BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Untag-sby.ac.id

1y ago
12 Views
2 Downloads
3.70 MB
26 Pages
Last View : 15d ago
Last Download : 3m ago
Upload by : Halle Mcleod
Transcription

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang MasalahIstilah Hak Asasi Manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengansebutan droit de l‘home(Perancis), yang berartihakmanusia, human rights(Inggris) atau mensen rechten (Belanda) yang dalam bahasa Indonesia disalinmenjadi hak-hak kemanusian atau hak-hak asasi manusia.Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusiasecara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh TuhanYang Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untukmengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hakkeamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikanatau dirampas oleh siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasimanusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusiavide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.Hak asasi manusia pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang secarainheren melekat dalam setiap diri manusia sejak dilahirkan. Pengertian inimegandung arti bahwa HAM merupakan karunia dari yang maha kuasa kepadasetiap umat-Nya.1

2Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dantanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak asasimanusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanyabersamaan dengankelahirannya, ataukehadirannyadidalamkehidupanmasyarakat. Hak Asasi bersifat umum (universal), karena diyakini beberapa hakdimiliki tanpa perbedaan atas bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin. Dasar darihak asasi, bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembangsesuai dengan bakat dan cita-citanya. Hak Asasi manusia bersifat supralegal,artinya tidak bergantung kepada adanya suatu Negara atau Undang-UndangDasar, maupun kekuasaan pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi,karena hak asasi manusia dimiliki manusia bukan karena kemurahan ataupemberian pemerintah, melainkan karena berasal dari sumber yang lebih tinggi.Disebut HAM karena melekat pada eksistensi manusia, yang bersifat universal,merata dan tidak dapat dialihkan.Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukanlegitimasi yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum Nasionalmaupun Internasional. nal terhadap HAM , hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia.Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yangpaling hakiki dalam diri manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupanmanusia bersifat sekuler dan positivistic, maka eksistensi HAM memerlukanlandasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan ridisesuaisetiapdengan

3perjalanan hidup bangsanya, meskipun demikian sifat dan hakikat HAM dimana-mana pada dasarnya sama juga, atas dasar itulah maka tidak ada orangatau badan manapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya.Demikian pula tidak ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, sertatidak ada kekuasaan apapun untuk membelenggungnya.Sejarah HAM dimulai pada saat berakhirnya Perang Dunia II. Negara-negarapenjajah berusaha menghapuskan segi-segi kebobrokan dari penjajahan, aration of Human Rights"(DUHAM) pada tahun 1948. Semula konsep HAM ini secara sukarela dijual kesemua negara yang sedang berkembang atau Negara bekas jajahan namun tidakbanyakmendapatrespon. n of Human Rights".Hak Asasi Manusia dilahirkan oleh sebuah komisi PBB yang dipimpinEleanor Roosevelt, dan pada 10 Desember 1948 secara resmi diterima oleh PBBsebagai―Universal Declaration of Human Rights‖. Universal Declaration of Human Rights(1948) memuat tiga puluh pasal, menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi,sosial dan kebudayaan yang fundamental yang harus dinikmati oleh manusia didunia ini. Hal itu sesuai dengan pasal 1 piagam PBB, menegaskan salah satutujuan PBB adalah untuk mencapai kerjasama internasional dalam mewujudkandan mendorong penghargaan atas hak-hak asasi manusia dan kemerdekaan yangmendasari bagi semua orang, tanpa membedakan suku bangsa, kelamin, bahasamaupun agama.

4Pada awalnya deklarasi ini hanya mengikat secara formal dan moralanggota PBB, tetapi sejak tahun 1957 dilengkapi 3 (tiga) perjanjian :1.International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights2.International Covenant em civil and political rights3.Optional Protocol to the International covenant on civil and Political RightsKetiga dokumen tersebut diterima Sidang Umum PBB 16 Desember 1966, dankepada anggota PBB diberi kesempatan untuk meratifikasinya. Setiap Negarayang meratifikasi dokumen tersebut, berarti terikat dengan ketentuan dokumentersebut. Kovenan tersebut bertujuan memberi perlindungan atas hak-hak (rights)dan kebebasan (freedom) pribadi t, menghormatidanmenjamin semua individu di wilayah kekuasaannya, dan mengakui kekuasaanpengadilan hak-hak yang diakui dalam kovenan tersebut, tanpa membedakan ras,warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal-usul kebangsaanatau social, harta milik, kelahiran atau status lainnya. Meskipun telah disepakatisecara aklamasi oleh sejumlah anggota PBB, baru 10 tahun kemudian perjanjianitu dapat diberlakukan. Ini disebabkan pada tahun 1976, baru 35 negara bersediameratifikasi. Bahkan tidak berbeda dengan Indonesia, Negara yang merasa dirinyasangat menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti USA dan Inggris hinggaawal dekade 1990-an belum meratifikasi kedua kovenan tersebut.Memang jika ditilik dari defenisi HAM maka di Indonesia tercatat banyaksekali kasus yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya kasus-kasus

