pengaruh” di dalamnya. Bahkan,keberadaan ketiga hal tersebut (“kewenangan”, “kewibawaan”, dan“pengaruh”), sangatlah penting, bahkan sangat vital karena merupakanpenyangga utama bangunan “kekuasaan”. Tetapi, dalam tatarankongkret, dalam realitanya, bangunan kekuasaan tidak selalu disanggaoleh “kewibawaan”. Dengan ungkapan yang lebih sederhana dapatdikemukakan bahwa, dalam realitanya, kekuasaan itu tidak selalu dantidak selamanya berwibawa. Yang dapat dipastikan, dan selalu adadalam realita, “kekuasaan” selalu disertai oleh “kewenangan”, sertatekanan, pemaksaan, dan keterpaksaan bagi pihak yang dikuasai.Sebagaimana dikemukakan Profesor Miriam Budiardjo, “esensi darikekuasaan adalah kemampuan untuk mengadakan sanksi dalam halsatu pihak tidak mengikuti kemauan pihak lain.”.63Kekuasaan yang tidak disertai “kewibawaan”, dan “pengaruh”,umumnya, akan membuat bangunan “kekuasaan” yang ada di atasnyamenjadi rapuh, tidak mempunyai kekuatan koersif; dan karena itu,bangunan “kekuasaan” itu tidak akan mempunyai makna (dampak)apa-apa. Dengan ungkapan lain dapat dikemukakan bahwa,“kewenangan” yang menyertai “kekuasaan” tidak akan eksis dan tidakakan efektif tanpa kehadiran “kewibawaan”. Jika demikian, dapatdipastikan, kekuasaan itu juga tidak akan efektif, bahkan justru akanmenjadi kontra-produktif, memicu munculnya perlawanan darikelompok yang dikuasai.Sebaliknya, “kewibawaan” [dan “pengaruh”-nya], kehadirandan eksistensinya tidak ditentukan oleh, dan tidak tergantung pada,Selanjutnya, baca Miriam Budiardjo: Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan,dalam Miriam Budiardjo (penyusun): Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa,Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991.6350

Konsep-konsep yang Digunakan dan Perspektif Teori yang Dipakai dalam Kajian Ini“kekuasaan” dan “kewenangan”-nya. Kewibawaan dapat berdiri sendiridan eksis tanpa dukungan kekuasaan dan kewenangannya. Karena itu,seseorang dapat saja berwibawa dan berpengaruh sekalipun tidakmemiliki kewenangan untuk memberikan sanksi [hukuman]. Jadi,berbeda dengan kekuasaan, “kewibawaan” tidak disertai kewenangan,tekanan, pemaksaan dan keterpaksaan. “Kewibawaan”, umumnya,bahkan selalu, diikuti “pengaruh”, ketaatan, dan kesukarelaan.Dilihat dari sumbernya, antara “kekuasaan dan wewenang”nya dengan “kewibawaan dan pengaruh”-nya, meski tidak secarahitam-putih, dapat dibedakan sebagai berikut: Kekuasaan berikutwewenang [kewenangannya], umumnya, bersumber pada kedudukanatau jabatan politik tertentu. Sebagai contoh: kekuasaan seorangatasan—yang berkedudukan (berjabatan) sebagai Panglima, Menteri,Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa, atau kedudukan (jabatanjabatan) lainnya—terhadap staf atau anak buahnya. Jika terjadi suatupelang-garan yang dilakukan oleh staf atau anak buah, sepertipelanggaran disiplin, korupsi, atau perilaku-perilaku indisiplinerlainnya—misalnya, bawahan dapat ditindak atau dikenai sanksi[hukuman]. Atasan memiliki kewenangan untuk menindak ataumemberi sanksi. Tetapi, sebaliknya, jika atasan (pemegang kekuasaan)melakukan kesalahan, bawahan tidak dapat memberi sanksi apa-apa,kecuali sanksi sosial berupa pengabaian atau penyepelean. Sebab,kekuasaan selalu bersifat tidak seimbang. Pemegang kekuasaan selalumempunyai power lebih besar ketimbang pihak yang dikuasai.Kekuasaan juga bisa hadir dalam relasi sosial antara cukong denganburuhnya, atau antara pengusaha kaya dengan pegawainya. Apabilapegawai atau buruhnya melakukan kesalahan, yang bersangkutandapat dikenai sanksi. Si pengusaha kaya memiliki kewenangan untukmemberi sanksi.Dari penjelasan di atas, nampak jelas bahwa, perbedaan antara“kekuasaan” dan “kewibawaan” terletak pada kemampuan dan legalitaspemegangnya dalam pengadaan, perumusan, dan pemberian sanksi.Dengan ungkapan lain dapat dikemukakan bahwa, esensi dari“kekuasaan” adalah kemampuannya untuk mengadakan, merumuskan,51