embatan,pembersihan para pedagang kaki lima yang sering meresahkan para penggunajalan raya seperti para pengguna kendaraan bermotor dan para pejalan kakiPerkembangan HAM di Indonesia1. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )Boedi OetomoDalamkontekspemikiranHAM, pemimpinBoediOetomotelahmemperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melaluipetisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisanyang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomodalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.Perhimpunan IndonesiaLebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib diri sendiri.Sarekat IslamMenekankan pada usaha – usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak danbebas dari penindasan dan diskriminasi rasial.Partai Komunis IndonesiaSebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak –hak yang bersifat social dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alatproduksi.

6Indische mendapatkankemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.Partai Nasional IndonesiaMengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.Organisasi Pendidikan Nasional IndonesiaMenekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hakuntuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan dimuka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara. PemikiranHAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKIantara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta danMohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadidalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan dimuka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untukmemeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hakuntuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.2. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )Periode 1945 – 1950Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untukmerdeka, kyangdidirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di

7parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telahmemperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi )yaitu, UUD 45. Komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimanaditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Langkahselanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partaipolitik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November1945.Periode 1950 – 1959Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutanperiode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkanmomentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadisemangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat dikalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan bahwapemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami bulan madukebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek.Pertama, semakin banyaktumbuhpartai – partaipolitikdenganberagamideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasibetul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar laindari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, adil dan demokratis.Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatanrakyatmenunjukkankinerja dankelasnyasebagaiwakilrakyatdenganmelakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan

8pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengantumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.1Periode 1959 – 1966Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah system rhadapsistemdemokrasiParlementer. Pada system ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada danberada ditangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presidenmelakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politikmaupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telahterjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik.Periode 1966 – 1998Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangatuntuk menegakkan HAM.Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagaiseminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan padatahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukanPengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayahAsia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum IIyang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untukdilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAPMPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkanrumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang hak – hak asasi Manusia1Bagir Manan, “Pemikiran dan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia”, Yayasan HAM, Demokrasi, dan Supremasi Hukum,Jakarta, 2001.

9dan hak – hak serta kewajiban warga Negara . Sementara itu, pada sekitar awaltahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalamikemunduran, karenaHAMtidak lagidihormati, dilindungidanditegakkan.Pemerintah pada periode ini bersifat defensive dan represif yang dicerminkandari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensivepemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiranbarat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermindalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal andeklarasiUUDUniversal1945 yangHAM. Selainterlebihitu sikapdahuludefensifpemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakanoleh Negara – negara barat untuk memojokkan pemerintah Indonesia pada saatitu.Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. meskipun dari pihakpemerintah persoalanHAM ini seperti jalan di tempat bahkan mengalamikemunduran, pemikiran soalHAM nampaknya terus ada pada periode initerutama dikalangan masyarakat, yang dimotori oleh LSM ( Lembaga SwadayaMasyarakat ) dan masyarakat akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM.Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobiinternasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasusTanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya,dan sebagainya.Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990an tampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseranstrategi pemerintahan dari represif dan defensive menjadi ke strategi akomodatif

10terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikapakomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknyaKomisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRESNo. 50 Tahun 1993memantaudantertanggalmenyelidiki7 Juni 1993.Lembagapelaksanaan HAM, sertainibertugasmemberiuntukpendapat,pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.Periode 1998 – sekarangPergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yangsangat besar pada kemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat inimulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baruyang berlawanandenganpemajuandanperlindunganHAM. Selanjutnyadilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan denganpemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan diIndonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma danketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAMdiadopsi dari hukum dan instrument Internasional dalam bidang HAM.Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahapyaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. Padatahap penentuan telah ditetapkan beberapa peraturan perundang–undangan tentangHAM sepertiamandemenkonstitusiNegara (Undang–undangDasar 1945 ),ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah danketentuan perundang–undangan lainnya.

11Pada masa menjelang peralihan pemerintahan dari masa orde baru ke masareformasi banyak sekali kejadian menyangkut pelanggaran HAM ini. Peristiwa1998 yangberujungpenguduransebetulnyaadalah adaterjadiwaktuitusebelumnya.Pada masa pemerintahan yang sangat represif, banyak aktifis yang tibatiba hilang tak tahu di mana rimbanya. Disinyalir kuat mereka telah diculik dandibunuh oleh tangan-tangan penguasa pada waktu itu. Aksi demo besar-besaranmahasiswa dari seluruh Indonesia juga menyimpan sejumlah kasus pelanggaranHAM oleh aparat keamanan terhadap rakyat sipil. Semuanya berlangsung secarasporadis dan sangat masif pada waktu itu. Karena institusi hukum telah dikuasaioleh penguasa, maka HAM adalah alat yang digunakan untuk menjerat parapelaku pelanggaran tersebut. Bahkan ketika masa reformasi, cara-cara pelenyapanaktifis masih juga terjadi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana almarhumMunir yang tewas secara mendadak dalam perjalanannya ke Belanda. Di dalamdarahnya ditemukan racun jenis arsen yang melewati ambang batas normal.Diduga kuat dia telah dengan sengaja diracun.Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknyabelum memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Hal ini terlihat dari masihsedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundangundangannasional. Adanyaketidakseimbanganantaraperlindungankejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakankorbansalah satupengingkaran dari asas setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalamhukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar1945 sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang

12menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhihukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telahdiberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya njadipihakyang paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugianakibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupunpsikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadarisering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastianhukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan rnahproses pemeriksaan, punsetelahkasusnya diperiksa di pengadilan. Padahal keberadaan korban sangatlah pentingdalamprosespenegakkanhukum, karenadalammenyelesaikansuatupermasalahan hukum sangat diperlukan peran dari korban itu sendiri, ehkarenaitu,perlindungan korban harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh terutama padakasus pelanggaran HAM yang berat. Sesuai dengan yang dituliskan dalam pasal6 UU No. 13 tahun 20016 tentang perlindungan saksi dan korban esuaidenganketentuanperundang-undangan. Bahkan , dalam memberikan kesaksian didepan persidangan,jika karena kehadirannya membuat jiwanya terancam, Undang-undang dalammemberikan perlindungan terhadap saksi atau korban atau pihak keluargadengan cara melakukan kesaksian tanpa kehadirannya di pemeriksaan depanpersidangan.

utuhkanketerangan saksi atau saksi korban (korban yang bersaksi). Keberadaan hukumdiIndonesia,keselamatan baik diri sendiri maupun keluarganya pada kasus tertentu menjaditaruhannya atas kesaksian mereka2. Pentingnya pemberian perlindungan kepadakorban juga diungkapkan oleh Arif Gosita. Menurut Arif Gosita: ―Si korbantidaklah hanya sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas tetapi jugamemainkan peran penting dalam usaha mencari kebenaran dalam usaha mengertimasalah kejahatan, delikuensi, dan eniskorbandalamkehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi lahirnya cabangilmu baru yang disebut dengan ―viktimologi. ‖ Viktimologi atau victimology(istilah dalam bahasa Inggris) berasal dari istilah Latin, yaitu victim yang berartikorban, Sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara singkat,viktimologi adalah ilmu yang mempelajari korban dari berbagai aspek.Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu pihak g lain), sepertikorbanpencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai korbankejahatan), dan dilain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alamyang berada di luar ―jangkauan‖ manusia (yang lazimnya disebut sebagai korbanbencana alam), yaitu seperti korban letusan gunung berapi, korban banjir, korbangempa bumi dan lain-lain.2Rocky Marbun, ―Cerdik & Taktis dalam menghadapi kasus Hukum‖, Visimedia, Jakarta, 2010, Hal 86Arif Gosita, ―Masalah korban kejahatan‖ (Kumpulan karangan), Bhuana ilmu popular, Jakarta, 2004, Hal 633