Perlawanan Politik Santridan memberikan sanksi kepada pihak lain yang tidak mau mengikutidan tidak mau memenuhi keinginan dan hasratnya. Dengan demikian,suatu hubungan antar-pelaku sosial yang di satu pihak tidak mampumengadakan, merumuskan, dan memberikan sanksi kepada pihak laintidak dapat dikategorikan sebagai hubungan sosial yang disebut“kekuasaan”. Dalam kajian tentang kekuasaan, hubungan sosial yangdemikian, umumnya, disebut “pengaruh”.64Kewibawaan, pada umumnya, bersumber pada kemampuansumber daya—yang menurut Bourdieu merupakan hasil dari„mobilisasi‟ capital (modal); terutama cultural capital (modal budaya),dan symbolic capital (modal simbolik). Pengetahuan, kemampuanberbahasa, cara berbicara, kejujuran, cara pembawaan yang sopansantun, gelar, dan simbol-simbol kebudayaan lainnya, merupakanjenis-jenis modal yang dapat menumbuhkan kewibawaan. Kewibawaanjuga bisa bersumber pada kekuatan supranatural (ngelmu) dan agama.Tetapi, yang disebut terakhir, umumnya, disebut kharisma. Contohkongkretnya adalah kewibawaan Kiai di hadapan (terhadap) para santridan pengikutnya; atau kewibawaan seorang paranormal—dhukun,saman, ahli nujum, atau apa pun namanya—di hadapan para klien ataupengikutnya. Dalam konteks kehidupan keagamaan komunitas Islam,penguasaan atas hukum-hukum Islam yang diyakini tidak hanyamengatur hubungan antara umat Islam dengan Tuhannya—tetapi jugamengatur hampir seluruh relasi sosial—telah menempatkan paraKiai—terlebih yang memiliki modal-modal di atas—dalam posisi yangsangat berwibawa (Dhofier: 1982). Begitu juga kepercayaan masyarakattradisional akan kekuatan-kekuatan supranatural dan magis yangdimiliki para paranormal. Kemampuan supranatural yang dimiliki paraparanormal juga menempatkan mereka pada posisi yang sangatberwibawa.Dari contoh-contoh tersebut, menjadi kelihatan jelas bahwa,kewibawaan tidak akan dapat diperoleh sembarang orang, meski tidaktertutup kemungkinan bagi setiap orang untuk mendapatkannya. KalauMiriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Penerbit SinarHarapan, Jakarta, 1991, hlm. 10-11.6452

Konsep-konsep yang Digunakan dan Perspektif Teori yang Dipakai dalam Kajian Inidilihat dari sifat-sifat, karakter, dan wataknya, kewibawaan nampakmempunyai kemiripan dengan charisma dalam analisis Weber tentangkekuasaan. Seperti hasil analisis Weber tentang charisma, strukturkewibawaan juga tidak mengenal bentuk atau prosedur pengangkatandan pemberhentian yang teratur, tidak mengenal karier, dan tidakmengenal wilayah kekuasaan. Seperti halnya kharisma, kewibawaanjuga tidak pernah dapat menjadi sumber pendapatan ekonomipemegangnya; bahkan kewibawaan [juga] sengaja menjauhkan diri darihal-hal duniawi seperti kepemilikan uang dan pendapatan keuangansemata.65 Kewibawaan, umumnya, juga menjauhkan diri dari hal-halyang bersifat materi. Perbedaan kewibawaan dengan kharisma terletakpada bentuk modalitasnya. Kalau modalitas kewibawaan berbentukkemampuan-kemampuan ragawi (fisikal) yang bersifat „wadhag‟,teraga, kasat-indera, dan eksoterik—dapat dan boleh diketahui dandimengerti oleh siapa saja; modalitas charisma berbentuk kemampuankemampuan supranatural yang bersifat tan-wadhag, anoraga, takteraga, nirkasat-mata, dan esoterik—terbatas dan rahasia.Bertitik tolak pada penjelasan konseptual (terminologis) di atas,untuk kepentingan studi ini, saya akan menggunakan kata“kewibawaan” [bagi Kiai], dan bukan “kekuasaan” untuk menyebutpotensi atau kompetensi dominasi Kiai. Pemilihan “kewibawaan”untuk menyebut potensi dominasi Kiai ini juga didukung olehkenyataan bahwa, kapasitas Kiai untuk mempengaruhi orang lain,untuk mengendalikan orang lain agar bertindak sesuai harapan ataukeinginannya, bukan berdasarkan kewenangan untuk memberi sanksi(untuk menghukum), tetapi melalui pembawaan sikap dan tingkahlaku yang mengandung kepemimpinan dan keteladanan yang penuhdaya tarik. Kiai itu disegani, bukan ditakuti; orang meninggikan(memberi penghormatan) Kiai karena segan, sungkan, dan bukankarena takut dikenai sanksi (hukuman). Jadi, secara esensial,kewibawaan berbeda dengan kekuasaan, khususnya dalam artinyaBandingkan dengan Max Weber, Sosiologi Otoritas Kharismatik, dalam Sosiolgi.Terjemahan Penerbit Pustaka Pelajar Jogjakarta, 2006, hlm. 293-296. Buku ini aslinyaditulis oleh Max Weber dengan judul From Max Weber: Essays in Sociology, yangditerbitkan oleh Oxford University Press, 1946.6553