14Walaupun kategori korban di atas sungguh-sungguh terjadi berdasarkanrealita, akan tetapi pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi,pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan. Maka atas dasar inipulalah, tanpa mengecilkan arti dari upaya pengkajian jenis korban selain darikorban kejahatan yang ada dalam masyarakat tersebut, pengkajian masalahkorban dalam tulisan ini hanya difokuskan pada jenis korban yang timbulsebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materiil, yanglazimnya, seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai korban kejahatan.Korban onvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian padaawal lahirnya viktimologi (klasik).Perlindungan terhadap korban sebenarnya telah diatur dalam berbagaiperaturanperundang-undangannasionalserta peraturanpemerintah. Dalamperaturan perundang-undangan nasional, masalah tentang perlindungan korbanjuga diatur dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,Undang-undangNo.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, PeraturanPemerintah No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasiterhadap korban pelanggaran HAM yang berat, serta Undang-undang No.13 Tahun2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Sesuai dengan yang di amanatkandalampasal 3 ayat (3) Undang-undang No.19 tahun 1999 tentang HAM yangmenegaskan tentang hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan hak asasimanusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi.4 DalamUndang-undangpasal 34 ayat (1)No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia

15menerangkan secara jelas bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hakasasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental serta ancaman,gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun.Pada waktu hukum pidana masih merupakan hukum perdata, setiap orangyang menderita kerugian atau menjadi korban sebagai akibat dari tindakan oranglain, mempunyai hak untuk melakukan atau menuntut balas atas kerugian /penderitaan yang dialaminya. Pembalasan itu pada umumnya tidak hanyamerupakan hak dari seseorang yang dirugikan atau yang terkena tindakan,melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili, dan bahkandalam beberapa hal menjadi kewajiban dari anggota masyarakat.Perkembanganlebihlanjut, diantarawargamasyarakattimbulsuatukebutuhan atau hasrat untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang telahmenimbulkan kerugian pada kepentingan perseorangan itu, yaitu dengan suatukesadaran, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan perseoranganitu sesungguhnya juga merupakan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat.Sehingga untuk mengakhiri terjadinya balas dendam yang timbal balik atauberlakunya asas ius talionis (hukum balas membalas), diputuskanlah oleh wargamasyarakat bahwa seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada kepentinganorang lain itu, harus membaya r ganti kerugian kepada orang yang dirugikansekaligusjugakepadamasyarakat. Hal ini, menurut L.H.C. Hulsman, telahberlangsung dari abad pertengahan sampai abad ketiga belas, dimana sebagianbesar konflik-konflik antar manusia diselesaikan dalam rangka ganti rugi.

16Sementara itu tingkat pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalahganti rugi ini pun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dandiganti dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagidijatuhkan (ditentukan) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah olehmasyarakat (Negara). Demikian juga menurut S.R. Sianturi, ―pada mulanya jumlahganti rugi (denda) ini lebih banyak tergantung pada keinginan dari pihak yangdirugikan, kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa.‖Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pada mulanya, reaksiterhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan padapihak lain, sepenuhnya merupakan hak dari pihak yang dirugikan (korban) untukmenuntut balas. Efek samping dari tuntutan balasan ini, telah menimbulkan suatukeadaan, tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak korban, seringkali tidaksetimpal dibandingkan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku, hal initerjadi sebagai akibat dari emosi yang berlebihan dari pihak korban. Dalamperkembangannya kemudian, akibat dari dendam yang sering tidak berkesudahan(talionis) ini, telah pula menimbulkan suatu keadaan, kerugian / penderitaan yangdialami oleh seseorang itu lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlahharta kepada korban. Kemudian oleh karena pelanggaran yang terjadi itu tidakhanya merupakan hubungan (urusan) antara pelaku dan korban, melainkanpelaku pelanggaran dianggap juga telah mengganggu keseimbangan, ketertiban,dalammasyarakat, sehinggayang terjadi adalah juga gangguan dalamkeseimbangan antara pelaku dan masyarakat.

17Sehubungan dengan uraian di atas, dalam praktek penerapan hukum pidana,ternyata dalammasyarakat inilah yang lebih diperhatikan, sehingga masyarakat (negara) merasasebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut balas atau ganti rugi daripelaku. Korban sendiri dalam hal ini kehilangan haknya untuk melakukantindakan. Sehingga dengan demikian, sekarang ini reaksi terhadap pelaku delikmerupakan hak penuh dari Negara untuk penyelesaian lebih lanjut melaluiaparat penegak hukumnya. Sementara itu, korban dari kejahatan tersebut dapathadir dalam proses peradilan pidana dengan 2 (dua) kualitas yang berbeda.Pertama, korban hadir sebagai saksi, fungsi korban disini adalah memberikesaksian dalam rangka pengungkapan kejahatan yang sedang dalam prosespemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun pada tahappemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yangdirugikan. Fungsi korban dalam hal ini adalah mengajukan tuntutan gantikerugian terhadap pelaku kejahatan yang telah mengakibatkan atau menimbulkankerugian / penderitaan pada dirinya.Dalam kaitannya dengan masalah tuntutan ganti kerugian yang diajukan olehkorban, maka persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kepentingan yangdiprioritaskan oleh pihak penyidik dan atau penuntut umum dalam menanganikasus pidana tersebut tidak sesuai atau tidak seiring dengan kepentingan korbanuntuk memperoleh penggantian kerugian dari terdakwa / pelaku (atau dari negara).Apalag bila ditelaah lebih jauh, penyidik dan penuntut umum dalam menanganisuatu perkara pidana tidak hanyamempertimbangkan kepentingan korban.Kepentingan korban hanyalah satu dari sekian banyak kepentingan yang

18mungkin dipertimbangkan. Pemihakan pada kepentingan lainuntuk ikut puladipertimbangkan oleh penuntut umum maupun aparat Kepolisian memangdimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dengandiadakannya lembaga diskresi (untuk aparat Kepolisian) dan lembaga opportunitas(untuk penuntut umum).BerdasarkanPasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 TentangKejaksaan Republik Indonesia ditetapkan, bahwa ―Kejaksaan Republik Indonesiayang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembagapemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan sertakewenangan lain berdasarkan undang-undang.‖ Dari ketentuan ini jelas, bahwaselain melakukan tugas di bidang peradilan, Kejaksaan merupakan pula lembagapolitik negara. Hal ini membawa konsekuensi pada penambahan muatan bagiaparat Kejaksaan untuk ikut pula mempertimbangkan unsur politik dalam prosespenuntutan, di samping mempertimbangkan kepentingan korban seperti diuraikandi atas. Sehingga, jikamengacukepentingankorban kejahatanpenelantaranperhatian, karenamenunjukan, kandengan dansepertidiberikansepertiini, makabahkandiuraikanterjadid i ataskepada korbanpadakepentinganuntukyangdiprioritaskan dan kemampuan dari pihak penyidik dan penuntut umum dalammelaksanakan tugas mereka masing-masing.Selain itu, hukum pidana yang sekarang berlaku, mengasumsikan pula bahwapihak korban telah memperoleh kepuasan keadilan dengan dipidananya pelakukejahatan, karena pelakukejahatandalamha l initelahmerasakanjuga

alamdialami/dideritalingkupolehkorban. Asumsikepuasan moril, akantetapiinijikadihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagikorban yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspekkepuasan moril saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbanganperlakuan antara pelaku dan korban.Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian kompensasi,restitusi, dan rehabilitasi. Namun dalam kenyataannya aturan tersebut tidakimplementatif. Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat padaKUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana), danjuga Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentangPengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan PemerintahNo. 3 Tahun2002 tentangKompensasi, Restitusi dan RehabilitasiTerhadapKorban Pelanggaran HAM yang berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangatjarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasusHAM yang terjadi di Indonesia sampai saat ini belum pernah ada korbanpelanggaranHAMyangmendapatkompensasi, restitusi, danrehabilitasiwalaupun dalam amar putusan pengadilan korban berhak untuk mendapatkankompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Terkait dengan hal di atas, salah satucontoh bahwa penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaranHAM seringkali tidak berpihak kepada korban, namun justru dilakukan untukmelindungi para pelaku dapat dikemukakan dalam konteks berikut ini:

20Berdasarkan catatan pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur, hak-hak korbanpelanggaran HAM yang berat tidak pernah disinggung. Baik jaksa maupun hakimtidak pernah menyinggung sedikitpun upaya-upaya pemulihan bagi korban,padahal pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur telah diakui terjadi olehpengadilan. Proses peradilan hanya difungsikan untuk mencari siapa pelaku danmenghukumnya, tetapi keadilan bagi korban secara nyata tidak menjadi bagianpenting. Hakataskompensasi, restitusidanrehabilitasi yangsecarajelasdinyatakan oleh Undang-undang bahkan tidak dapat dijalankan sama sekali.Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan dalamketentuan perundang-undanganbahwahak-hak ercayaandiberikanketikakorbanmerekaberpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Halini menunjukkan, bukan saja dapat dikatakan bahwa Negara gagal mewujudkansistem peradilan yang kompeten dan adil, Negara gagal menjamin sistemkesejahteraan dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM,karena hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integraldari hak

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Hak Asasi Manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan droit de l'home (Perancis), yang berarti hak manusia, human rights (Inggris) atau mensen rechten (Belanda) yang dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusian atau hak-hak asasi manusia.

Related Documents:

Buku Keterampilan Dasar Tindakan Keperawatan SMK/MAK Kelas XI ini disajikan dalam tiga belas bab, meliputi Bab 1 Infeksi Bab 2 Penggunaan Peralatan Kesehatan Bab 3 Disenfeksi dan Sterilisasi Peralatan Kesehatan Bab 4 Penyimpanan Peralatan Kesehatan Bab 5 Penyiapan Tempat Tidur Klien Bab 6 Pemeriksaan Fisik Pasien Bab 7 Pengukuran Suhu dan Tekanan Darah Bab 8 Perhitungan Nadi dan Pernapasan Bab .

Texts of Wow Rosh Hashana II 5780 - Congregation Shearith Israel, Atlanta Georgia Wow ׳ג ׳א:׳א תישארב (א) ׃ץרֶָֽאָּהָּ תאֵֵ֥וְּ םִימִַׁ֖שַָּה תאֵֵ֥ םיקִִ֑לֹאֱ ארָָּ֣ Îָּ תישִִׁ֖ארֵ Îְּ(ב) חַורְָּ֣ו ם

bab ii penerimaan pegawai . bab iii waktu kerja, istirahat kerja, dan lembur . bab iv hubungan kerja dan pemberdayaan pegawai . bab v penilaian kinerja . bab vi pelatihan dan pengembangan . bab vii kewajiban pengupahan, perlindungan, dan kesejahteraan . bab viii perjalanan dinas . bab ix tata tertib dan disiplin kerja . bab x penyelesaian perselisihan dan .

Bab 24: Hukum sihir 132 Bab 25: Macam macam sihir 135 Bab 26:Dukun,tukang ramal dan sejenisnya 138 Bab 27: Nusyrah 142 Bab 28: Tathayyur 144 Bab 29: Ilmu nujum (Perbintangan) 150 Bab 30: Menisbatkan turunnya hujan kepada bintang 152 Bab 31: [Cinta kepada Allah]. 156 Bab 32: [Takut kepada Allah] 161

bab iii. jenis-jenis perawatan 7 . bab iv. perawatan yang direncanakan 12 . bab v. faktor penunjang pada sistem perawatan 18 . bab vi. perawatan di industri 28 . bab vii. peningkatan jadwal kerja perawatan 32 . bab viii. penerapan jadwal kritis 41 . bab ix. perawatan preventif 46 . bab x. pengelolaan dan pengontrolan suku cadang 59 . bab xi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tawakal dan yang seakar dengannya disebut dalam Al-Qur'an sebanyak 70 kali dalam 31 surah, diantaranya surah Ali Imran (3) ayat 159 dan 173, an-Nisa (4) ayat 81, Hud (11) ayat 123, al-Furqan (25) ayat 58, dan . Bab pertama sebagai pendahuluan merupakan garis besar gambaran skripsi. Pada bab .

Pembangunan Rusun ASN Pemkab Malang)" dengan membuat Bab I samapi Bab V. Bab I berisi Pendahuluan, Bab II berisi Tinjauan Pustaka, Bab III berisi Metodologi Penelitian, Bab IV berisi Analisa dan Pembahasan, Bab V berisi Kesimpulan dan Saran. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tugas akhir ini jauh dari sempurna.

BAB I : Pendahuluan, Bab ini berisi tentang Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, Ruang lingkup dan batasan penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Pustaka, Bab ini berisi tentang landasan teori, penelitian terdahulu, kerangka konseptual , serta hipotesis penelitian.