Perlawanan Politik Santrisebagai kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang ban

Bab . 2. KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN DAN PERSPEKTIF TEORI YANG DIPAKAI . DALAM KAJIAN INI. . lebih dari itu, sebagaimana disitir pada Bab sebelumnya, nama mereka pun dijadikan bahan ejekan dan bulan-bulanan dalam aksi-aksi massa di jalanan!. Dari proposisi di atas, nampak jelas bahwa, fenomena ini terjadi . Mega-Bintang yang dipelopori .

Related Documents:

Buku Keterampilan Dasar Tindakan Keperawatan SMK/MAK Kelas XI ini disajikan dalam tiga belas bab, meliputi Bab 1 Infeksi Bab 2 Penggunaan Peralatan Kesehatan Bab 3 Disenfeksi dan Sterilisasi Peralatan Kesehatan Bab 4 Penyimpanan Peralatan Kesehatan Bab 5 Penyiapan Tempat Tidur Klien Bab 6 Pemeriksaan Fisik Pasien Bab 7 Pengukuran Suhu dan Tekanan Darah Bab 8 Perhitungan Nadi dan Pernapasan Bab .

bab iii. jenis-jenis perawatan 7 . bab iv. perawatan yang direncanakan 12 . bab v. faktor penunjang pada sistem perawatan 18 . bab vi. perawatan di industri 28 . bab vii. peningkatan jadwal kerja perawatan 32 . bab viii. penerapan jadwal kritis 41 . bab ix. perawatan preventif 46 . bab x. pengelolaan dan pengontrolan suku cadang 59 . bab xi.

bab ii penerimaan pegawai . bab iii waktu kerja, istirahat kerja, dan lembur . bab iv hubungan kerja dan pemberdayaan pegawai . bab v penilaian kinerja . bab vi pelatihan dan pengembangan . bab vii kewajiban pengupahan, perlindungan, dan kesejahteraan . bab viii perjalanan dinas . bab ix tata tertib dan disiplin kerja . bab x penyelesaian perselisihan dan .

Bab 24: Hukum sihir 132 Bab 25: Macam macam sihir 135 Bab 26:Dukun,tukang ramal dan sejenisnya 138 Bab 27: Nusyrah 142 Bab 28: Tathayyur 144 Bab 29: Ilmu nujum (Perbintangan) 150 Bab 30: Menisbatkan turunnya hujan kepada bintang 152 Bab 31: [Cinta kepada Allah]. 156 Bab 32: [Takut kepada Allah] 161

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN . PENGEMBANGAN KAMPUNG NELAYAN . Pada bab ini akan dilakukan sinstesis analisis guna mendapat arahan konsep desain Pengembangan Kampung Nelayan Karangwuni yang tepat sasaran. 6.1 KONSEP SISTEM LINGKUNGAN . 6.1.1 KONSEP KONTEKS FISIKAL . Kampung Nelayan berlokasi di Dusun Karangwuni, Desa Karangwuni,

BAB VI KONSEP PERANCANGAN 6.1 Konsep Dasar Konsep perencanaan dilakukan melalui pendekatan desain sebagai berikut : 1. Tempat produksi animasi lokal dari tahap awal hingga akhir yang mengedepankan kenyamanan dan membentuk suasana menyenangkan. 2. Mampu menciptakan sumber tenaga kerja animasi lokal yang mampu bersaing dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pemahaman Konsep Pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengaplikasikannya. Pemahaman konsep merupakan tingkat kemampuan yang

--the earlier the appointment for the engagement the better for the auditor. It leaves more time for planning. --auditor business risk may be increased by acceptance of an engagement near or after the close of the client’s fiscal year. 2. The scheduling of field work --interim work done 3 to 4 months before the end of a client’s fiscal year